Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri farmasi menghasilkan emisi karbon 55 persen lebih tinggi ketimbang industri otomotif.
Emisi karbon itu di antaranya berasal dari pengemasan obat yang setidaknya terdiri atas tiga lapis kemasan.
Perlu pengaturan soal limbah industri farmasi.
Sektor industri farmasi berkontribusi besar terhadap emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah riset menunjukkan industri farmasi menghasilkan 48,55 ton emisi gas setara dengan CO2 per 1 juta dolar pendapatan. Angka ini 55 persen lebih besar dari industri otomotif yang menghasilkan 31,4 ton emisi gas setara dengan CO2 per 1 juta dolar pendapatan pada tahun yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emisi ini tidak hanya disumbang oleh aktivitas industri secara langsung, tapi juga aktivitas tidak langsung, seperti proses transportasi dan distribusi produk. Salah satu penyumbang emisi adalah proses pengemasan obat. Sebenarnya masalah ini bukan hanya tanggung jawab industri obat, tapi juga semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, distributor, apotek, dokter, dan pasien.
Baca: Dana Jumbo untuk Turunkan Emisi Karbon
Seberapa Penting Peran Kemasan bagi Produk Farmasi?
Produk farmasi menempuh proses distribusi yang panjang.
Tidak hanya harus melewati batas antardaerah, obat-obatan juga harus melalui batas antarnegara. Karena itu, produk farmasi harus dikemas sedemikian rupa agar keutuhan dan kestabilannya terjaga hingga sampai di tenaga kesehatan dan pasien yang menerimanya.
Selain sebagai wadah yang menampung obat agar mudah ditangani, kemasan farmasi memiliki fungsi proteksi dari pengaruh lingkungan luar yang dapat merusak kandungan obat. Cahaya, kelembapan, oksigen, kontaminasi bakteri dan mikroba lain, kerusakan mekanis, serta pemalsuan merupakan hal-hal yang dapat menurunkan kualitas produk farmasi.
Ilustrasi limbah farmasi. Shutterstock
Kemasan farmasi pun memiliki fungsi presentasi dan informasi. Pada kemasan farmasi umumnya tertera nama obat sebagai identitas serta sejumlah informasi, seperti komposisi, berat atau volume, cara pakai, cara penyimpanan, tanggal kedaluwarsa, dan tanda peringatan khusus.
Informasi ini tidak hanya penting diketahui pasien sebagai pengguna akhir, tapi juga oleh tenaga kesehatan. Sejumlah obat tidak bisa digunakan sendiri oleh pasien, bahkan memerlukan instruksi khusus untuk diberikan, seperti obat kanker.
Ada tiga lapis kemasan farmasi, yakni kemasan primer, kemasan sekunder, dan kemasan tersier.
Kemasan primer merupakan kemasan yang bersentuhan langsung dengan produk obat. Kemasan ini berpengaruh langsung pada umur simpan obat. Contohnya botol sirup, botol obat tetes mata, dan tube krim.
Kemasan sekunder merupakan kemasan yang melindungi kemasan primer, seperti dus dan boks karton. Sementara itu, kemasan tersier digunakan untuk distribusi dan transportasi produk dalam jumlah besar, misalnya kontainer.
Dengan demikian, untuk setiap obat yang diproduksi dan didistribusikan hingga sampai ke tangan konsumen, akan selalu ada limbah yang dihasilkan. Bukan hanya limbah obat, tapi juga kemasannya.
Bahan seperti aluminium foil, yang lazim digunakan dalam kemasan obat, memiliki dampak yang kurang baik terhadap lingkungan, bahkan dibanding kemasan polivinil klorida (PVC), menurut sebuah studi.
Proses manufaktur kemasan aluminium foil menjadi faktor penyumbang dampak negatif kemasan ini terhadap lingkungan. Proses manufaktur aluminium menghasilkan hampir 270 juta ton emisi gas karbon dioksida. Sedangkan manufaktur aluminium foil menghasilkan 3,1 kilogram emisi setara dengan gas karbon dioksida per kilogram.
Ilustrasi limbah farmasi. Shutterstock
Peran Industri Farmasi dalam Atasi Masalah Limbah Kemasan Obat
Sebuah riset terhadap 20 perusahaan farmasi global menunjukkan komitmen korporasi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca melalui sejumlah strategi.
Mereka, antara lain, menggunakan kemasan produk yang dapat didaur ulang serta menggunakan e-labeling (pelabelan produk secara elektronik) untuk menurunkan limbah kemasan. Strategi ini dilakukan sejumlah industri besar, seperti Takeda, AstraZeneca, dan Astellas.
Sejumlah inovasi juga dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah ini, di antaranya melalui rekayasa enzim pengurai plastik, plastik jenis polietilena tereftalat (PET) yang bisa didaur ulang.
Selain itu, ada pengembangan bahan bioplastik baru yang berpotensi digunakan sebagai bahan pengemas. Bahan-bahan seperti pati, selulosa, kitin atau kitosan (senyawa yang dapat dihasilkan cangkang udang dan kepiting), xilan (turunan selulosa yang dihasilkan kelompok rumput-rumputan, termasuk tebu), serta protein merupakan bahan alami yang dapat dikembangkan menjadi plastik yang lebih mudah terurai.
Sementara itu, solusi lainnya adalah dengan mendaur ulang obat. Limbah kemasan obat yang tidak digunakan dapat didaur ulang, bahkan untuk kemasan khusus seperti inhaler.
Bukan Semata Tanggung Jawab Industri Farmasi
Tanggung jawab masalah yang ditimbulkan bahan kemasan obat tidak hanya diemban industri farmasi, tapi juga seluruh pemangku kepentingan. Distributor farmasi dapat berfungsi sebagai sentra penyimpanan obat di suatu wilayah dan sebagai lokasi penukaran obat yang mendekati tanggal kedaluwarsa.
Sedangkan apoteker memiliki peran penting sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan obat dan pelayanan kefarmasian. Apoteker perlu mengelola stok obat dengan tepat untuk mengurangi limbah obat yang tidak terpakai. Di Belanda, misalnya, sebuah platform daring bernama PharmaSwap memungkinkan penukaran obat antar-apotek untuk mengurangi penumpukan stok obat yang jarang digunakan.
Apoteker juga dapat menjadi perantara pemilihan kemasan obat yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, obat yang dikemas dalam kemasan pre-filled syringe (alat suntik yang sudah mengandung obat) akan menghasilkan limbah kemasan yang lebih sedikit dibanding kemasan vial dosis tunggal.
Apoteker juga dapat membantu mengurangi penyediaan obat berlebihan kepada pasien dengan menyesuaikan pemberian obat dengan stok obat milik pasien. Pasien kerap menyimpan obat tak terpakai di rumahnya, sementara mereka terus menerima persediaan obat baru. Hal ini menyebabkan penumpukan obat berikut kemasannya di tingkat rumah tangga.
Limbah obat beserta kemasannya yang telanjur terjadi dapat ditangani melalui pengelolaan jalur pembuangan obat yang baik dan benar. Apotek dapat mengumpulkan obat tidak terpakai untuk mengurangi pembuangan obat di tempat sampah rumah tangga atau di saluran pembuangan air limbah.
Sementara itu, 20 persen obat juga dikembalikan dalam kemasan tertutup, tidak rusak, dan umur simpan lebih dari enam bulan sehingga dapat diserahkan kembali kepada pasien lain yang membutuhkan.
Namun praktik penyerahan obat ini juga menimbulkan keraguan publik ihwal jaminan mutu. Karena itu, diperlukan inovasi dalam teknologi obat, seperti melalui sensor yang dapat menjamin kualitas dan keamanan obat yang diserahkan ulang (redispensing).
Peran pemerintah atau lembaga regulasi, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan, juga sangat penting dalam menurunkan masalah lingkungan soal limbah kemasan obat. Mereka harus mengedukasi, membuat pedoman untuk membatasi limbah farmasi, serta berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti industri farmasi, distributor, fasilitas pelayanan kesehatan, dan tenaga kesehatan.
Tanpa dukungan pembuat kebijakan, upaya meminimalkan limbah kemasan obat juga akan terhambat. Dengan demikian, target pengurangan emisi untuk mencegah suhu bumi makin panas pun sulit tercapai.
---
Artikel ini ditulis oleh Lailaturrahmi, dosen Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Terbit pertama kali di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo