Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua petarung turun ke gelanggang. Mereka bertelanjang dada dan menggenggam erat cambuk rotan di tangan kanan. Tangan kiri memegang tamiang (tameng). Mereka menari-nari, menanti aba-aba dari wasit, dalam iringan nada gamelan yang rancak. Sejurus kemudian keduanya saling pukul dengan sungguh-sungguh hingga darah mengucur. Luka-luka itu dianggap sebagai persembahan bagi para dewa agar bersedia menurunkan hujan dan membasuh kemarau panjang.
Ritual Gebug Seraya atau Gebug Ende itu biasa dipentaskan di Desa Seraya, Karangasem, Bali, ketika musim kering teramat panjang. Tapi, akhir Februari lalu, ritual itu ditampilkan di Bentara Budaya Bali, di Desa Ketewel, Kabupaten Gianyar. Upacara meminta hujan oleh para seniman tradisional itu digelar untuk membuka Festival Hujan, yang berlangsung pada 21-28 Februari, justru ketika hujan sudah sangat sering turun mengguyur Tanah Dewata.
Selanjutnya, giliran seniman modern yang berbicara soal hujan. Teater Payung Hitam dari Bandung menyuguhkan repertoar Puisi Tubuh dalam pembukaan festival itu. Repertoar itu menekankan ketergantungan manusia pada air. Mereka menampilkan sesosok lelaki berjubah putih sebatas dada yang mirip pendeta Hindu. Dia membawa bumbung (tempat air dari bambu) yang diselempangkan di punggung. Dia menari-nari di seputar sebuah kubangan sumber air yang berada di tengah ”panggung” di halaman gedung itu. Sang pendeta pergi, kemudian muncul empat penari lelaki bertelanjang dada dengan celana transparan, seolah telanjang. Mereka juga membawa bumbung dan menari-nari meminta hujan.
Tiba-tiba muncul sosok raksasa mengganggu mereka. Aktor yang memerankannya memakai kaki palsu sehingga bertubuh lebih tinggi—yang digunakan juga oleh kelompok teater ini ketika membawakan repertoar Puisi Tubuh yang Runtuh di Solo pada November tahun lalu. Kemunculan sang raksasa ini memicu konflik dalam memperebutkan sumber air. Pertarungan pun terjadi dengan kekalahan di pihak empat lelaki berbumbung itu. Mereka pun terperosok di kubangan air.
Kedua pentas itu menunjukkan salah satu tafsir para seniman terhadap air dan hujan, yang juga digeluti dan ditafsir oleh para perupa Bali dalam pameran yang menyertai festival ini. Upacara Gebug Ende, yang pada dasarnya merupakan tarian meminta hujan, kini digelar di tengah musim hujan. Pentas ini menjadi semacam penanda dari sebuah anomali, penyimpangan dari kelaziman, karena upacara itu dapat dilakukan kapan saja dan tak lagi dapat diduga. Menebak jadwal upacara itu, ”Sama sulitnya dengan meramal perubahan musim saat ini,” kata Putu Wirata Dwikora, kurator pameran dalam festival itu.
Layaknya orang Bali, kata Wirata, mereka telah berbekal pemahaman bahwa iklim mempunyai aspek filosofis, estetis, sosial, dan juga ekonomis. Pemahaman ini terlihat dalam sistem kalender Bali, yang dalam setahun terbagi menjadi 12 sasih (bulan). Secara turun-temurun, di daerah-daerah agraris yang curah hujannya tinggi, musim hujan dimulai pada sasih kapat, sekitar September-Oktober menurut kalender Masehi. Saat itu purnama penuh dan banyak memberikan inspirasi bagi kalangan seniman. Bagi petani, sasih kapat adalah saat tetes-tetes hujan jatuh dari langit dan melembekkan sawah mereka.
Di daerah agraris yang kering dan kesulitan air, air hujan adalah sumber penting. Sedemikian penting artinya air, manakala teknologi pengangkutan air belum secanggih di zaman modern ini—air diangkut dengan mobil tangki atau pipa air minum—masyarakat menggunakan pendekatan ritual estetis, seperti pementasan Gebug Ende di Desa Seraya.
Pentingnya hujan sebagai siklus keberadaan air juga terlihat dari adanya upacara Mapag Toya, yang arti harfiahnya adalah ”menjemput air” di danau-danau. Upacara itu diyakini akan menjaga air hujan yang turun di hutan untuk disimpan di danau-danau dan akar-akar pohon, sebelum dialirkan ke sungai-sungai. Ujungnya adalah irigasi di subak yang sudah berusia ratusan tahun.
Meski demikian, para seniman yang terlibat—A.S. Kurnia, Tatang Bsp, Made Wiradana, Made Suta Kesuma, Made Bakti Wiyasa, Ketut ”Lekung” Sugantika, Ketut Teja Astawa, Wayan Wirawan, A.A. Gde Darmayuda, Uuk Paramahita, Rio Saren, dan Putu Edy Asmara Putra—agaknya tak terlalu terpengaruh oleh berbagai pemahaman tradisional itu. Mereka dengan bebas berkarya dengan merespons isu tersebut melalui pilihan tematik dan teknik yang sangat individual.
Putu Edy Asmara, misalnya, melihat kerusakan bumi yang berujung pada bencana iklim adalah akibat pemerkosaan dan kekejaman manusia atas bumi. Alumnus Institut Seni Indonesia Denpasar ini menggambarkannya dengan instalasi yang mempertontonkan mata-mata tombak yang mencuat dari permukaan bumi. Karya di halaman Bentara Budaya itu menciptakan siklus kengerian ketika kita sadar sebagai bagian dari bumi yang teraniaya.
Perupa Wayan Wirawan memandang masalah ini dengan cara berbeda. Bagi dia, hujan dan air nyaris menjadi simfoni yang menghasilkan padu padan irama musik yang mempesona. Dia menggambarkannya dengan meletakkan seratus gelas anggur di atas sebuah meja panjang. Masing-masing gelas berisi sebutir batu laut yang tergantung pada senar dari atas langit-langit. Ketika angin bertiup atau senar digerakkan, dentingan bunyi batu beradu dengan gelas menghasilkan irama yang khas. Wirawan juga meletakkan kapas di bagian atas senar, sehingga menambah ilusi akan keberadaan langit di ruangan itu.
Di sekitar meja itu tampak patung-patung petani yang bergembira ria menikmati komposisi itu. ”Sebagai anak petani, saya merasa pernah berada dalam suasana itu,” ujarnya.
Karya ini, menurut dia, dilatarbelakangi oleh keprihatinannya saat menyaksikan pertengkaran di antara para petani di sawah-sawah. Mereka berebut macam-macam, seperti air dan pupuk, serta berlomba menjual lahannya.
Ungkapan yang lebih jelas mengenai keberadaan air sebagai sumber daya yang diperebutkan tampak dalam lukisan Teja Astawa. Secara karikatural dia menunjukkan persaingan untuk memanfaatkan mata air, tidak hanya di antara manusia dengan berbagai kebutuhannya, tapi juga dengan binatang dan makhluk lain di bumi ini. Walhasil, seperti terlihat dalam karya Double Impact oleh Gde Darmayuda, kuasa atas air nantinya akan serupa dengan kuasa atas minyak bumi pada saat ini. Air akan menjadi pemicu perang dan rudal-rudal diluncurkan demi menguasainya.
Di luar karya yang memaknai air dan hujan dari perspektif sosial ekonomi, sejumlah pelukis merasa lebih relevan mengaitkannya dengan perasaan pribadi. Tentu saja dengan cinta dan asmara serta romantisisme. Itulah yang ditunjukkan Made Wiradana pada Episode Cinta, dengan sepasang kekasih tampak berpelukan mesra di bawah satu payung ketika hujan rintik-rintik membasahi sekitar mereka. Bagi mereka yang sedang dimabuk asmara, hujan memang identik dengan kehangatan, kemesraan, dan keintiman.
Ada juga yang melihat hujan semata-mata sebagai realitas visual yang mempesona, seperti dalam karya-karya Made Suta Kesuma. Secara surealis, dalam karya Ingin Kusentuh Tubuhmu, Made menampilkan paduan antara ekspresi manusia yang bergembira saat bersua dengan hujan dan keindahan yang ditimbulkan ketika titik-titik air menderas dari angkasa. Dalam karya Aku Masih Tertidur, dia menggunakan percikan air untuk menyaput figur-figur yang sedang terlelap dalam ketidaksadaran.
Seluruh tafsir itu, menurut Wirata, dapat diterima dalam konteks karya individual. Posisi para perupa masa kini tentu saja berbeda dengan para seniman Gebug Ende, yang memiliki kewajiban sosial menyelamatkan komunitasnya. Saat ini, bila ada seniman yang merasa memiliki kewajiban itu, menurut dia, hal itu muncul dari kesadaran pribadi belaka, bukan karena tuntutan dari pihak lain.
Budayawan Bali, Raka Santeri, menilai karya seni memang sebaiknya digunakan untuk menggalang solidaritas terhadap masalah besar, seperti isu perubahan iklim. Nenek moyang orang Bali sejatinya sudah berusaha membaca musim serta pergerakan benda-benda langit. Hasilnya dikenal dengan istilah ilmu pelelintangan (perbintangan) atau wariga, yang biasanya digunakan sebagai penentu hari yang baik untuk mulai melakukan sesuatu.
Berdasarkan rumusan-rumusan inilah kalender Bali disusun. Sayangnya, saat ini kalender itu tidak lagi mampu memprediksi hujan. ”Itu akibat perubahan iklim,” kata Raka. Perubahan itu juga telah mengakibatkan kesulitan untuk melakukan penjadwalan upacara-upacara adat—yang jadwalnya mengacu pada penanggalan Bali—dan penentuan hari-hari baik.
Rofiqi Hasan, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo