Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Feodalisme dalam Pemujaan Gelar Gus dan Habib

Gelar "gus" pada Miftah Maulana menjadi percakapan publik. Longsornya otoritas agama di mata publik.

23 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemujaan kepada 'gus' dan 'habib' menunjukkan feodalisme agama yang makin kental.

  • Bisa juga menunjukkan longsornya otoritas agama akibat segelintir kiai acap terlibat perebutan kekuasaan.

  • Penguasa melegitimasi penceramah yang populer tanpa latar belakang valid untuk pencitraan.

PEMUJAAN kepada mereka yang bergelar “gus” dan “habib” makin mengukuhkan feodalisme yang berakar kuat dalam budaya orang Indonesia. Budaya itu yang membuat Miftah Maulana Habiburrahman, yang acap dipanggil “Gus Miftah”, punya pengikut tak sedikit meski tindak tanduknya tidak mencerminkan seorang penceramah agama yang punya ilmu mumpuni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebutan “gus” dan “habib” atau predikat-predikat lain sebagai penghormatan pada awalnya istilah yang biasa saja, sama seperti “sutan” untuk gelar laki-laki bangsawan Minangkabau. Namun “gus” dan “habib” menjadi penghormatan berlebihan karena dilekatkan pada urusan agama. “Gus” untuk menyebut anak kiai di Jawa, sedangkan “habib” untuk keturunan Arab Hadrami yang dipercaya punya genetika Nabi Muhammad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat penghormatan yang tak terkendali itu, mereka yang memiliki gelar tersebut seolah-olah sakral sehingga disalahgunakan untuk menipu. Eko Supriyanto, warga Malang, Jawa Timur, menipu sejumlah orang di Kalimantan Selatan dengan bermodal baju koko, peci, dan sarung serta mengklaim bernama Gus Juan Penatas pada 2021. Liputan khusus Tempo pada April 2024 membongkar jual-beli gelar “habib”.

Di kalangan kiai Jawa, yang berhimpun dalam Nahdlatul Ulama, sebutan “gus” telah menjadi bahan canda. Salahuddin Wahid dan Said Aqil Siroj, keduanya tokoh NU, secara berkelakar memberi gelar “Gus Lora” kepada pengacara Hotman Paris Hutapea. “Lora” adalah sebutan untuk anak kiai di Madura, Jawa Timur. Padahal Hotman bukan muslim, bukan orang Jawa atau Madura, dan bukan anak seorang kiai dari Sumatera Utara.

Karena itu, jika Miftah Maulana ingin dipanggil “gus”, mungkin karena ia ingin setara dengan Hotman Paris. Gelar “gus” itu ia klaim karena lahir sebagai keturunan ke-9 Muhammad Ageng Besari, kiai terkenal dari Ponorogo, Jawa Timur, guru para kiai besar lain di Jawa. Namun, jikapun ia bukan keturunan Kiai Ageng Besari, seperti yang diragukan buyut-buyutnya, Miftah yang konon lahir dengan nama Mifta’im An’am tetap bisa menyebut dirinya “gus”. Toh, menurut saudara-saudaranya, ayah mereka seorang guru mengaji di Lampung.

Gelar “gus” pada seseorang akan gugur dengan sendirinya jika ia tak bisa menyesuaikan diri dengan perilakunya. Hinaan Miftah kepada seorang penjual teh, atau pelecehan verbal dalam ceramah-ceramahnya, menunjukkan ia tak layak menyandang gelar itu. Masyarakat dapat menghukumnya dengan tidak menghadiri ceramahnya karena Miftah bukan seorang guru yang layak “digugu” dan “ditiru” ajaran serta perilakunya.

Kemunculan orang seperti Miftah dalam panggung dakwah agama bisa jadi akibat dari mereka yang punya ilmu tapi tak punya kemampuan komunikasi selihai Miftah. Publik menyukai ceramah Miftah karena ia memakai bahasa yang mudah dicerna oleh awam. Atau, ini yang mencemaskan, publik kadung tak percaya kepada ahli agama karena segelintir kiai lebih sibuk berebut kekuasaan ketimbang mendidik publik dengan adab dan ajaran agama.

Masyarakat yang membutuhkan patron dan panutan lalu mengidolakan mereka yang pandai bersilat lidah di media sosial. Legitimasi di dunia maya itu dikukuhkan pula oleh penguasa untuk pencitraan. Presiden Prabowo Subianto menunjuk Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Tak jelas apa tugas dan tujuannya, selain balas budi karena ikut berkampanye untuk Prabowo dalam pemilihan presiden. Sebagai imbalannya, Presiden mengangkat Miftah menjadi pejabat publik.

Penghargaan yang keliru itu makin membengkokkan anggapan publik terhadap ketokohan seseorang. Sebab, dalam feodalisme, gelar dan predikat menjadi status sosial yang berharga. Akibatnya, gelar itu menjadi alat transaksi sosial yang merambah banyak segi. Di dunia akademik, mereka yang punya uang dapat dengan mudah membeli gelar sarjana, doktor, bahkan profesor. Mereka yang haus pengakuan menyisipkan gelar di depan atau belakang nama dalam dokumen resmi atau acara informal.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia menumpas budaya feodalisme yang dicoba dikikis oleh para bangsawannya sendiri pada masa revolusi. Bukan karena kebangsawanan mereka jika Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Raden Mas Soewardi Surjaningrat, dan Hasyim Asy’ari dikenang sebagai pahlawan. Tapi karena jasa dan pemikiran mereka membebaskan Nusantara dari kolonialisme. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus