Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font color=#FF9900>(Tak) Puasa</font> agar Berjaya

Pada Ramadan ini, bermacam rupa pemain sepak bola muslim mengimbangi ibadah dan kerja profesional mereka di lapangan hijau. Ada yang puasa, banyak juga yang absen

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMIR Nasri, 21 tahun, sudah bulat tekadnya. Untuk menghadapi pertandingan penyisihan Piala Dunia, pekan ini, pemain Prancis itu tak mau ambil risiko, apalagi tampil setengah-setengah. Bekal mental sudah punya: satu di antaranya adalah kiprahnya di Liga Inggris pekan lalu. Ia sudah menunjukkan hasil positif. Bersama anak muda lainnya di klub Arsenal, mereka berhasil menggasak Newcastle tanpa ampun, 3-0. Harapan pun muncul, pokoknya untuk tim Ayam Jantan, Nasri bertekad tampil mati-matian.

Soal fisik? Nah, ini yang jadi persoalan. Sebagai umat Islam, sebenarnya Nasri kepingin betul bisa berpuasa pada Ramadan ini, seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, apa mau dikata, profesinya menuntut hal lain. Dia wajib tampil gemilang. Alhasil, dalam dua pilihan yang sulit, dia harus mengambil keputusan: puasanya bolong sebulan penuh. ”Ya, terpaksa saya lakukan itu. Musim kompetisi saat ini mengharuskan saya tampil lebih fit,” katanya.

Keputusan Nasri menjadi salah satu contoh betapa sulitnya menjalankan ibadah puasa di tengah-tengah ketatnya jadwal pertandingan di liga Eropa yang sangat berat itu. Dia tidak sendirian. Pemain muslim lainnya seperti Muhammed Sissoko, Yaya Toure, Eric Abidal, atau yang mualaf seperti Robin van Persie, Franck Ribery, dan Nicolas Anelka juga menghadapi dua pilihan sulit.

Mereka berada dalam kondisi berat. Tidak puasa, tentu dengan alasan yang jelas, bisa diganti dengan hari lain. Tapi, kalau memaksakan diri puasa, sudah pasti tubuh mereka lunglai. Penampilan letoy dan sudah jelas akan berpengaruh pada banyak hal. Jangankan mereka yang harus berlarian di lapangan, saking lemasnya, orang kantoran saja banyak yang tertidur di meja kerjanya. Tim yang sudah membayarnya mahal akan kecewa. Kariernya pun akan kendur. Itulah yang ada di kepala Nasri. Dia tidak hanya ingin tampil bagus di klub, tapi juga di tim nasional. ”Penampilan kami di Euro kemarin sangat buruk. Saya ingin memperbaikinya,” katanya mantap.

Bila Nasri mengorbankan ibadah puasanya demi tampil cling di lapangan hijau, tentu itu menjadi pilihan yang mutlak miliknya. Dan itu bukanlah yang pertama. Seperti sudah banyak dikabarkan, pemain yang beragama Islam tidak serta-merta menjalankan perintah agamanya dengan tertib. Satu yang mengaku soal itu adalah Zinedine Zidane, bintang Prancis yang pensiun selepas Piala Dunia 2006 di Jerman.

Dalam berbagai kesempatan, pria berdarah Aljazair ini terus terang mengaku tidak menjalankan ajaran agama Islam itu, meski sesekali dia menjalankan ibadah puasa. Pun demikian dengan Ro-bin van Persie—pemain Belanda yang bermain di Arsenal, yang berpindah agama setelah menikah dengan perempuan asal Maroko.

Tapi ternyata tidak semua pemain sepak bola muslim seperti Nasri. Mereka ada yang tetap keukeuh menjalankan ibadah puasa meski harus banjir keringat di lapangan. Satu di antaranya adalah Yaya Toure, pemain yang pada musim lalu pindah dari Monaco, Prancis dengan bayaran 10 juta euro atau sekitar Rp 133 miliar, untuk bermain di Barcelona. Tahun lalu dia menyatakan dirinya tetap menjalankan perintah agamanya, termasuk dalam soal menahan lapar, dahaga, dan juga syahwat. ”Ah, tidak mengganggu pekerjaan di lapangan, kok,” katanya tahun lalu.

Hal serupa juga terucap dari mulut Eric Abidal—yang memakai nama Islam ”Bilal”. Rekan Yaya di Barcelona ini juga mengaku tetap menjalankan perintah Tuhan. Sekalipun dia harus menjalani latihan dan pertandingan berat. ”Saya memeluk Islam dengan keyakinan penuh,” kata Abidal, yang masuk Islam setelah menikah dengan perempuan asal Aljazair. Pun demikian dengan Franck Ribery, pemain Prancis yang berkostum Bayern Muenchen. ”Islam adalah sumber kekuatan saya di dalam dan di luar lapangan sepak bola,” kata Ribery yang mengucap syahadat pada 2006.

Suara paling nyaring datang dari Sevilla. Di sana pemain asal Malawi, Frederic Kanoute, lantang berbicara tentang agama yang dianutnya dan kewajiban yang harus dijalankan umatnya. ”Menjalankan ibadah saum sebaliknya memperkuat fisik dan sama sekali tidak membuat badan menjadi lemah,” katanya dengan wajah serius.

Kanoute memberikan bukti. Selama membela Sevilla, dua musim lalu, meski puasa, dia masih mampu mencetak gol. Total di musim itu, dia berhasil menjebloskan bola ke gawang lawan sebanyak 20 kali. Tapi, jangan lupa, sepak bola Spanyol relatif lebih bersahabat. Pertandingan yang kerap dilakukan pada malam hari sangat membantu pemain muslim yang menjalankan ibadah puasa.

Lain lagi dengan pemain yang berlaga di Liga Inggris, yang kebanyakan bermain pada siang terik. Tapi Nicolas Anelka, pemain Prancis yang bermain di Chelsea, berusaha keras menjadi muslim yang taat. Dia memilih off puasa saat ada jadwal bertanding, lalu ikut sahur, puasa, dan berbuka saat tidak ada pertandingan.

Boleh jadi, orang seperti Anelka menemukan Islam sesuai dengan pencarian, tidak semata diwariskan dari keluarga. Pada 1999, dia mengaku tertarik Islam karena seorang temannya di kawasan Trappes—kota pusat penduduk muslim di Prancis, yang terletak sekitar 35 kilometer dari Paris. ”Di sana kami berdiskusi tentang Islam sampai pukul empat pagi,” katanya. Dia menyamakan dirinya dengan Roberto Baggio, yang tertarik pada Buddha. Pada awal menjadi mualaf, dia banyak menimba ilmu agama, di antaranya dengan mengunjungi berbagai tempat, seperti sekolah yang dibangun Yusuf Islam alias Cat Stevens.

Lalu, apakah pengaruh puasa bagi para atlet ini? Mungkin bergantung pada orangnya. Hakeem Olajuwon, pebasket legendaris asal Amerika Serikat, mengaku malah mendapatkan berkah besar dari kegiatan mengosongkan perut ini. ”Ketika perut penuh, Anda pasti akan kelelahan, malas, dan inginnya istirahat terus,” katanya.

Sebaliknya, kata dia, saat perut kosong, tubuh akan membutuhkan banyak oksigen. ”Anda justru akan mendapat energi tambahan dari kegiatan berpuasa,” kata Pak Haji, yang meninggalkan olahraga ini pada 2002. Malah, dengan kegiatan berpuasa, dia mengaku bisa menghasilkan banyak poin di lapangan. ”Saya tetap mencetak banyak poin dalam tiap pertandingan,” katanya serius.

Lain Hakeem, lain pula Samir. Soal berprestasi di lapangan memang menjadi keharusan bagi seorang atlet. Dan untuk itu, masing-masing punya jalan sendiri, memilih tetap puasa atau tidak.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus