Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia atau PDPI Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa mikroplastik yang kini sudah ditemukan dalam kandungan awan di udara dapat memicu terjadinya kerusakan paru-paru pada manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Mikroplastik jelas adalah bagian dari polusi baik di air maupun udara. Di udara, mikroplastik dapat dijumpai di luar ruangan seperti udara bebas, juga dalam ruangan,” kata Tjandra saat dihubungi ANTARA pada Jumat, 6 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menanggapi dampak buruk mikroplastik yang ditemukan dalam awan oleh sejumlah peneliti Jepang, Prof Tjandra mengatakan partikel mikroplastik sudah lebih dulu ditemukan pada dahak dan jaringan paru manusia berdasarkan sebuah data ilmiah.
Dikarenakan ukuran partikelnya yang amat kecil, mikroplastik dapat dengan mudah masuk jauh ke dalam paru-paru. Terdapat lima mekanisme kerusakan dalam paru yang dapat terjadi jika partikel asing itu berhasil masuk.
Tjandra menjelaskan paru-paru manusia bisa mengalami peradangan, adanya sitotoksisitas atau rusaknya zat atau sel dalam paru dan mengalami disfungsi barier epitel yang berfungsi sebagai ‘gerbang’ pelindung tubuh dari zat asing.
Bahaya lainnya yakni terjadinya redox imbalance, yang berkaitan dengan ketidakseimbangan oksidasi, serta kemungkinan efek sinergi dengan alergen secara umum.
Lebih lanjut Tjandra menyatakan bentuk dan tingkat konsentrasi pencemaran udara akibat mikroplastik bisa dipengaruhi oleh gaya hidup manusia, aktivitas antropogenik seperti pencemaran atau masuknya limbah dari kegiatan industri, pertambangan, dan pertanian hingga situasi meteorologi setempat.
“Harus diakui bahwa penelitian dampak kesehatan paru akibat mikroplastik masih amat terbatas, sehingga jenis penyakit pasti belum dapat ditentukan,” ujar Mantan Direktur Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara itu.
Atas dasar tersebut, Tjandra mengusulkan agar pemerintah Indonesia mulai melakukan empat jenis penelitian sebagai bentuk antisipasi dari dampak buruk mikroplastik dalam awan. Pertama, penelitian terkait dampak jangka panjang yang disebabkan oleh mikroplastik terhadap kemungkinan terjadinya asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), fibrosis paru, emfisema dan penyakit lainnya.
Selanjutnya, pemerintah perlu mengkaji dampak dari nano mikroplastik yang dari paru mungkin menyebar melalui peredaran darah, meneliti adanya potensi partikel tersebut masuk ke dalam peredaran darah sehingga menimbulkan dampak pada organ lain selain paru, sampai mengukur berapa lama mekanisme pernapasan mampu membersihkan diri dari polusi mikroplastik.
Pada Selasa lalu, sebuah tim peneliti asal Jepang melalui studi yang dipublikasikan dalam Environmental Chemistry Letters, menyatakan telah menemukan keberadaan partikel mikroplastik di dalam awan.
Fenomena tersebut berhasil diketahui setelah peneliti menggunakan teknologi canggih terhadap sampel air, ketika mendaki Gunung Fuji dan Gunung Oyama untuk mengumpulkan air dari kabut yang ada di kawasan sekitar.
Hasilnya, ditemukan 6,7 hingga 13,9 serpihan mikroplastik, sembilan di antaranya berjenis polimer, dan sisanya berupa karet dengan kisaran ukuran yang ditemukan dalam awan yakni 7,1 sampai dengan 94,6 mikrometer.
Pilihan Editor: BMKG: Bandung Terdingin & Terpanas, Waspadai Gelombang Tinggi di Pelbagai Perairan Indonesia
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.