Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menyelamatkan Lahan dengan Pupuk Hijau

Revolusi hijau menciptakan ketergantungan pada pupuk kimia. Petani dengan pupuk organik bisa lebih untung.

26 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buruh tani menabur pupuk di persawahan Desa Kedungboto, Jombang, Jawa Timur. ANTARA/Syaiful Arif

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Revolusi hijau yang berlangsung sejak 1960-an membuat lahan bergantung pada pupuk kimia.

  • Banyak lahan sulit ditanami karena kehabisan unsur hara.

  • Penggunaan pupuk organik lebih menguntungkan petani, sekaligus dapat mengembalikan kondisi tanah.

Nining Erlina Fitria, 48 tahun, mengisahkan bagaimana pertanian tempat tinggalnya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, harus berjuang agar bisa lepas dari ketergantungan pupuk kimia. Turun-temurun menggunakan pupuk kandang, petani di sana beralih ke pupuk kimia sebagai bagian dari Revolusi Hijau di era Presiden Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nining mulai melibatkan diri dalam pertanian di Agam sejak 1999. Dia mendampingi petani di sana bersama Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia dan Komite Nasional Pertanian Keluarga. Saat itu, para petani sangat bergantung pada benih-benih unggul dan pupuk kimia. “Petani menjadi miskin karena semua harus beli,” ujar Nining kepada Tempo pada Selasa, 25 April 2023. Pasca-produksi pun, petani kecil itu tetap bergantung pada harga yang ditetapkan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revolusi hijau merupakan upaya peningkatan produktivitas pangan lewat penggunaan teknologi budi daya pertanian. Berkembang sejak 1950-an, gerakan ini mulai bergulir di Indonesia pada masa Orde Baru. Meski berhasil mencapai swasembada beras pada 1984, masyarakat harus membayar dampak buruk dari revolusi hijau. "Seperti kepunahan keanekaragaman hayati setempat hingga kerusakan ekosistem," kata Eko Cahyono, peneliti senior di Sajogyo Institute, lembaga nonprofit di bidang studi dan dokumentasi agraria yang berbasis di Bogor.

Eko mengatakan, terjadi pergeseran banyak hal, termasuk keberadaan benih lokal dan cara bertani yang berlangsung secara turun-temurun. “Modernisasi dan intensifikasi pertanian inilah hulu revolusi hijau,” ujar mantan Direktur Eksekutif Sajogyo Institute ini.

Disebut "revolusi" karena perubahannya bukan hanya pada teknik menanam atau cara mengelola sawah, tapi juga soal budaya bertani. “Mental, paradigma, cara berpikir petani, berubah total,” kata Eko.

Revolusi hijau berbentuk intervensi teknologi, irigasi, dan asupan sarana produksi modern. “Maka bibitnya baru, pupuknya baru, irigasinya baru,” ujar Eko. Bibit unggul yang digunakan pada masa revolusi hijau berbeda dengan bibit atau benih yang biasa digunakan petani tradisional.

Petani menabur pupuk di ladang kentang di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

Penggunaan bibit unggul juga menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati karena petani didorong untuk menanam satu jenis tanaman sehingga tanaman lokal yang beragam mulai tersisihkan. “Tidak hormat-menghormati lokalitas,” ujarnya.

Meskipun menghasilkan tanaman yang berkualitas, bibit unggul yang digunakan tidak bisa dikembangbiakkan oleh petani. Untuk penanaman berikutnya, petani kudu kembali membeli bibit unggul yang besertifikat. “Dampaknya adalah ketergantungan,” kata Eko. Praktik ini berbanding terbalik dengan bibit tradisional yang dapat dikembangkan secara mandiri oleh petani.

Mereka juga harus memakai pupuk kimia. Hal ini, Eko melanjutkan, disebabkan oleh jenis bibit dan benih yang butuh pupuk-pupuk kimia tersebut. “Pupuk merupakan konsekuensi dari modernisasi pertanian,” kata mahasiswa doktoral sosiologi perdesaan Institut Pertanian Bogor tersebut.

Nining dan petani organik lainnya di Kabupaten Agam merasakan dampak tersebut. Menurut dia, sulit mendapati bibit lokal tomat, caisim, dan jagung manis di sana. “Kami terpaksa terus beli bibit,” kata Nining.

Penggunaan pupuk kimia pun dianggap berdampak negatif karena menghabiskan unsur hara. Nining dan rekan-rekannya pernah membeli tanah di Nagari Canduang, Koto Laweh, Sumatera Barat. Perlu waktu setahun untuk pemulihan lahan karena tanah tersebut terpapar pupuk kimia. Pemulihan dilakukan dengan intensifikasi pupuk organik dengan bantuan kapur dolomit. “Penanaman pertama enggak langsung berhasil,” kata dia.

Menurut Nining, lahan pertanian di sebelahnya tidak bisa ditanami sama sekali. “Petani di sana bilang, 'Sudah diberi pupuk kimia subsidi pun, tanamannya seperti tak mau tumbuh,'” ujarnya.

Tanah yang terkena revolusi hijau disebut memiliki ketergantungan terhadap pupuk kimia hingga hampir 100 persen. “Kalau enggak ada pupuk, enggak bisa tanam,” ujar Eko Cahyo.

Selain dari sisi ekologis, ada dampak budaya. Cara tanam dan panen baru, seperti traktor, sabit, menggusur ani-ani—sejenis ketam atau pisau kecil yang dipakai untuk memanen padi—yang biasa digunakan perempuan. Menurut Eko, hal tersebut menggeser peran perempuan. Padahal, sebelumnya, pemegang kalender musim dan siklus tanam adalah perempuan. “Perempuan tersingkir dari pertanian akibat intensifikasi teknologi,” ujar Eko. Akibatnya, pemasukan keluarga petani ikut berkurang.

Ikhtiar Memperbaiki Dampak Ketergantungan

Kerusakan ekologis akibat paparan pupuk kimia yang berlangsung selama revolusi hijau menggerakkan para aktivis lingkungan. Direktur Aliansi Organis Indonesia (AOI), Pius Mulyono, mengatakan, kerusakan tanah terjadi selama hampir 40 tahun. Berdasarkan pendampingan AOI, dari Jawa Barat hingga Sulawesi Selatan, didapati bahwa seluruh lahan eks revolusi hijau rusak akibat paparan pupuk kimia.

“Idealnya, perbaikannya juga butuh waktu yang sama lamanya,” kata dia. Namun sulit untuk menjalaninya. “Karena berkaitan dengan mata pencarian petani jika berhenti tiba-tiba.”

Maka, pemulihan lahan diupayakan lewat konversi dari pupuk kimia ke pupuk organik. “Itu sedikit demi sedikit membantu tanah yang rusak untuk subur kembali,” ujar Pius.

Praktik itu dilakukan Naning Suprawati, anggota Aliansi Petani Indonesia. Sejak 2013, ia mendampingi petani di kampung halamannya di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. “Mengajak menggunakan pupuk dari alam, seperti kotoran hewan,” kata dia.

Tidak mudah, tentu saja. Sebab, selama empat dekade, petani bergantung pada pupuk kimia. “Kalau tidak ada label pada pupuk, enggak puas,” kata Naning. Faktor lain adalah kepraktisan pupuk kimia. “Walaupun mahal, tetap ditebus tanpa mempedulikan dampak lingkungan.”

Berkat ajakan Naning cs, perlahan, satu per satu petani mulai beralih ke pupuk organik. Biaya produksi, Naning melanjutkan, jadi lebih rendah karena diambil dari alam. Edukasi melibatkan kelompok tani dan kelompok masyarakat. Setiap musim tanam, mereka bekerja sama dalam proses produksinya. “Ini berjalan sampai saat ini, terutama untuk komoditas padi,” ujarnya.

Hasil dari produksi kelompok ini sebagian digunakan untuk kebutuhan keluarga, sebagian lagi dikelola bersama untuk keuntungan ekonomi. “Dibuat kemasan lima dan tiga kilogram untuk dijual di Jawa Timur,” kata Naning.

Selain dengan pertanian organik, memutus ketergantungan terhadap revolusi hijau dapat dilakukan dengan mengembangkan pertanian alami. Satu contohnya ada di Desa Salassae, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Eko Cahyono meneliti pertanian alami tersebut dan mendapati petani di Salassae mencoba mengembalikan ekosistem tanah berdasarkan lokalitasnya. Petani menggunakan kembali bibit-bibit pertanian lokal dari daerahnya. “Tidak menggunakan obat apa pun selain dari alam,” ujarnya.

Pemutusan subsidi pupuk oleh pemerintah dianggap sebagai satu jalan petani keluar dari ketergantungan pupuk kimia. Dikutip dari situs Kementerian Pertanian pada 26 Agustus 2022, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meminta petani meningkatkan penggunaan pupuk sendiri alias pupuk organik.

Dukungan terhadap pertanian organik juga dilakukan lewat subsidi sertifikasi pertanian organik. Menurut Bambang Hariyanto, Kepala Sub-Bidang Kebutuhan Konsumsi Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, pemerintah memberi subsidi sertifikasi. "Agar petani lebih mudah memasarkan hasil produksinya,” kata dia.

Petani memproduksi pupuk cair organik di Peterongan, Jombang, Jawa Timur. ANTARA/Syaiful Arif

Keuntungan Ekonomi Pertanian Organik

Pertanian organik juga membawa keuntungan ekonomi bagi petani. “Pertanian alami memutus rantai pasokan yang merugikan petani,” kata Nining, petani sekaligus aktivis pertanian dari Sumatera Barat. Petani organik dapat menjual langsung hasilnya ke konsumen tanpa harus dipotong oleh pengepul.

Tantangannya adalah pemerintah perlu menyediakan pasar karena kesadaran konsumsi masih rendah. “Misalnya dengan menyarankan ASN di tiap daerah membeli hasil petani langsung,” kata perempuan asal Kabupaten Agam tersebut.

Selain menyelamatkan lingkungan, konsep pertanian organik memberi keadilan harga bagi petani. Keuntungan ekonomi lainnya adalah pertanian organik murah dalam proses produksinya karena menggunakan bahan-bahan alami yang bisa didapatkan atau dibuat sendiri oleh petani.

Setyo Utami, petani organik dari Bogor, mengatakan, pemerintah perlu menciptakan pasar untuk hasil pertanian organik. “Jangan hanya sertifikasi,” ujarnya. "Jika gerakan ini dibuat masif, petani Indonesia dapat jaya dan mandiri."

ILONA ESTERINA PIRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus