Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutradara: Hu Mei Skenario: Khan Chan
Pemain: Chow Yun Fat, Xun Zhou, Yi Lu, Jianbin Chen
Perbatasan Chen dengan Cal, sekitar 490 tahun sebelum Yesus lahir. Tiga puluhan murid Kong Qiu duduk di lantai. Dingin dan lapar menyerang. Kong Qiu (Chow Yun Fat) seperti tak peduli dan terus bermain kecapi. Baru setelah murid kesayangannya, Yan Hui, membawakan semangkuk sup daging kuda terakhir yang mereka punya, jari-jari Kong Qiu berhenti memetik dawai.
Muridnya yang lain, Zilu, muntah. Kong Qiu mendatanginya dan menawarkan sup. Zilu akhirnya menyeruput sup setelah gurunya mencicipi. Melihat murid-murid lain menahan liur menetes, Kong Qiu menyerahkan mangkuk itu kepada Yan Hui. ”Biarkan semua orang berbagi,” kata sang guru.
Adegan berganti. Alunan dawai kecapi Kong Qiu kembali terdengar. Kelaparan berganti dengan kegirangan pesta. Para murid menari-nari. Jari-jari Kong Qiu seperti kesetanan. Tiba-tiba Kong Qiu pingsan. Layar menghitam dan menutup salah satu bagian 13 tahun perjalanan Kong Qiu atau Konfusius.
Film ini dimulai dengan adegan Kong Qiu tua yang mengenang masa lalunya di antara ratusan gulungan bambu berisi ajarannya. Dalam ingatan berdurasi sekitar 120 menit itu diceritakan dua babak kehidupan Kong Qiu (551-479 sebelum Masehi). Satu jam pertama, film diisi sepak terjang Kong Qiu sebagai menteri di Kerajaan Lu. Sisanya, masa perjalanan Kong Qiu hingga kembali ke Lu.
Selama menjadi menteri, Kong Qiu sering berhadapan dengan tiga keluarga aristokrat. Terutama dengan kepala keluarga Jishi, Ji Sunsi, yang menjadi Perdana Menteri Lu. Tapi Kong Qiu piawai berdiplomasi. Termasuk dengan Ji Sunsi yang dalam adu panah mengalah dari Kong Qiu dan bersedia meminjamkan 500 kereta kuda untuk perundingan dengan Kerajaan Qi.
Saat puluhan ribu tentara Qi mengepung Raja Lu dalam perundingan, Kong Qiu membuktikan kecerdasannya. Seolah-olah sudah siap tentara Lu dengan jumlah yang tak kalah banyak untuk berperang. Padahal hanya ada puluhan muridnya berteriak dan belasan kuda mengepulkan debu dari balik bukit—tentara Ji Sunsi tak datang. Perdamaian dengan Qi akhirnya terwujud. Kong Qiu naik menjadi perdana menteri.
Tapi rencana Kong Qiu mengurangi pengaruh para bangsawan dengan menghancurkan tembok wilayah tiga keluarga gagal. Raja Lu yang peragu dan takut kehilangan jabatan berpihak kepada tiga keluarga. Kong Qiu akhirnya diusir dan berkelana bersama para murid.
Ia melintasi berbagai kerajaan dengan penerimaan beragam. Di Kerajaan Wei, ia bertemu dengan permaisuri Ninzi (diperankan oleh Xun Zhou, yang aduhai cantiknya tapi hanya sebentar berakting). Ninzi, yang terkesan sebagai perempuan nakal tapi cerdas, bertukar pikiran dan meminta Kong Qiu tinggal lebih lama di Wei. Tapi sang guru memilih kembali berkelana. Ketika Qi akhirnya menginvasi Lu, bangsawan Ji Sunsi meminta Kong Qiu kembali.
Percuma mengharap adegan Chow Yun Fat gagah berkelahi seperti dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon. Ia hanya menjadi penggebuk genderang perang saat melawan pemberontakan Gongshan Niu. Hu Mei, yang lebih sering menyutradarai serial televisi, seperti hanya menyisipkan tiga adegan perang. Dan Chow, meski mampu memerankan sosok Kong Qiu yang bijak, tampil tak mengentak. Mungkin inilah yang membuat film terkesan datar, terutama saat pengembaraan Kong Qiu.
Juga di luar ekspektasi, tak banyak kata mutiara Kong Qiu. Asal-muasal kebijakan sang guru pun tak diketahui, karena Hu Mei hanya menampilkan sosoknya yang sudah menjadi guru. Filsafat ala Konfusius seperti lenyap dalam dialog. Termasuk tak ada adegan penyalinan naskah kuno (Konfusius menganggap kebijakan akan muncul dengan penyalinan naskah berkali-kali). Sulit rasanya mendapat pencerahan luar biasa dari film ini.
Toh, filsafat bukan sekadar kata tersurat. Banyak pesan soal ren, saling menghormati—salah satu ajaran Konfusius—tersirat dalam film ini. Simak bagaimana Kong Qiu selalu memberi hormat dengan anggun dan lebih dulu. Bahkan kepada para muridnya. ”Cara menghormati dengan membungkukkan badan ini dipelajari di semua akademi Konfusian,” kata doktor filsafat Universitas Gadjah Mada, Lasiyo.
Tak mudah memang membaca Konfusianisme di sini. Tapi film berbiaya US$ 21,9 juta atau sekitar Rp 203 miliar ini tetap didukung pemerintah Cina, sampai-sampai bioskop setempat menurunkan Avatar dan menggantinya dengan Confucius. Bukan tanpa alasan. Ketua Centre for Chinese Studies Universitas Indonesia Ignatius Wibowo memperkirakan film ini digunakan pemerintah setempat untuk meredam disharmoni akibat kebangkitan perekonomian Cina. ”Confucius menjadi alat kampanye moral sekaligus nasionalisme,” katanya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo