Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font size=2 color=#FF0000>Amerika Serikat</font><br />Pembuktian Anak-anak Imigran

Tim Amerika Serikat lolos ke Piala Dunia berturut-turut untuk keenam kalinya. Pasukan ”imigran” siap meningkatkan pamor sepak bola di negeri Abang Sam.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amerika Serikat
Jumlah penduduk: 308.299.000
Luas negara: 9.826.675 kilometer persegi
Organisasi: United States Soccer Federation, berdiri 1913
Keikutsertaan: 8 kali (1930, 1934, 1950, 1990, 1994, 1998, 2002, 2006)
Gelar terbaik: medali perak Olimpiade 1904, peringkat ketiga Piala Dunia 1930, juara Piala Emas empat kali (1991, 2002, 2005, 2007)
Peringkat FIFA: ke-14 (Desember 2009)

BERAYAHKAN atlet hoki es, Landon Donovan justru tertarik pada sepak bola. Pada usia enam tahun, si bocah diantar ibunya mendaftar ke Cal Heat, sekolah sepak bola yang lokasinya paling dekat dengan rumah mereka di Ontario, California. Klub itu berada di Rancho Cucamonga, yang mayoritas masyarakatnya keturunan Meksiko yang berbahasa Spanyol.

”Segera saya sadar, bila saya tidak belajar bahasa Spanyol, saya tak akan diterima di tim, bola tak akan diumpankan ke saya,” ujar pria yang kini berusia 27 tahun itu. Maklum, di klub tersebut rekan-rekan Donovan lebih banyak menggunakan bahasa Spanyol dalam pergaulan sehari-hari dibanding bahasa Inggris.

Berbilang tahun kemudian, tepatnya awal Oktober lalu, Amerika Serikat menang 3-2 atas tuan rumah, Honduras. Gol ketiga negeri Abang Sam dicetak lewat tendangan bebas Donovan, si penyerang serba bisa. Meski masih memiliki satu sisa pertandingan, kemenangan atas Honduras menjadi pemasti lolosnya the Yanks—julukan tim Amerika—ke putaran final Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Amerika berangkat dengan status juara kualifikasi zona Amerika Utara, Tengah, dan Karibia (CONCACAF)

Ini merupakan Piala Dunia kesembilan bagi Amerika sepanjang sejarah atau yang keenam secara berturut-turut. Bagi Donovan, Afrika Selatan merupakan Piala Dunianya yang ketiga. Dalam keikutsertaannya yang pertama, Korea Selatan-Jepang 2002, Donovan dinobatkan sebagai pemain muda terbaik setelah membawa negerinya ke perempat final. Itu capaian terbaik Amerika setelah Piala Dunia pertama, 1930, yaitu peringkat ketiga.

Memang, tidak semua pemain Amerika bisa berbahasa Spanyol seperti Donovan, pencetak gol terbanyak di tim nasional sepanjang sejarah—42 gol dari 120 pertandingan. Tapi faktanya sepak bola di negeri itu adalah olahraga pinggiran. Penikmatnya kebanyakan para imigran atau keturunan imigran, terutama orang Hispanik (berbahasa Spanyol) dan Afrika. Imigran yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang datang ke Amerika pada abad XX. Pendatang sebelumnya telah dianggap "pribumi".

Salah satu jajak pendapat dua tahun lalu menyebutkan Liga Sepak Bola Amerika (MLS) cuma menempati peringkat kesepuluh sebagai kompetisi olahraga yang paling digemari di negeri itu. Posisinya kalah dibanding Liga Bola Basket NBA dan beberapa varian kompetisi basket di bawahnya. Sepak bola juga kalah oleh golf, NASCAR (balap mobil), tenis, bisbol, hoki, apalagi American Football.

Padahal, sebelum Piala Dunia pertama di Uruguay 1930, negeri ini sudah memiliki kompetisi sepak bola profesional. Tak mengherankan bila the Stars and Stripes—julukan tim Amerika yang lain—beroleh posisi ketiga dalam perhelatan pertama itu. Saat itu anggota skuad dipenuhi nama khas orang Britania, terutama Skotlandia dan Irlandia, semacam McGhee, Auld, Vaughn, Moorhouse, atau Gallagher. Pada penyelenggaraan kedua, Italia 1934, Amerika cuma sampai ke putaran pertama.

Lebih dari satu dekade absen, Amerika datang ke Brasil pada 1950 dengan tim sama sekali baru. Kali ini anggotanya generasi kedua imigran dari Italia, Amerika Selatan, atau Eropa yang lain. Yang tak boleh dilupakan, satu-satunya pemain berkulit hitam, Joe Gaetjens, penyerang kelahiran Haiti, menyarangkan bola ke gawang Inggris sehingga Amerika menang 1-0.

Setelah itu, empat dekade sepak bola Amerika mati suri. Kebangkitan datang pada pengujung abad XX. Mulai Italia 1990, lantas Piala Dunia diselenggarakan di negeri sendiri, sampai Jerman 2006, Amerika tak pernah absen di putaran final. Sama seperti sebelumnya, para pemain mereka pada dekade ini juga berasal dari kaum pendatang, sebagian malah lahir di luar Amerika.

Termasuk pula rekan-rekan Donovan sekarang. Inilah lineup utamanya: kiper Tim Howard (keturunan Hungaria), kapten sekaligus stopper andalan Carlos Bocanegra (Meksiko), stopper Oguchi Onyewu (Nigeria), gelandang Ricardo Clark (Trinidad-Tobago), dan striker muda Jozy Altidore (Haiti). Itu belum termasuk Brian Ching (Cina Hawai), Sacha Kljestan (Serbia), atau Freddy Adu yang lahir di Ghana.

Skuad ini sungguh menjanjikan. Pelatih Bob Bradley sukses meramu efisiensi ala Amerika dengan eksperimen variasi pola permainan. Pelatih berusia 51 tahun ini awalnya cuma pelatih sementara setelah mundurnya Bruce Arena seusai Piala Dunia 2006. Karena tak kalah dalam 10 laga perdana, Bradley pun tak diganti.

Awalnya, Bradley mempersembahkan gelar Piala Emas 2007, kejuaraan antaranggota CONCACAF. Puncaknya, sebelum memastikan ke Afrika Selatan, mantan asisten Arena ini membawa the Yanks menembus final Piala Konfederasi 2008, final pertama kejuaraan dunia yang diikuti Amerika. Sempat unggul 2-0, Amerika harus mengakui keunggulan Brasil 2-3 di partai puncak. Yang menarik, Amerika menekuk juara Euro 2008, Spanyol, 2-0 pada semifinal. Itu kekalahan pertama Spanyol dalam 59 pertandingan terakhir.

”Kami bisa membuat kejutan di Afrika nanti karena memiliki pemain dengan bekal kepercayaan diri tinggi dan kaya akan pengalaman bertanding,” kata Bradley optimistis. Sukses pada Piala Konfederasi juga menambah yakin pemerintah berkampanye mengikuti pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022. Niat itu didukung penuh Presiden Barack Obama, yang putrinya menjadi anggota tim sepak bola sekolah.

Di Afrika Selatan, tim asuhan Bradley punya kans melaju ke babak kedua. Mereka tergabung di Grup C bersama Inggris, Aljazair, dan Slovenia. Di atas kertas, rival terberat adalah Inggris. ”Kami pernah mengalahkan mereka sebelumnya,” kata Walter Bahr, satu dari lima veteran tim 1950 yang masih hidup. ”Sejarah bisa berulang.”

Melawan Inggris tentu memberikan kenikmatan tersendiri bagi Donovan, yang sejak Januari ini bermain untuk Everton, Inggris, dengan status pinjaman dari Los Angeles Galaxy. Bersama rekan-rekan "imigran”-nya, Donovan berjuang mengusung semangat semboyan negara, E Pluribus Unum, berbeda-beda tapi tetap satu.

Andy Marhaendra (FIFA, AFP, Timesonline)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum