Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA peristiwa penting mengungkit problem laten kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pemilihan Umum 2024, yang semula menjadi harapan para pegiat lingkungan akan membawa perubahan, justru dinilai gagal mengerek isu ini sebagai perhatian utama para calon wakil rakyat. Sementara itu, kasus dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di konsesi PT Timah Tbk (TINS) yang tengah disidik Kejaksaan Agung menjadi contoh betapa suburnya praktik tambang ilegal di provinsi dengan julukan Bumi Serumpun Sebalai ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan agar Pemilu 2024 menghasilkan upaya percepatan pemulihan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung jauh panggang dari api. Hingga pemungutan suara digelar pada 14 Februari lalu, isu kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam tenggelam. Nyaris tak ada calon anggota legislatif, baik caleg DPR maupun DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang menyuarakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz menyesalkan minimnya perhatian para caleg terhadap isu kerusakan lingkungan. Padahal dampak eksploitasi sumber daya alam, terutama pertambangan timah, terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan Bangka Belitung semakin mengkhawatirkan. Walhi Kepulauan Bangka Belitung mencatat, dalam kurun waktu 2014-2021, hutan tropis seluas 460 ribu hektare hilang di Bangka Belitung.
"Eksploitasi sumber daya alam di Bangka Belitung hanya menyisakan 197.255 hektare hutan, yang sekarang menjadi satu-satunya harapan bagi 1,4 juta masyarakat dan berbagai keanekaragaman hayati di Bangka Belitung," ujar Hafiz kepada Tempo pada Rabu, 14 Februari lalu.
Menurut dia, para calon wakil rakyat semestinya memprioritaskan penanganan kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Isu ini menjadi penting bukan semata-mata lantaran hutan semakin menyusut, tapi juga karena eksploitasi SDA di Bangka Belitung sarat dengan praktik yang jauh dari prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik.
Ponton Isap Produksi (PIP) yang merupakan alat produksi mencari pasir timah diduga beroperasi secara ilegal di kawasan Pantai Desa Penagan Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka, 22 November 2023. Istimewa
Hafiz mencontohkan buruknya tata kelola pada pertambangan timah, baik yang masih beroperasi maupun pada lubang tambang yang ditinggalkan kontraktor pertambangan. Sepanjang 2021-2023, Walhi Kepulauan Bangka Belitung mencatat, sedikitnya 27 orang meninggal dan 20 orang lainnya terluka akibat kecelakaan kerja di pertambangan Bangka Belitung. Pada periode yang sama, 21 orang meninggal karena tenggelam di bekas lubang tambang yang tak diurus pemulihannya. "Lebih separuh korbannya merupakan anak-anak dan remaja," ujarnya.
Pada sisi lain, ekspansi pertambangan juga memicu persoalan lain, seperti meningkatnya angka konflik antara masyarakat dan satwa liar yang ruang hidupnya semakin menyempit. Dua tahun terakhir, menurut Hafiz, Walhi Kepulauan Bangka Belitung mendata sebanyak 25 kasus serangan buaya yang habitatnya terganggu. Sebanyak 14 orang meninggal dalam kasus-kasus tersebut.
Hafiz menilai kerusakan lingkungan di Bangka Belitung dalam kondisi kritis. “Terabaikannya isu ini dalam pemilu lalu membuat harapan untuk memulihkan Bangka Belitung semakin sulit diwujudkan,” katanya.
MapBiomas Indonesia, platform analisis tutupan dan penggunaan lahan yang dikembangkan Auriga Nusantara, mengkonfirmasi keresahan Hafiz. Sepanjang dua dekade terakhir, lubang tambang di Kepulauan Bangka Belitung bertambah luas hampir tiga kali lipat. Pada 2000, luas lubang tambang di provinsi ini teridentifikasi sebesar 28,86 ribu hektare—setara dengan gabungan luas wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Sedangkan pada 2022, luasnya telah menembus 80 ribu hektare—lebih luas dibanding wilayah DKI Jakarta.
Lubang tambang tersebut tersebar merata di tujuh kabupaten/kota. Per 2022, lubang tambang paling luas secara berturut-turut berada di Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Belitung, Kabupaten Bangka Selatan, dan Kota Pangkalpinang.
Buah Persekutuan Politikus dan Pebisnis Tambang
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (Fordas) Bangka Belitung Fadillah Sabri menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan persoalan eksploitasi sumber daya alam tenggelam dalam Pemilu 2024. Fadillah mengatakan koneksi politikus dan pengusaha, terutama pebisnis tambang, amat erat di Bangka Belitung.
Menyuarakan isu kerusakan lingkungan akan menurunkan peluang politikus untuk mendapat dukungan, termasuk pendanaan politik, dari para pengusaha tambang. Berada di barisan penolak eksploitasi pertambangan juga mengurangi potensi dukungan suara dari masyarakat pro-tambang, yang jumlahnya tak sedikit.
Fadillah tak sembarangan membuat kesimpulan. Dia pernah mengalaminya ketika turut menjadi kontestan dalam pemilihan Bupati Bangka pada 2018. Kala itu, Fadillah menjadi calon wakil bupati berpasangan dengan Kemas Danial, yang diusung koalisi Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
"Saya dan pasangan saya waktu itu mengatakan tidak untuk tambang ilegal dan akan berfokus pada isu lingkungan," kata Fadillah. "Akhirnya sudah ditebak. Kami kesulitan."
Pengalaman serupa kembali terjadi ketika Fadillah kembali berlaga dalam Pemilihan Umum 2019 sebagai calon anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung dari PAN. Kala itu, ia kembali menyuarakan masalah pada bisnis tambang. Alih-alih mendapat dukungan, ia justru menerima berbagai bentuk serangan dari kelompok pro-tambang ilegal.
"Dari sini bisa diketahui bahwa pasangan calon di pilkada atau caleg yang tidak mendukung tambang bakal sulit terpilih," kata Fadillah yang kini menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung.
Pemungutan suara di TPS yang ada di Kota Pangkalpinang, 14 Februari 2024. TEMPO/Servio Maranda
Menurut Fadillah, para politikus juga dihadapkan pada dilema. Cuan bisnis tambang yang berlimpah membuat para pelaku usaha pertambangan berjejaring dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya aparatur sipil negara dan penegak hukum. Jejaring inilah yang kemudian menjadi mafia tambang. "Jika para politikus ini tidak terlibat langsung dengan tambang, mereka juga tidak mendapat apa-apa,” kata Fadillah. “Sementara itu, jika berkoar-koar bersuara menolak tambang dan pro-lingkungan, mereka akan langsung berhadapan dengan para mafia tambang tersebut.”
Walhasil, politikus pada akhirnya menjadi bagian dari mafia pertambangan. Menurut Fadillah, tak sedikit di antara mereka berbisnis tambang atau membuka usaha yang terafiliasi dengan perusahaan tambang. “Jadi, sulit berharap isu lingkungan diperjuangkan politikus,” ujarnya.
Karena itu Fadillah mengapresiasi penyidikan Kejaksaan Agung, yang belakangan juga menjerat sejumlah mantan petinggi PT Timah Tbk. Dia juga memuji langkah Kepolisian Daerah Bangka Belitung yang belum lama ini berikhtiar membubarkan praktik tambang ilegal di sekitar kawasan Bandara Depati Amir Pangkalpinang, meski hingga kini belum menguak aktor di belakangnya.
Fadillah mengakui industri pertambangan mempunyai daya ungkit yang besar terhadap perekonomian dan bisa menunjang kesejahteraan masyarakat. Namun, kata dia, praktik pertambangan semestinya bisa berjalan beriringan dengan memperhatikan prinsip pelindungan terhadap lingkungan hidup. Syaratnya, kata dia, tata kelola pertambangan harus diperbaiki.
“Ini perlu komitmen dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” kata Fadillah. “Kita tidak antitambang. Tapi jangan serampangan. Kalau terlalu bebas seperti ini, bahaya ke depan.”
Badan Pusat Statistik mencatat produk domestik regional bruto (PDRB) Kepulauan Bangka Belitung tahun lalu—atas dasar harga konstan—mencapai Rp 60,34 triliun, tumbuh 4,38 persen dibanding pada 2022. Dari nilai tersebut, lapangan usaha pertambangan dan penggalian berkontribusi senilai Rp 6,41 triliun, turun 1,2 persen dibanding pada 2022.
Hal yang menarik, PDRB Bangka Belitung pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian selama satu dekade terakhir stagnan dan cenderung menurun. Omzet ekonomi paling besar dari sektor ini tercatat pada 2017 dan 2019, ketika PDRB pertambangan dan penggalian mencapai Rp 6,63 triliun. Data ini berbanding terbalik dengan perluasan lubang tambang yang semakin masif di Bangka Belitung pada periode yang sama.
Aktivitas tambang timah diduga ilegal yang beroperasi di kawasan Pantai Pangkalpinang Niur Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka, 15 Januari 2024. TEMPO/Servio Maranda
Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (UBB), Ranto, mengatakan ada sejumlah faktor yang menyebabkan partai politik dan para caleg yang mereka usung di daerah pemilihan Bangka Belitung mengabaikan isu kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan. Pertama, kebijakan pertambangan tidak lagi menjadi domain pemerintah daerah. Segala hal, termasuk urusan perizinan tambang, kini dikendalikan oleh pemerintah pusat. “Dengan dalih inilah, politikus di daerah berlindung untuk tidak mendiskusikan masalah kerusakan lingkungan,” kata Ranto yang juga menjadi peneliti di Yayasan Kapong Sebubong Indonesia.
Selain itu, menurut dia, sebaran pemilih banyak bersinggungan langsung dengan aktivitas pertambangan timah, termasuk yang ilegal. Akibatnya, politikus menjadi berhati-hati merespons isu lingkungan di Bangka Belitung. Sependapat dengan Fadillah, Ranto mencermati adanya gejala politikus takut menjadikan agenda pelindungan lingkungan hidup sebagai bahan kampanye mereka. “Ketika politikus sudah dikesankan sebagai anti-timah, langsung disematkan sekaligus tidak pro-rakyat,” ujarnya.
Ranto juga sependapat dengan Fadillah ihwal adanya hubungan erat antara sejumlah caleg dan usaha pertambangan. Politikus yang berbisnis tambang, kata dia, akan bergantung pada perputaran uang sektor ekstraktif ini, terutama yang ilegal. “Aktivitas tambang timah ilegal merupakan jalur cepat mendapatkan duit segar untuk menjalankan mesin-mesin politik, seperti tim sukses yang berserakan di level akar rumput," ujar Ranto.
Dalih Tambang Penopang Utama Ekonomi
Salah satu caleg yang terafiliasi dengan perusahaan tambang adalah Harwendro Adityo Dewanto. Menantu pengusaha Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, ini menjadi calon anggota DPR dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di daerah pemilihan Bangka Belitung.
Merujuk pada data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harwendro tercatat duduk sebagai direktur di dua perusahaan tambang timah, yakni PT Mitra Stania Bemban (MSB) dan PT Mitra Stania Prima (MSP). Kedua perseroan itu juga terafiliasi dengan PT Mitra Stania Kemingking (MSK) yang sempat berkonflik dengan masyarakat.
Diduga membeli timah dengan harga murah dan masalah lainnya, aset MSK yang terletak di Desa Penyak, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, tersebut dirusak dan dibakar penambang timah pada 11 Januari lalu. Kepolisian kemudian menahan dan menetapkan Kepala Desa Penyak saat itu, Sapawi, dan dua warganya sebagai tersangka karena dianggap menjadi provokator.
Harwendro menampik anggapan politikus mengabaikan isu pemulihan lingkungan di Bangka Belitung. Dia menyatakan selalu menempatkan isu ini sebagai agenda penting. Kendati demikian, dia juga mengingatkan bahwa prospek pertambangan timah di Bangka Belitung masih sangat bagus di masa mendatang.
Karena itu, Harwendro berjanji akan mendorong pengaturan tambang yang lebih ramah lingkungan jika kelak terpilih menjadi anggota DPR. “Kami akan dorong regulasi penambangan nantinya produk timah Bangka Belitung menjadi green tin atau timah yang syarat akan kelestarian lingkungan," kata Harwendro yang juga menjadi Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia.
Calon legistif (caleg) DPR RI daerah pemilihan Bangka Belitung Harwendro Adityo Dewanto (kiri) bersama Dr H Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya dan Dewan Pakar dan Pengarah TKN Prabowo-Gibran Hasyim Djojohadikusumo di GOR Sahabudin, 9 Februari 2024. Dok. Antara
Harwendro mencontohkan perusahaannya yang ia klaim telah berkomitmen terhadap pelindungan lingkungan hidup dengan melakukan reklamasi pasca-tambang seluas 15 hektare. Kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan inilah yang membuat perusahaannya meraih Program Penilaian Peringkat (Proper) Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kami juga sudah memenuhi kewajiban dari negara mengenai daerah aliran sungai. Di situ kami menanam 27 hektare tanaman produktif, yaitu jambu mete, dan sudah kami serahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup," kata Harwendro. Dia mengungkapkan rencana lanjutan perusahaannya untuk merehabilitasi daerah pasca-tambang seluas lebih dari 50 hektare.
Harwendro yakin aktivitas pertambangan dan pemulihan lingkungan bisa dilakukan seiring sejalan. Namun, menurut dia, karut-marut masalah tambang di Bangka Belitung perlu diselesaikan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. “Perlu ada kebijakan politik karena regulasi yang berbeda antara Kementerian ESDM dan KLHK serta harus diselesaikan," ujarnya.
Caleg DPRD Kota Pangkalpinang dari Partai NasDem, Jerry Suryadi, mengatakan masyarakat masih bergantung pada tambang timah karena menjadi penopang utama ekonomi keluarga. Menurut dia, perusahaan-perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Bangka Belitung telah melibatkan tenaga kerja setempat. “Hanya, masyarakat yang tidak tergabung dengan pemilik IUP ini yang liar karena merusak lingkungan dan timah yang didapat tidak diketahui lari ke mana," kata dia.
Jerry, yang juga menjadi Ketua Harian Asosiasi Tambang Rakyat Daerah (Astrada) Bangka Belitung, menilai pemerintah semestinya bisa membina para penambang liar tersebut. Dengan begitu, mereka dapat menambang sesuai dengan aturan serta kaidah dan teknik yang benar. Salah satu jalannya, dia mencontohkan, adalah memfasilitasi para penambang liar untuk bekerja dengan pemegang IUP. “Penambang liar ini muncul juga disebabkan oleh faktor sulitnya mencari area yang mau ditambang sehingga masuk ke kawasan hutan konservasi, hutan lindung, ataupun hutan produksi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Bangka Belitung yang juga mantan Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, menilai persoalan utama maraknya aktivitas pertambangan yang tidak terarah adalah lemahnya penegakan hukum. Menurut dia, siapa pun politikus yang duduk sebagai presiden, kepala daerah, atau anggota DPRD bakal sulit membenahi persoalan tambang dan krisis lingkungan di Bangka Belitung jika penegakan hukum masih tidak serius dan tebang pilih.
"Sumbernya di penegakan hukum dulu, baru bisa dibenahi semua. Kita tidak bisa mendahulukan pembenahan lingkungan dulu atau pertambangan dulu,” kata Didit yang kembali menjadi caleg DPRD Provinsi Bangka Belitung dari daerah pemilihan Kabupaten Bangka Tengah. “Apalagi Bangka Belitung telanjur menjadikan tambang sebagai sumber ekonomi utama.”
SERVIO MARANDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo