Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerimis jatuh dan kabut turun sore itu di Kampung Nyuncung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Angin pegunungan yang dingin mengelus badan. Sejauh mata memandang, hamparan sawah hijau tergelar bak permadani. Bukit-bukit dan kebun penuh dengan aneka tumbuhan. Gunung Nyuncung berdiri tegak di kejauhan. Udara terasa segar karena tak ada polusi asap knalpot kendaraan di kampung yang berjarak sekitar enam jam perjalanan dengan mobil dari Jakarta ini.
Uci Sanusi, 37 tahun, warga setempat, menuturkan suasana seperti ini jauh berbeda dibanding tujuh tahun lalu. Ia masih ingat kawasan pegunungan yang melingkupi kampung kecil itu botak di sana-sini karena penebangan liar. Area yang tersisa ditumbuhi pohon-pohon pinus (Pinus mercusii) yang dikelola Perhutani. Padahal penduduk tak menyukai pohon pinus yang bukan tumbuhan endemik itu.
Sejak 1979, kawasan kampung seluas 395 hektare tersebut memang di bawah pengelolaan perusahaan pelat merah itu. Baru pada 2001, Perhutani menyerahkan pengelolaan kawasan tersebut ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2001 untuk dijadikan kawasan konservasi.
Sekitar 2003, warga pun kemudian tergerak melakukan penghijauan secara swadaya. Bekas tebangan pinus ditanami rupa-rupa pepohonan lokal, di antaranya jenjeng/sengon (Albizia falcataria), manglid/kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), suren (Toona sureni), dan tanaman buah-buahan. ”Sudah ratusan ribu pohon yang kami tanam,” kata Uci, yang juga Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat Nyuncung.
Setelah tujuh tahun berselang, Kampung Nyuncung pun kembali menghijau. Tanah yang dulu gersang sudah kembali subur. ”Dulu menanam ubi kayu di bawah tegakan pinus rasanya pahit dan umbinya kecil,” katanya. Tegakan pinus, kata Uci, bukan tempat menangkap air yang baik.
Kini hampir semua warga di kampung tersebut sudah memiliki kebun talun (kebun campuran) yang ditanami rupa-rupa tanaman. Kebun itu menjadi salah satu sumber bagi warga kampung yang terletak di hulu Sungai Cisadane tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan lingkungan sekitar yang lestari, mereka pun kini tak khawatir tertimpa longsor atau cadangan air seret.
Toh, warga masih resah. Seluruh lahan yang ada di kampung mereka berada di dalam kawasan taman nasional. Padahal, menurut aturan, tak boleh ada permukiman di dalam taman nasional. Mereka juga tidak mempunyai sertifikat atas lahan yang ditempati dan digarap. Padahal mereka sudah hidup turun-temurun dan bermukim di situ sejak 1932. ”Kami hanya memiliki SPPT (surat pembayaran pajak terutang), sewaktu-waktu tanah kami bisa diambil alih, kami bisa tergusur,” kata Uci.
Warga kampung pun berembuk. Difasilitasi sebuah lembaga swadaya masyarakat, mereka kemudian mencetuskan konsep Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK). ”Konsep tersebut mengadopsi kearifan lokal dan adat-istiadat kami dalam mengelola lahan secara turun-temurun,” kata Ahmad Rizky alias Gapuy, tokoh pemuda kampung itu. Sejak saat itu, mereka berjuang mengenalkan konsep tersebut.
Awal bulan ini, mereka turut serta dalam sarasehan yang membahas pengelolaan taman nasional secara kolaboratif. Konsep KDTK dipaparkan kepada pihak taman nasional, dinas kehutanan, dan pemerintah setempat. Konsep KDTK bersumber pada kearifan lokal dan adat-istiadat dalam mengelola lahan dan hutan di sekitar mereka.
Secara umum, masyarakat Kampung Nyuncung membagi lahan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung (hutan) larangan, leuweung dudukuhan, dan lahan lembur (kampung). Leuweung larangan berupa hutan alam yang terlarang untuk dieksploitasi. Masyarakat tak boleh menebang pohon atau bercocok tanam di dalamnya. Biasanya di kawasan ini juga ada tempat keramat yang dihormati warga setempat.
Leuweung dudukuhan merupakan hutan alam atau sekunder dengan pemanfaatan terbatas. Masyarakat boleh memanfaatkan area ini sebagai kebun talun. Adapun lahan lembur adalah wilayah yang dipergunakan sebagai permukiman, sawah, dan fasilitas umum lainnya.
Dalam menggarap lahan, warga menggunakan prinsip gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, dan datar imahan. Artinya, gunung harus ditanami pohon/kayu, tebing harus ditanami bambu, dataran rendah dijadikan sawah/pertanian, legok/cekungan sebaiknya untuk kolam, dan tanah yang datar cocok untuk rumah. ”Ini sesuai dengan prinsip konservasi yang sering dibicarakan orang,” ujar Gapuy, yang hanya lulus sekolah dasar.
Warga juga mengembangkan aturan keras yang prolingkungan, di antaranya tidak boleh menebang pohon di area hutan larangan, pohon dengan diameter tertentu, serta pohon di daerah mata air dan pohon di jurang/lereng yang curam. Aturan yang lain, dilarang membunuh satwa yang dilindungi, tidak boleh melakukan pembakaran di area hutan, dan tidak boleh menjual tanah ke warga di luar kampung.
Tidak ada sanksi tertulis atas pelanggaran aturan tersebut. Tapi mereka meyakini bahwa setiap pelanggaran akan terkena kabendon (bala). Para pelanggar juga akan dikenai sanksi sosial. Untuk menjaga lingkungan kampung, warga mengadakan patroli leuweung. ”Seminggu sekali secara bergiliran,” kata Gapuy.
Dengan konsep tersebut, masyarakat Kampung Nyuncung membuktikan bahwa mereka bisa menjaga alam sekitarnya dengan baik. Mereka memiliki keyakinan atas pepatah terkenal di masyarakat sekitar kawasan Pegunungan Halimun, yakni leuweung hejo masyarakat ngejo. Artinya kurang-lebih, jika hutan hijau (lestari), masyarakat bisa makan (sejahtera).
Uci, Gapuy, dan rekan-rekannya pun terus berjuang agar konsep tersebut bisa diterima dan diakui pihak terkait. ”KDTK menjadi alat tawar bagi kami dengan berbagai pihak untuk memperoleh ruang kelola kami,” kata Gapuy. Mereka berharap kampung mereka bisa masuk kategori kawasan yang disebut enclave atau zona khusus. ”Ini yang terus kami perjuangkan.”
Nia Ramadaniaty, aktivis LSM RMI-The Indonesia Institute for Forest and Environment yang menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat di Nyuncung, menyatakan keinginan kampung tersebut bisa dikabulkan pemerintah. Pilihan yang lebih baik bagi masyarakat adalah berada dalam enclave dengan mengeluarkan kampung tersebut dari kawasan taman nasional. ”Kalau tidak, zona khusus yang paling memungkinkan,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional memang diperbolehkan adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional melalui ”zona khusus” itu. ”Nanti akan ada MOU dan aturan antara masyarakat dan taman nasional untuk melakukan pengelolaan secara kolaboratif,” katanya.
Kepala Seksi TNGHS Wilayah Bogor Kusmara juga menyatakan konsep tersebut bisa diadopsi. Saat ini, kata Kusmara, Departemen Kehutanan tengah membentuk tim zonasi taman nasional yang terdiri atas unsur pemerintah daerah, taman nasional, LSM, dan masyarakat. Rencana Pengelolaan Taman Nasional yang disusun pada 2006, kata dia, juga dibuat dengan melibatkan masyarakat.
Menurut dia, taman nasional juga memiliki konsep Model Kampung Konservasi yang digalakkan setahun terakhir ini. Dalam konsep ini, taman nasional melibatkan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan. Masyarakat juga bisa memanfaatkan potensi nonkayu yang ada di taman nasional. ”Konservasi itu tugas bersama, tugas pemerintah dan semua elemen masyarakat,” katanya.
Kampung Nyuncung ternyata tak sendirian. Di dalam kawasan TNGHS banyak kampung yang bernasib sama: sebagian atau seluruh wilayahnya masuk kawasan taman nasional. Dari luas keseluruhan taman nasional 113.357 hektare itu, tersebar 314 kampung dengan 734.845 jiwa. Mereka juga menunggu keputusan: boleh tetap tinggal atau harus keluar dari taman na sional. Entah sampai kapan....
Gunanto E.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo