Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus senior Shigeru Ishiba pada Jumat, 27 September 2024, diunggulkan untuk duduk sebagai perdana menteri Jepang. Ishiba saat ini sudah diputaran akhir untuk memenangkan pemilihan perdana menteri Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Jepang saat ini dikuasai oleh Partai Liberal Demokrat. Dalam pemilihan putaran kedua, Ishiba unggul dibanding Sanae Takaichi seorang nasionalis Jepang. Pemilihan perdana menteri Jepang kali ini telah menjadi salah satu pemilihan yang paling tak bisa diprediski dengan total sembilan calon berlaga di putaran awal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ishiba saat ini menjabat sebagai Ketua Partai Liberal Demokrat. Dia sangat yakin bisa memenangkan pemilihan kursi perdana menteri Jepang karena partainya menguasai suara mayoritas parlemen.
Pemilihan perdana menteri Jepang ditujukan untuk menggantikan posisi Fumio Kishida yang pada Agustus 2024 lalu mengejutkan publik dengan mengumumkan pengunduran dirinya menyusul serangkaian skandal yang membuat dukungan pada Partai Liberal Demokrat anjlok hingga ke rekor terendah.
Jika akhirnya lolos sebagai perdana menteri Jepang, Ishiba harus bisa meredam kemarahan masyarakat Jepang atas naiknya biaya hidup dan bagaimana mengatasi situasi keamanan menyusul Cina yang semakin agresif dan Korea Utara yang memiliki senjata nuklir. Dalam komentar singkat yang disampaikan Ishiba dihadapan anggota parlemen Jepang sebelum pemilihan, Ishiba menyerukan Jepang yang lebih baik dan adil. Ishiba menitikkan air mata saat hasil pemilihan putaran awal diumumkan.
Ishiba telah menentang arus dan bertolak belakang sikapnya dengan para pemimpin Jepang sebelumnya. Ini adalah keempat kalinya Ishiba mencalonkan diri sebagai perdana menteri Jepang. Dia mengatakan jika kali ini dia kalah lagi, dia tak akan lagi maju dalam pemilihan perdana menteri Jepang.
Dalam panggung politik Jepang, Ishiba mendukung sejumlah kebijakan progresif seperti mengizinkan pasangan suami istri menggunakan nama keluarga masing-masing, dimana kebijakan ini ditentang Takaichi dan anggota konservatif di Partai Demokrat Liberal.
Dukungan publik terhadap Kishida telah merosot di tengah terungkapnya hubungan Partai Liberal Demokrat dengan Gereja Unifikasi yang kontroversial. Partai ini juga terjerat skandal sumbangan politik yang diberikan dalam acara penggalangan dana partai yang tidak tercatat.
Kishida juga menghadapi ketidakpuasan publik karena meningkatnya biaya hidup di Jepang yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah. Jepang berhasil melepaskan diri dari tekanan deflasi selama bertahun-tahun.
Menurut Profesor Ilmu Politik dari Universitas Sophia, Koichi Nakano, siapapun yang menggantikan Kishida harus bisa menyatukan kelompok penguasa yang terpecah. Ia juga harus bisa mengatasi kenaikan biaya hidup, ketegangan geopolitik dengan Cina dan potensi kembalinya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat tahun depan
Sumber : Reuters
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini