Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Bukti Dugaan Tsunami Banten 2018 Bukan Sebab Erupsi Anak Krakatau

Ada gempa di Gunung Anak Krakatau yang dicatat terjadi sebelum muncul gelombang tsunami. Beda analisa antara Badan Geologi dan BMKG.

31 Desember 2021 | 23.24 WIB

Gunung Anak Krakatau dan gugusan pulau vulkanik di sekitarnya di Kepulauan Krakatau, yang diambil pada 11 Januari 2019. Aktivitas Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 diduga menyebabkan tsunami di Selat Sunda. REUTERS/DigitalGlobe
Perbesar
Gunung Anak Krakatau dan gugusan pulau vulkanik di sekitarnya di Kepulauan Krakatau, yang diambil pada 11 Januari 2019. Aktivitas Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 diduga menyebabkan tsunami di Selat Sunda. REUTERS/DigitalGlobe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tim riset gabungan menemukan bukti baru yang mengungkap kejadian erupsi dan tsunami dari Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018. Menurut anggota tim riset Mirzam Abdurrachman, bukan erupsi yang menyebabkan lereng puncak gunung yang berada di perairan Selat Sunda itu rontok lalu menyebabkan tsunami, melainkan sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Ketidakstabilan lereng barat daya Gunung Anak Krakatau itu yang menyebabkan letusan besar setelah longsor,” katanya kepada Tempo, Jumat 31 Desember 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan didapat dari penelitian yang melibatkan tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), University of Oxford, University of Birmingham, dan British Geological Survey. Penelitian yang dimulai pada 2017 itu awalnya ingin mengkaji letusan Gunung Anak Krakatau pada 1883.

Saat riset berjalan itulah, Gunung Anak Krakatau meletus pada 22 Desember 2018. Gelombang tsunami yang terjadi kemudian sampai merenggut korban jiwa. Peristiwa itu, menurut Mirzam, membuat tim peneliti merasa kecolongan karena menimbulkan tsunami tanpa terdeteksi dengan baik oleh tim yang sedang meneliti.

Temuan di lapangan mendapati batuan kristal hasil letusan di sekitar Gunung Anak Krakatau menunjukkan erupsi yang terjadi bukan dipicu oleh dorongan magma dari dalam gunung ke puncak. “Tapi oleh tekanan tiba-tiba, itu cukup mengejutkan,” kata dosen di kelompok keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu.  

Tekanan seketika itu, Mirzam menduga, berasal dari lereng puncak Gunung Anak Krakatau yang runtuh atau longsor. Setelah gunung kehilangan sebagian tubuhnya itu, dan magma langsung bergerak naik.

Mirzam mengibaratkan ketika tutup minuman soda dibuka setelah digoyang-goyang, isinya kemudian menyembur ke mana-mana. “Ketidakstabilan lereng barat daya Gunung Anak Krakatau itu yang menyebabkan letusan besar setelah longsor,” kata dia.

Lereng gunung yang longsor itu disebutnya akibat ketidakstabilan karena akumulasi dari massa lava, dan abu. Akumulasi material itu sejalan dengan catatan bahwa sebelum letusan besar pada 22 Desember 2018, ada letusan-letusan kecil sejak 16 bulan sebelumnya. “Gempa-gempa vulkanik bisa ikut bergabung, tapi gempa tektonik rasanya pada waktu itu tidak signifikan untuk menggerakkan,” kata dia.

Selain itu posisi Gunung Anak Krakatau, menurutnya, tidak lahir pada bidang horizontal tapi pada bidang miring. “Akibatnya dia ada tendensi untuk meluncur ke wilayah tertentu,” kata Mirzam.

Arah luncuran material Gunung Anak Krakatau ke arah barat daya. Longsoran itu yang sejauh ini diyakini sebagai penyebab tsunami ke daratan sekitar.

Bukti lainnya adalah riwayat menjelang letusan besar, pergerakan magma ke atas sempat berhenti sesaat, sehingga tidak ada tanda-tanda akan meletus besar. Sementara, teknik pemantauan gunung api mempelajari adanya pergerakan magma vertikal.

“Artinya bahwa kalau kemudian faktornya eksternal, kita di gunung api yang aktif saat ini harus hati-hati,” ujarnya. 

Sebelumnya diberitakan, peneliti dari Pusat Survei Geologi Asdani Soehami mengatakan, ada peristiwa gempa tektonik dekat lokasi Gunung Anak Krakatau sebelum tsunami. “Terjadi gempa di sana dan ada catatannya,” kata Asdani dalam Geoseminar di Auditorium Museum Geologi Bandung, Jumat, 15 Maret 2019. 

Catatan gempa itu didapatnya dari Badan Geofisika Jerman, GFZ. Kekuatan gempa yang dimaksud sebesar M5,0 dengan pusatnya di sekitar Gunung Anak Krakatau. Menurut Asdani, gempa itu juga tercatat oleh empat stasiun pemantau milik Badan Geologi yang ada di Rajabasa Lampung, Gunung Gede, Salak, dan Sertung.

Mekanisme gempanya disebut sebagai strike slip, atau patahan aktif yang bergerak mendatar menganan turun. Gunung itu, menurutnya, teriris oleh kelurusan patahan, sehingga saat terjadi gempa itu, ada blok batuan yang turun dan naik.

Blok yang turun itu kemudian meruntuhkan material sedimen hasil letusan gunung yang bertumpuk di lereng sebelah tenggara-barat daya. Longsoran itu, kata Asdani, kemudian meluncur ke dalam cekungan di laut sekitar gunung. “Begitu longsor masuk cekungan sedalam 300 meter, itu bisa menimbulkan tsunami yang cukup dahsyat,” ujarnya.

Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) juga mencatat adanya getaran setara M3,4 yang bertitik sumber di lereng Gunung Anak Krakatau sebelum tsunami. Namun BMKG tidak mengakuinya sebagai gempa bumi, melainkan longsoran material gunung.

"Kalau gempa dengan kekuatan (magnitude) 5, mana ada manusia tidak merasakan," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono saat dihubungi Senin, 24 Desember 2018. Longsoran itu, menurut BMKG, kemudian memicu tsunami, di antaranya sekitar setengah jam kemudian sampai di pesisir barat Banten.


Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus