Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Prabowo Akan Maafkan Koruptor, Firdaus Cahyadi: Bisa Perburuk Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pendiri ICJL Firdaus Cahyadi menilai gagasan Prabowo yang akan memaafkan koruptor bisa memperburuk pengelolaan sumber daya alam.

24 Desember 2024 | 17.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara kerusakan Lanskap Bukit Bulan akibat aktivitas pertambangan emas ilegal di Desa Lubuk Bedorong, Limun, Sarolangun, Jambi, Kamis 18 November 2021. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy Firdaus Cahyadi mengkritik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyampaikan gagasan ingin memberikan maaf kepada koruptor. Dia menilai pernyataan tersebut juga berdampak pada memburuknya pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Rencana pemberian maaf terhadap koruptor bukan hanya memberikan pertanda ketidakseriusan pemerintah memberantas korupsi, namun juga akan makin membuka lebar peluang korupsi di sektor sumber daya alam," kata Firdaus dalam keterangan tertulis, Senin, 23 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Prabowo yang akan memaafkan koruptor itu disampaikan ketika dia berkunjung ke Universitas Al-Azhar di Mesir, Rabu, 18 Desember 2024. Maaf akan diberikan apabila koruptor mengembalikan uang yang telah dicuri, bahkan mengembalikannya pun bisa diam-diam.

Rencana presiden itu, kata Firdaus, merupakan cara berpikir yang sesat untuk memberantas korupsi. Dalam kasus korupsi di sektor SDA misalnya, kerugian yang ditimbulkan termasuk kerusakan lingkungan dan meningkatkan konflik sosial

Firdaus juga mempertanyakan, jika koruptor sektor SDA dimaafkan karena telah mengembalikan uang, lalu bagaimana dengan dampak luas yang telah diperbuat? Rencana memberi maaf ini memperkuat arah pembangunan rezim Prabowo yang bertumpu pada ekonomi ekstraktif, yang itu berpotensi merusak alam dan menimbulkan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Kerentanan pembangunan berbasiskan ekonomi ekstraktif dari sisi ekologi dan sosial membuat para elite politik dan ekonomi menggunakan cara-cara ilegal untuk menabrak atau bahkan mengubah aturan yang ada," kata Firdaus.

Pembangunan berbasis ekonomi ekstraktif, kata Firdaus, disamarkan dengan jargon nasionalisme sempit seperti swasembada pangan, energi dan melanjutkan hilirisasi mineral kritis seperti nikel. Swasembada pangan yang diimplementasikan dengan proyek food estate sangat berpotensi menghancurkan tata ruang akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup.

Perihal swasembada energi, penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan potensi konflik kepentingan antara pebisnis energi dengan elite politik yang sedang berkuasa. Laporan yang dirilis ICW pada 2024 itu berjudul, “Siapa yang akan Diuntungkan? Bisnis Ekstraktif dan Energi Terbarukan di Balik Prabowo-Gibran”. 

Firdaus mengatakan laporan ICW itu mengungkap pemain di bisnis energi terbarukan skala besar saat ini adalah pebisnis yang sebelumnya bergerak di sektor ekstraktif dan mereka juga dekat dengan Pemerintahan Prabowo-Gibran. “Rencana pemberian maaf kepada koruptor akan semakin memperlebar potensi korupsi di program swasembada energi," tuturnya.

Merespons situasi, kata Firdaus, publik harus bersuara untuk mengatakan tidak terhadap gagasan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor. Publik juga harus mengingatkan elit politik agar tidak melakukan tindakan yang merugikan rakyat, karena mereka hidup dari uang pajak yang itu sebagian berasal dari keringat masyarakat. 

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus