Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat
Omon-omon Krisis Iklim

Arah Kebijakan Iklim Prabowo: Di Mana Posisi Indonesia?

Adila Isfandiari

Juru Kampanye Iklim dan Energi di Greenpeace Indonesia

Presiden Prabowo Subianto berencana meniru keputusan AS keluar dari Perjanjian Paris. Posisi Indonesia akan makin tertinggal.

14 Maret 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Sejak hari pertama berkuasa, Prabowo Subianto memberikan sinyal beragam yang menyebabkan aksi iklim dan transisi energi berada dalam ketidakpastian.

  • Meskipun tren dekarbonisasi global makin meningkat, pemerintah masih merencanakan pembangunan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil baru.

  • Keluar dari Perjanjian Paris dan membatalkan pensiun dini batu bara akan sangat merusak kredibilitas Indonesia dalam mendapatkan pembiayaan transisi energi.

KOMITMEN iklim Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sejak menyuarakan komitmen ambisiusnya dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 (COP 29) di Baku, Azerbaijan, November 2024, pemerintahan Prabowo Subianto belum juga menyerahkan dokumen komitmen kontribusi mengatasi krisis iklim kedua atau second nationally determined contribution (SNDC). Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keseriusan Indonesia dalam komitmen iklimnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sejak hari pertama berkuasa, Prabowo memberikan sinyal beragam yang menyebabkan aksi iklim dan transisi energi berada dalam ketidakpastian. Pada November 2024, dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20, Prabowo berkomitmen menghentikan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dan bahan bakar fosil pada 2040 atau enam belas tahun lebih cepat dari rencana sebelumnya. Ia juga berjanji membangun pembangkit listrik tenaga energi terbarukan dengan kapasitas 75 gigawatt.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komitmen ambisius itu kembali ditegaskan oleh utusan iklim dan energi Indonesia, Hashim Djojohadikusumo, dalam COP 29 di Baku. Namun langkah konkret untuk merealisasi target tersebut masih belum jelas dan meninggalkan agenda iklim Indonesia dalam ketidakpastian. Sebaliknya, hanya dua bulan setelah komitmen itu disampaikan dalam forum internasional, pemerintahan Prabowo justru menyatakan Indonesia mempertimbangkan keluar dari Perjanjian Paris.

Prabowo tampaknya menjadikan kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat sebagai tolok ukur dalam menetapkan arah kebijakan iklim dan transisi energi Indonesia. Amerika, di bawah pemerintahan Trump, secara "prediktif" keluar dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya. Bahkan Trump menyebut perubahan iklim sebagai kebohongan yang mahal.

Hal yang lebih buruk lagi, pemerintah juga menyatakan akan membatalkan rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara yang telah dipersiapkan selama dua tahun terakhir. Pembatalan ini terjadi pada waktu krusial, ketika pemerintah sedang menyusun SNDC. Pertanyaannya, apakah Indonesia akan mengikuti jejak kemunduran iklim serta mempertaruhkan kredibilitas dan masa depannya, atau justru memanfaatkan momentum ini untuk memimpin negara-negara Global South dalam transisi energi yang ambisius?

Saat ini ketergantungan energi Indonesia pada batu bara masih sangat tinggi. Akibatnya, terjadi kesenjangan besar dalam upaya pencapaian target Perjanjian Paris. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 85 persen listrik nasional atau sekitar 86 gigawatt berasal dari bahan bakar fosil.

Sementara itu, meskipun tren dekarbonisasi global makin meningkat, pemerintah masih merencanakan pembangunan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil baru, termasuk batu bara dan gas fosil. Artinya, Indonesia akan terikat pada teknologi ini selama 30 tahun ke depan, dan hal itu menghambat pertumbuhan energi terbarukan yang saat ini hanya memiliki pangsa 15 persen—jauh dari target 17-19 persen pada 2025 yang tercantum dalam Kebijakan Energi Nasional dan lebih rendah dibanding target sebelumnya sebesar 23 persen.

Dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada era Prabowo, pemerintah juga telah keliru menganggap batu bara sebagai solusi utama. Pada kenyataannya, batu bara bukanlah solusi. Pemerintah harus mengalokasikan subsidi dan kompensasi sebesar Rp 143 triliun (US$ 9,5 miliar) pada 2022 dan Rp 122 triliun (US$ 8,1 miliar) pada 2023 untuk PLN. Sementara itu, 67 persen listrik masih bersumber dari batu bara. Belum lagi biaya kesehatan akibat polusi pembangkit listrik tenaga batu bara. Untuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) saja, nilainya diperkirakan mencapai Rp 5,1 triliun. Biaya sebesar itu harus ditanggung masyarakat dan anggaran negara. Karena itu, kondisi ini makin mempertegas urgensi transisi energi.

Pemerintah berulang kali menyatakan transisi menuju energi terbarukan membutuhkan biaya besar. Setidaknya diperlukan anggaran sebesar US$ 285 miliar atau sekitar Rp 4.000 triliun untuk mendanai transisi energi PLN. Namun Indonesia kini menghadapi keterbatasan ruang fiskal akibat berbagai proyek prioritas, termasuk program makan bergizi gratis yang menyerap porsi besar anggaran negara dan bahkan menyebabkan pemotongan besar pada anggaran kementerian/lembaga.

Situasi ini menyebabkan ruang fiskal Indonesia kian terbatas, membatasi kemampuannya memprioritaskan agenda penting seperti transisi energi. Komitmen pendanaan sebesar US$ 20 miliar dari Just Energy Transition Partnership (JETP)—yang sebelumnya dianggap sebagai "game changer" bagi Indonesia—kini tampak tersendat. Dengan kondisi seperti ini, Indonesia harus segera mengeksplorasi strategi pendanaan inovatif untuk mempercepat upaya transisi energi, baik dari sumber internasional maupun domestik.

Dari sisi internasional, keluar dari Perjanjian Paris dan membatalkan pensiun dini batu bara akan sangat merusak kredibilitas Indonesia dalam mendapatkan pembiayaan transisi energi. Keputusan ini akan memperburuk investasi sektor iklim yang sudah stagnan selama tujuh tahun terakhir. Sebaliknya, dengan tetap berada dalam Perjanjian Paris, Indonesia dapat memperkuat komitmennya serta membuka akses pendanaan dari donor dan lembaga keuangan internasional. Jika keluar, Indonesia akan terisolasi dari momentum transisi hijau global, makin tertinggal dari negara-negara di Global South lain.

Saat ini saja, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sudah tertinggal dalam aksi iklim dan transisi energi. Singapura telah menyerahkan SNDC pada 10 Februari 2025 dengan target pengurangan emisi lebih tinggi untuk mencapai nol emisi bersih pada 2050. Sementara itu, adopsi energi terbarukan, khususnya energi surya dan angin, melonjak di seluruh Asia Tenggara dengan peningkatan mencapai 20 persen pada 2023. 

Vietnam memimpin transisi ini dengan lonjakan instalasi tenaga surya hingga 13 gigawatt sejak 2017 berkat didorong kebijakan menarik yang menguntungkan pengguna dan pengembang tenaga surya. Thailand, Filipina, dan Malaysia juga mencapai kemajuan signifikan dalam transisi energi surya. Sedangkan Indonesia tertinggal jauh, dengan instalasi tenaga surya baru sebesar 675 megawatt. Untuk mengatasi ketertinggalan, Indonesia harus konsisten menerapkan kebijakan yang kuat dan ramah investor guna mengirim sinyal yang jelas dan meyakinkan kepada pemodal global tentang komitmennya terhadap masa depan energi berkelanjutan.

Adapun untuk pembiayaan domestik, pemerintah perlu memanfaatkan kebijakan fiskal. Salah satunya merealisasi rencana kenaikan pajak produksi batu bara yang selama ini menghasilkan keuntungan luar biasa bagi sektor pertambangan. Laporan Sustain menunjukkan, dengan kebijakan ini, Indonesia dapat memperoleh pendapatan negara tambahan hingga US$ 23,58 miliar atau sekitar Rp 353,7 triliun per tahun, yang bisa digunakan untuk mendanai transisi energi. Selain itu, penerapan pajak karbon pada pembangkit listrik tenaga batu bara yang telah lama tertunda harus segera dilakukan untuk mendorong industri beralih ke energi terbarukan.

Di tengah tren global menuju dekarbonisasi, Indonesia berada pada momen krusial dalam perjalanan transisi iklim dan energinya. Penguatan aksi iklim juga selaras dengan Laporan Risiko Global dari World Economic Forum terbaru yang menemukan bahwa risiko yang terkait dengan iklim, seperti cuaca ekstrem, hilangnya keanekaragaman hayati, dan keruntuhan ekosistem, menempati posisi pertama dan kedua sebagai risiko global paling diantisipasi dalam jangka panjang.

Jika pemerintahan Prabowo gagal menegaskan kembali komitmen iklimnya, terutama saat pemerintah merampungkan penyerahan SNDC, Indonesia berisiko tertinggal secara ekonomi, lingkungan, dan geopolitik. Sementara itu, keluar dari Perjanjian Paris tidak hanya akan mengisolasi Indonesia dari pembiayaan iklim yang krusial, tapi juga menyia-nyiakan peluang untuk memimpin negara-negara Global South setelah AS keluar dari kesepakatan tersebut.

Rencana keluar dari Perjanjian Paris juga akan merusak posisi diplomatik Indonesia, terutama sebagai jembatan antara negara maju dan berkembang, sebagaimana yang ditekankan Prabowo saat berpidato dalam World Government Summit 2025. Pemerintahan Prabowo harus tegas dalam komitmen iklimnya. Tetap berada di Perjanjian Paris dengan komitmen iklim yang ambisius dalam SNDC bukan sekadar soal diplomasi, melainkan juga strategi untuk memastikan masa depan energi Indonesia yang cerah, kompetitif, dan berkelanjutan. 

Direktur Program Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) Ester Meryana berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap Jumat

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus