Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font color=#FF9900>Bau Mulut </font>Sinyal Penyakit

Gigi dan gusi rusak bukan satu-satunya sumber bau mulut. Bisa jadi pertanda penyakit dalam yang berbahaya.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBU Erry—sebut saja begitu—merasa tak tenteram dalam beberapa bulan terakhir ini. Orang di sekelilingnya menghindar. Bahkan suami dan anaknya pun seolah emoh berdekatan. Ini akibat mulutnya yang mengeluarkan aroma tak sedap. Segala cara sudah dilakoni, termasuk menggosok gigi dan berkumur lebih sering. Namun bau tak juga lenyap.

Ketika berkonsultasi ke dokter gigi, tak ditemukan kelainan apa pun. Tak ada gigi bolong, radang gusi, atau gejala lain di seputar mulut. Sang dokter akhirnya menyarankan agar si ibu mengecek ke spesialis telinga hidung dan tenggorokan (THT). Tetap tak ditemukan kelainan. Kini Erry tengah dirujuk ke bagian penyakit dalam untuk menemukan sumber bau. Besar kemungkinan, wanita itu menderita gangguan di organ tubuh dalam.

Problem bau mulut makin mencuat dalam Ramadan ini. Berpuasa kerap menimbulkan efek napas tak sedap. Dan hal itu wajar. Namun, repotnya, banyak juga bau mulut yang tak wajar, dan yang bersangkutan kadang tak sadar. Ia sudah terbiasa dan ”kebal” dengan baunya sendiri. Baru setelah ada yang memberi tahu—atau malah menjauh seperti kisah Ibu Erry tadi— yang bersangkutan pun mafhum.

Ya, bau tak sedap bisa bersumber dari banyak hal di dalam tubuh. Dokter gigi Wina Endriani Darwis menjelaskan kemungkinan bau bisa berasal dari rongga mulut. Penyebab utamanya, gigi berlubang. Akibatnya, makanan menyelip di sela gigi dan membusuk. ”Seperti makanan yang kita diamkan di luar, lama-lama rusak dan berbau busuk,” kata Wina. Jika lubangnya parah, saraf di gigi atau gusi bisa mengeluarkan nanah dan berbau lebih tak enak. Penyebab lain adalah karang gigi. Sisa-sisa santapan yang menumpuk akhirnya mengeras menjadi plak. Jika dibiarkan, lama-lama bisa menyebabkan radang di gusi.

Wina juga menyebut kemungkinan selain gigi: lidah. Orang rajin menyikat gigi namun jarang sekali membersihkan lidah. Organ pengecap ini memiliki permukaan kasar berupa papila, yang membuat kita bisa membedakan rasa asam, pedas, atau asin. Karena selalu bersentuhan dengan makanan, papila seharusnya juga disikat seperti gigi. Kalau dibiarkan kotor, lidah bisa ditumbuhi jamur yang tak sekadar menimbulkan bau tapi bisa memicu penyakit lain. Membersihkannya tak musti dengan sikat khusus lidah, bisa pula dengan sikat gigi berbulu halus. ”Awalnya mungkin terasa eneg, tapi lama-lama juga biasa,” tutur Wina.

Selain dua masalah itu, ada pula bau mulut yang disebabkan rendahnya produksi ludah. Memang ada orang yang ludahnya kering. Menurut Wina, kekeringan ludah, selain karena faktor genetik, bisa juga disebabkan efek obat antihipertensi atau antidepresan. Cairan saliva dibutuhkan sebagai tempat hidup enzim pencernaan di mulut. Jika kurang, mulut berbau tak enak meski sudah rajin menggosok gigi dan berkumur. Ini menjelaskan mengapa ketika bangun tidur mulut berbau tak sedap, meski kita sudah gosok gigi sebelumnya. Pasalnya, saat tidur, produksi ludah berkurang.

Jika masalah di seputar gigi dan gusi beres tapi mulut masih mengeluarkan bau tak enak, biasanya dokter akan menoleh ke bagian hidung atau tenggorokan. Bisa jadi sumber bau adalah sinusitis. Jika baunya berlebihan dan tak kunjung reda, bisa saja itu dicurigai sebagai gejala kanker nasofaring—organ di bagian belakang hidung.

Ari Fahrial Syam, dokter dari Divisi Gastroenterologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, memaparkan sumber bau memang bisa berasal dari dalam tubuh. Misalnya karena paru menderita bronkitis. Biasanya, penyakit batuk kronis ini tak cuma ditandai dari napas yang tak enak, tapi juga dahak yang berubah kental dan kecokelatan.

Penyakit lain yang kerap menyebabkan mulut berbau adalah gangguan pencernaan. Sistem pencernaan buruk, juga cara makan dan pilihan menu yang tak tepat, mengakibatkan lambung bekerja lebih keras mengolah makanan. Idealnya, makanan dicerna dalam waktu enam hingga delapan jam. Jika melampaui waktu itu, makanan terlalu lama bersentuhan dengan lambung. Akibatnya, sisa-sisa santapan membusuk di dalam. Bau tak nikmat meruap ke luar. Selain itu, mereka yang lambungnya terinfeksi bakteri Helicobacter pylori juga terancam meruapkan bau mulut tak sedap.

”Tertuduh” lain sebagai penyebab bau mulut tak sedap adalah diabetes melitus. Penderita kerap mengeluarkan bau keton—senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam. Selain itu, kata Wina, akibat sistem kekebalan tubuh menurun, pasien kencing manis ini lebih rentan terhadap kuman penyebab infeksi. Akibatnya, gusi mereka pun potensial luka atau terkena radang.

Memang, seperti dikemukakan kedua dokter itu, lebih dari 70 persen penyebab bau mulut ada di gusi dan gigi. Meski begitu, penyakit lain tetap berpotensi sebagai sumber bau mulut. ”Setidaknya untuk deteksi awal, dan perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan,” kata Ari.

Menurut spesialis penyakit dalam ini, jika seseorang memiliki bau mulut tak sedap, pada tahap awal mesti menemui dokter gigi, lalu ke dokter THT, baru kemudian bila masih belum diketahui penyebabnya, dikirim ke dokter penyakit dalam.

Bau mulut saja memang tak cukup menjadi tolok ukur seseorang mengidap penyakit tertentu. Agar akurat, dibutuhkan pemindaian ultrasonografi atau pengambilan sampel jaringan (biopsi). Wina menuturkan, di tahap awal, bisa dilakukan tes bau dengan mengukur kadar sulfur di mulut. Modelnya seperti tes kadar alkohol yang sering dilakukan polisi. Tinggi atau rendahnya sulfur dalam napas seseorang bisa jadi ukuran perlu-tidaknya pemeriksaan selanjutnya. Selain itu, untuk mengetahui pasti apakah produksi ludah kita cukup atau tidak, ada tes laju aliran saliva.

Banyak penderita bau mulut yang tak sadar telah mengganggu orang di sekelilingnya. Namun, tak sedikit pasien yang justru merasa mulutnya beraroma tak enak, padahal hasil pemeriksaan tak membuktikan ada penyakit yang serius. Di satu sisi, kata Wina, bisa jadi ini hanya masalah kurangnya rasa percaya diri. Namun, di sisi lain, pemeriksaan di tahap awal adalah langkah yang baik untuk mengetahui penyakit sejak dini. Menurut dokter yang berpraktek di Kebayoran Baru dan Menteng, Jakarta ini, ada sejumlah penyakit yang gejalanya belum muncul tapi didahului dengan bau. Ibaratnya, mulut adalah sinyal. ”Apa yang terjadi di dalam sering tecermin lewat bau mulut,” kata Ari.

Pada awal April lalu, misalnya, para peneliti di Amerika Serikat menemukan kaitan antara bau mulut dan kanker paru. Dari aroma mulut yang terjadi karena kerusakan pada jaringan pelapis mulut, dokter dapat memprediksi kerusakan serupa yang terjadi di paru pasien. Ini terjadi khususnya di kalangan perokok. Pemeriksaan sel-sel di mulut bisa mengukur perubahan molekul penyebab kanker paru. Jika hal itu diketahui sejak awal, penderita kanker paru bisa terhindar dari kondisi yang lebih parah dan mematikan—maklum, kanker paru termasuk jenis kanker yang cenderung telat diketahui.

Karena itu, jangan sepelekan bau mulut. Tak mesti cemas. Namun, seperti saran dokter Ari, atasi akar masalahnya, apakah di dokter gigi, THT, atau penyakit dalam. Langkah awal untuk menangkis napas tak enak adalah rutin menggosok gigi dan berkumur, serta minum air putih. Semua ini untuk menjamin produksi air liur di mulut cukup, karena ludah memang berfungsi mengikis aroma tak sedap di mulut.

Andari Karina Anom

Dari Mana Datangnya Bau

Gusi meradang: jika lubang sudah parah, bisa menyerang saraf hingga di gusi, mengakibatkan peradangan.

Gigi berlubang: sisa makanan menyelip dan akhirnya membusuk.

Lidah kotor dan berjamur: permukaan lidah terdiri dari papila— semacam karpet—yang menyimpan sisa santapan. Harus rutin disikat seperti halnya gigi.

Sinusitis: selain mengeluarkan ingus berlebih, penderita sinusitis dapat dikenali dari bau mulut akibat cairan yang mengendap di bawah rongga hidung.

Kanker nasofaring: kanker di rongga belakang hidung. Bau mulut tak sedap bisa jadi gejala awal, namun butuh pemeriksaan lanjutan.

Radang tonsil: selain rasa kering di tenggorokan dan sulit bernapas, penderita radang tonsil-adenoid (amandel) kronis umumnya memiliki napas tak segar.

Kanker paru: kerusakan lapisan sel di mulut mencerminkan kerusakan serupa di paru-paru, terutama bagi perokok.

Penyakit maag dan gangguan pencernaan: sistem pencernaan buruk, juga cara makan dan pilihan menu yang tak tepat, membuat lambung bersentuhan terlalu lama dengan makanan, bau mulut pun muncul.

Diabetes melitus: mulut penderita kerap mengeluarkan bau keton—senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus