Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pikukuh Baduy di Musim Paceklik

Masyarakat hukum adat Baduy mempertahankan kearifan budaya mereka. Selamat dari dampak krisis iklim.

7 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perempuan dan bocah Baduy luar berjalan melintasi huma atau ladang tadah hujan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA perempuan berjalan beriringan bersama bocah-bocah, menyusuri lorong huma. Setelan kebaya hitam, sarung biru, dan capil lebar sudah cukup menjadi identitas bahwa mereka adalah para perempuan suku Baduy luar. Pagi itu, Selasa, 27 Februari lalu, ladang yang mereka tuju sudah penuh dengan bulir-bulir pare—begitu masyarakat setempat menyebut padi—yang telah merunduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padi itu terhampar di ladang milik masyarakat hukum adat Baduy, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Warnanya yang menguning keemasan menjadi sebuah tanda untuk memulai pesta adat. “Sebulan lagi akan panen padi jenis pare koneng, pare siang, dan pare ketan,” kata Jakri, tokoh masyarakat adat Baduy, ketika ditemui di Kampung Cibeo—bagian dari Desa Kanekes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa jenis padi yang disebutkan Jakri itu adalah varietas lokal yang hanya dijumpai di wilayah adat Baduy. Padi-padi itu, yang menjadi bagian dari sumber ruang hidup masyarakat, tumbuh subur pada ladang tadah hujan.

Jakri mengatakan, selain bersiap melakukan panen raya, masyarakat Baduy tengah menjalani ritual Kawalu, tradisi penyucian diri yang sakral sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang mereka dapatkan. Selama tiga bulan masyarakat adat Baduy akan berpuasa, kemudian berburu rusa, menjerat bajing, dan diwajibkan menghindari berbagai pantangan. “Melanggar pantangan berarti merusak sukma atau jiwa,” kata Jakri.

Pantangan adat yang dimaksudkan adalah larangan berperilaku buruk sepanjang menjalani ibadah puasa. Selain itu, larangan mengkonsumsi nasi sampai batas waktu yang ditentukan, hingga pantangan menggelar pesta. Selama Kawalu, fokus mereka hanya pada keheningan. 

Perempuan Baduy Dalam menggendong panenan durian saat merayakan hari suci Baduy, Kawalu di hutan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten , 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Upacara Kawalu tahun ini dimulai pada 13 Februari sampai dengan 13 Mei mendatang. Agenda ini mundur sebulan dibanding pada tahun lalu seiring molornya musim panen. Pada masa-masa ini, wilayah adat Baduy dalam tertutup bagi pengunjung. Hal ini dilakukan karena mereka menutup diri dari pengaruh di luar lingkungannya secara ketat, termasuk pada akses kendaraan bermotor, ponsel, atau sekalipun itu sabun dan pasta gigi.

Baduy dalam berada di sisi selatan Kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Wilayah adatnya seluas 5.101 hektare, berisi permukiman, ladang, perkebunan, dan pertanian. Jumlah anggota masyarakat adat Baduy dalam ditaksir sekitar 1.500 jiwa.

Selama Kawalu, kunjungan dibatasi di area Baduy luar atau sekitar Terminal Ciboleger, akses menuju Desa Kanekes. Berbeda dengan Baduy dalam, masyarakat Baduy luar sudah relatif terbuka terhadap pengaruh modernisasi. Mereka, sekitar 16 ribu jiwa, mendiami 65 kampung.

Suku Baduy dipimpin oleh seorang kepala adat yang mereka sebut "Puun". Menurut perhitungan Puun, seperti dituturkan Jakri, pelaksanaan Kawalu tahun ini harus mundur karena pengaruh kemarau panjang. Kondisi serupa sebenarnya jamak terjadi di banyak daerah sentra pangan lainnya. Tahun lalu, fenomena iklim El Nino datang, menurunkan curah hujan dan memicu kekeringan ekstrem di sejumlah wilayah Indonesia.

Toh, masyarakat Baduy bernasib lebih mujur. Kearifan lokal yang dipegang erat-erat, terutama di Baduy dalam, menghindarkan mereka dari malapetaka krisis iklim. Ketika paceklik melanda wilayah lain, kata Jakri, masyarakat Baduy masih menikmati panen durian, duku, rambutan, dan manggis yang melimpah.

Leuit atau lumbung padi warga Baduy di hutan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Cara Baduy Selamat dari Paceklik

Jakri tengah sibuk berjaga di kampung bersama delapan warga Baduy dalam lainya. Lelaki 50 tahun itu tengah ronda menjaga pintu rumah Puun untuk mencegah kedatangan pengunjung saat ibadah Kawalu. Warga juga beramai-ramai memalang bagian depan rumah mereka dengan kayu agar tak ada orang yang bertamu. 

Selama merayakan Kawalu, warga Baduy juga membatasi diri untuk bepergian ke luar area Baduy. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu berladang. Menurut Jakri, padi-padi varietas lokal yang dipanen sebulan lagi itu disiapkan sebagai bahan membuat laksa atau tepung beras pada perayaan tradisi ngalaksa setelah panen padi huma.

Upacara adat itu bagian dari pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen pertanian padi huma. Kegiatan ini biasanya dipusatkan di rumah tetua adat Baduy. Ritual diiringi doa-doa dengan harapan hasil pertanian selanjutnya lebih baik. 

Puncak kegiatan adalah upacara adat Seba. Dalam upacara itu, warga Baduy membawa hasil bumi ke kantor bupati dan gubernur. “Menitipkan pesan agar pemerintah ikut menjaga bumi,” ujar Jakri. 

Dalam setahun, petani Baduy memanen padi dua kali. Rata-rata lahan setiap keluarga seluas setengah hektare. Lahan-lahan itu digarap dan dimiliki secara komunal. Sesuai dengan aturan adat, secara turun-temurun petani Baduy dilarang menanam padi menggunakan cangkul dan bajak agar tidak mengubah kontur tanah.

Masyarakat adat Baduy juga pantang menggunakan pupuk kimia yang dinilai merusak kesuburan tanah. Mereka bahkan tak menanam padi secara tunggal atau monokultur, melainkan tumpang sari atau polikultur di antara pohon durian, petai, manggis, duku, rambutan, mahoni, ataupun pohon teureup.

Huma atau ladang tadah hujan Orang Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Ketika Tempo sedang bersamuh, di sepanjang kebun terlihat banyak petani dan anak-anak Baduy memanggul durian hasil panen. Sejumlah petani lainnya terlihat menggendong petai. Adapun rambutan, duku, dan manggis terlihat berserakan di bawah pohon yang lebat. Di antaranya terlihat tanaman padi sudah siap dituai.

Meski hasil pertanian melimpah, masyarakat adat Baduy pantang menjual hasil panen padi. Tujuannya demi menjaga ketahanan pangan dan untuk disimpan dalam lumbung atau disebut leuit. Hasil lumbung hanya digunakan untuk kebutuhan ritual. Adapun untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, mereka memilih membeli beras di pasar.

Setiap lumbung biasanya dapat menampung 1.000 ikat padi hasil menuai. Setiap ikat berisi 3-5 kilogram padi. Berdasarkan tradisi, mereka menempatkan lumbung di dekat hutan atau ladang. Jauh dari perkampungan. Lumbung biasanya dibuat dari kayu dengan dinding anyaman bambu dan beratap daun kirai. Tingginya sekitar 3,5 meter dengan bentuk kotak masing-masing sisi 2,5 meter. 

Baduy dalam menyebut lumbung mereka dengan istilah leuit lenggang, yang berupa bangunan panggung setinggi 1 meter dari tanah. Sedangkan masyarakat Baduy luar menamai lumbungnya dengan istilah leuit handap. Biasanya mereka bakal merapal mantra untuk setiap lumbung sebagai upaya mencegah serangan hama tikus. 

Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, menyebutkan leuit merupakan cara ampuh mengatasi gagal panen akibat paceklik. Bahkan leuit disebut sebagai lambang kemakmuran keluarga, sehingga hampir setiap rumah memilikinya. “Leuit kami bisa menyimpan padi yang dipanen 50 tahun lalu, itu leuit warisan leluhur yang diturunkan ke anak cucu,” katanya.

Padi-padi yang Saija simpan tak pernah busuk karena sistem penyimpanan yang baik. Menurut dia, melalui lumbung padi itu, warga Baduy tak pernah khawatir bila sewaktu-waktu terjadi paceklik. Sistem ketahanan pangan itu, menurut Saija, berasal dari filosofi serta laku Baduy yakni lakrak, likrik, dan lukruk. 

Lakrak berarti orang Baduy muda. Likrik bermakna orang Baduy yang sudah berumah tangga dan wajib menabung dengan cara menyimpan padi. Lukruk berarti orang jompo yang tidak bisa bekerja dan mengandalkan tabungan. Tiga hal itulah yang menjadi fondasi bagi warga Baduy untuk hidup sederhana, mandiri, serta menjauhi keserakahan dan hidup bermewah-mewahan. 

Warga Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang menekankan pada sistem monoteisme kuno melalui kekuasaan tertinggi Sang Hyang Kersa. Kepercayaan itu menekankan pada ajaran saling menghormati antara alam dan manusia. 

Orang Baduy melarang manusia merusak hutan, sungai, dan gunung. Ritual Kawalu lekat dengan harapan masyarakat Baduy agar aman, tenteram, makmur, dan terhindar dari berbagai bencana. “Bila alam rusak, seluruh kehidupan Baduy juga rusak,” kata Saija.

Padi varietas lokal yang ditanam di huma atau ladang tadah hujan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Selamat dari Krisis Iklim

TESIS Nursetiawan, peneliti dari Ilmu Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, menggambarkan bagaimana kearifan lokal masyarakat Baduy efektif menyelamatkan mereka dari paceklik akibat krisis iklim. “Warga Baduy menerapkan teknik pertanian sesuai dengan ketentuan adat, yakni pikukuh dan buyut atau pantangan.”

Pertanian tradisional Baduy turut dinilai efektif mencegah gagal panen. Misalnya, saat petani hanya mengandalkan kesuburan tanah, proses dekomposisi tanah, dan curah hujan untuk menikmati hasil panen. Nursetiawan juga mendapati bahwa pupuk kimia sangat dilarang karena dianggap merusak kesuburan tanah. 

Bahkan bajak dan cangkul dilarang karena dapat mengubah topografi tanah. Dengan demikian, petani memilih menanam padi di lahan kering yang mengandalkan sistem tadah hujan. Praktis hanya varietas endemik yang tahan dari serangan hama.

Proses penanaman padi tak bisa sembarangan, harus mengikuti tanda-tanda alam—dalam mitologi Baduy penghormatan kepada Dewi Sri atau Nyi Pohaci—yang memuliakan padi. Simbolisasi penghormatan ini muncul pada varietas padi mereka, yakni pare koneng, pare siang, dan ketan langgasari. Penanaman setiap jenis padi itu berbeda-beda di tempat yang sudah ditentukan oleh adat. 

Dalam hal menabur benih juga dihitung. Prosesnya harus melingkar mengikuti perputaran arah jarum jam. Bagi masyarakat Baduy, arah melingkar dalam proses penanaman benih padi disimbolkan sebagai perempuan, yakni Nyi Pohaci, dan bentuk persegi pupuhunan sebagai laki-laki atau bumi. 

Selain itu, mereka punya strategi ketahanan pangan melalui leuit. “Strategi bertahan di tengah kekeringan ataupun bencana,” kata Nursetiawan.

Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Samsul Maarif, menyebutkan warga Baduy bergantung pada kelestarian alam demi menjaga keberlangsungan hidupnya. Berbagai laku pantangan merusak alam sesuai dengan ketentuan adat menjadi cara mereka bertahan hidup. 

Wujud mitigasi krisis iklim lainnya adalah menyimpan padi dalam lumbung. Bagi mereka, padi adalah sumber kehidupan. Ritual adat sebagai tradisi sejak mereka menanam, memanen, hingga menyimpan padi menjadi sesuatu yang sakral dan berlangsung turun-temurun. “Orang Baduy sangat bergantung pada alam, menggunakan paradigma ekosentris,” kata Samsul. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus