Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUTI Rahma, 29 tahun, punya pertanyaan ”maut” kepada pasangannya. ”Apakah masih mau dengan penderita talasemia?” Biasanya itu terlontar tak lama setelah hubungan teretas dan menjurus ke serius. ”Takut sakit kalau bubar padahal telanjur dalam,” kata warga Jakarta Barat ini. Dia sadar, tak semua berani menanggung risiko hidup bersama penderita talasemia: memiliki keturunan yang membawa sifat talasemia. Beberapa kali hubungannya pun kandas.
Tuti sempat optimistis ketika salah satu pacarnya terlihat sangat mencintai, maju terus meski saat kenalan wajah Tuti sedang cedera akibat kecelakaan. Tapi, begitu mendapat pertanyaan maut tadi, ”Dia bengong, kemudian balik kanan,” katanya. Baru pada hubungannya yang kesekian kali dia menemukan pasangan yang siap, dan menikah pada November lalu, setelah pasangannya dipastikan tidak membawa ”bibit” talasemia.
Menderita penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh kurangnya produksi hemoglobin atau sel darah merah itu sama sekali tidak sepele. Akibat hemoglobin kurang, tubuh tak pernah memiliki pasukan cukup untuk mengedarkan oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh. Bila kadar sel darah merah makin tipis, ”Kepala pusing, badan lemas, tidak bisa tidur,” kata Reza Rudianto, 18 tahun, dari Jakarta Selatan.
Jika sudah terjadi gejala seperti itu, artinya tubuh membutuhkan transfusi darah—ritual sebulan sekali yang harus dijalankan penderita talasemia seumur hidup. ”Penderita harus transfusi ketika jumlah hemoglobin dalam darah kurang dari atau mencapai 7g/dl. Transfusi dilakukan agar hemoglobin mencapai minimal 9 g/dl,” kata Pustika Amalia Wahidiyat, pelaksana harian Ketua Pusat Talasemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Jakarta, kepada Tempo, pekan lalu.
Talasemia memang tak tersembuhkan dan belum ada obatnya. Ketika kadar hemoglobin mulai berkurang, para penderita yang ditemui di Pusat Talasemia RSCM punya istilah: waktunya di-charge. ”Kami seperti handphone, harus buru-buru di-charge kalau masih mau menyala.”
Kewajiban lain para penderita adalah mengkonsumsi chelator atau kelasi besi untuk mencegah penumpukan zat besi dalam tubuh. Penumpukan itu dampak samping transfusi darah. Dalam setiap kantong darah yang masuk tubuh, sekitar 200-250 miligram zat besi menyertainya. Mekanisme tubuh normal tidak mampu menyeimbangkan serbuan zat besi ini, sehingga menumpuk. Jika tidak dibuang, zat itu akan merusak jantung, hati, dan pankreas.
Penderita juga dilarang mengasup makanan berzat besi tinggi seperti daging merah dan hati. Selain itu, tidak dianjurkan makanan yang diasinkan, diasamkan, dan produk fermentasi, yang bisa menambah tingkat penyerapan zat besi. Sebaliknya, makanan berkalsium tinggi harus dikonsumsi, untuk mencegah tulang keropos. Sebab, dalam keadaan miskin darah, tubuh akan mengkompensasi kekurangan itu dari tulang, sehingga tulang bekerja keras dan menjadi tipis. Warna kulit pun cenderung menghitam.
Penderita talasemia juga tidak bisa beraktivitas terlalu keras. ”Saya jaga toko seluler saja,” kata Fauzi. Adapun Reza masih mencoba beraktivitas laiknya remaja sehat. Tapi, pada satu titik, ”Lemas dan pusing.”
Semua kewajiban dan pantangan tersebut sudah mengiringi penderita sejak dini. Tuti, misalnya, sejak usia empat bulan sudah terdeteksi talasemia. Reza mulai di usia tiga tahun, dan Fauzi sembilan tahun.
Rutinitas ini melelahkan, dan tak jarang membuat depresi. Tapi, ketika penderita berhenti, maut yang menjemput. ”Rata-rata usia mereka 20-an, karena komplikasi kelebihan zat besi,” kata Pustika. ”Capek minum obat dan transfusi.” Penderita dengan umur terpanjang yang tercatat di RSCM hanya sampai 41 tahun.
Bagi yang sudah menderita talasemia, cara satu-satunya adalah patuh dengan jadwal transfusi darah dan minum obat. Menjaga stamina, menjalani hidup sebagai penderita, menjadi penting. Perusahaan farmasi Novartis Indonesia bersama perusahaan konsultan pendidikan Orange for Kids membuat program ”duta talasemia”, akhir Desember lalu. Sepuluh penderita dijadikan duta untuk menumbuhkan motivasi ke penderita lain. ”Kami berharap penderita memiliki kesempatan yang sama dengan orang normal, dan bersemangat,” kata Thariq Hidayat Kanz, 17 tahun, salah seorang duta.
Nah, yang juga penting adalah pencegahan. Organisasi sosial Rotary Club Indonesia, misalnya, mencanangkan kampanye tes darah terutama kepada pasangan yang siap menikah. ”Untuk mencegah lahirnya bayi talasemia,” kata Evita Rivain Rachman, Koordinator Rotary Club Indonesia Distrik Jabodetabek.
Pada Desember lalu, Rotary menggelar program tes darah di kantor perusahaan telekomunikasi Telkomsel setelah sebulan sebelumnya di Lumire Hotel Jakarta. Rotary bahkan berencana membuat rekor tes darah pada 4.000 orang, supaya tercatat di Museum Rekor-Dunia Indonesia. ”Yang penting menarik perhatian umum, terutama pemerintah,” kata Evita.
Tes darah memang satu-satunya cara pencegahan karena talasemia adalah penyakit keturunan, yang muncul karena kelainan atau mutasi gen yang mengontrol pembentukan hemoglobin. Jika salah satu pasangan membawa sifat talasemia dan satunya normal, kemungkinan anaknya membawa sifat talasemia adalah satu banding dua (50 persen). Tapi anak yang dilahirkan tidak akan mengidap talasemia mayor—yang butuh transfusi dan pengobatan seumur hidup. Bila salah satu menderita talasemia mayor dan satunya normal, anak-anaknya tidak akan mendapat talasemia mayor, tapi akan jadi pembawa sifat.
Yang berbahaya jika pasangan itu dua-duanya pembawa sifat talasemia. Kemungkinan anak normal 25 persen, anak pembawa sifat 50 persen, dan kemungkinan menderita talasemia mayor 25 persen. ”Pasangan yang tes darahnya menunjukkan seperti ini harus berpikir ulang untuk menikah,” kata Evita. Jika sudah telanjur, janin yang dikandung harus diperiksa pada usia 10-12 minggu untuk memastikan nasib calon bayi.
Talasemia banyak dijumpai di daerah seputar Laut Tengah, Timur Tengah, dan Asia. Namanya berasal dari istilah Yunani, yakni thalas yang berarti laut, dan haema artinya darah. Nama lainnya adalah Mediterranean (Cooley’s) anaemia. Sedikitnya 100 ribu anak lahir di dunia dengan talasemia mayor. Bagaimana di Indonesia? ”Cukup tinggi,” kata Pustika. Karena memang belum ada program pencegahannya: tes darah pada pasangan yang akan menikah.
Penderita di Indonesia yang tercatat memang ”hanya” sekitar 5.000 orang—ini karena pendataan yang buruk. Ada kecenderungan jumlah penderita meningkat. Di Pusat Talasemia FKUI-RSCM, misalnya, sampai Agustus 2009 terdata 1.500 pasien. Setiap tahun bertambah 80-100 pasien baru. Kini sedikitnya 3-10 persen dari masyarakat Indonesia membawa sifat talasemia. Jika tidak ada pencegahan, diprediksi ada 22 ribu penderita baru.
Malaysia, misalnya, sudah tiga tahun terakhir mewajibkan tes darah siswa sekolah menengah atas, dan Thailand pada ibu hamil. Adapun Inggris, Italia, dan Yunani melakukan pencegahan itu sejak 1972. Hasilnya, penurunan penderita dari skala 100 saat itu menjadi mendekati nol saat ini. ”Hasilnya memang tidak kelihatan langsung, tapi sekarang harus dimulai,” kata Pustika. Bayangkan berapa besar biaya pengobatan bila sudah terjadi talasemia mayor. Terapi dan pengobatan mencapai Rp 200-300 juta per pasien setiap tahun.
Dari semua pertimbangan tersebut, Akhmad Fauzi, 24 tahun, tidak seberani Tuti, yang tak menyerah mencari pacar sehingga akhirnya menikah. Pengidap talasemia asal Tangerang itu mengaku, ”Cukup saya yang menderita, jangan lagi ke anak.”
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo