Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH akhirnya tercatat manis di Beijing. Penuntasnya adalah Zou Shiming, 27 tahun. Gebukan beruntunnya menghentikan perlawanan Serdamba Purevdorj, petinju asal Mongolia. Bak pendekar dengan senjata trisula, kombinasi jab, straight, dan uppercut-nya membuka luka lama si Mongol, yang didapat saat bertanding di pertarungan sebelumnya. Purevdorj pun mundur di ronde kedua.
Zou bersorak kegirangan. ”Sebenarnya, saya ingin menyuguhkan pertandingan yang menarik, tapi sayang lawan terluka. Medali emas ini sungguh berharga,” kata Zou, yang tak habis-habisnya tersenyum. Benar, medali ini sangat berharga. Tidak hanya menambah pundi emas untuk negerinya, Zou pun membuat sejarah: mengirim emas dari ring tinju.
Beberapa saat kemudian, di pertandingan lain, giliran Zhang Xiaoping yang menyumbangkan emas, setelah mengalahkan Kenny Egan, petinju Republik Irlandia. Inilah penutup pesta yang manis. Keberhasilan dua petinju asal Cina meraih emas menjadi penunjuk keberhasilan pembinaan olahraga di sana.
Maklum, saat Deng Xiaoping menjadi penguasa negeri itu, pada pertengahan 1960-an, tinju merupakan olahraga yang haram dipertandingkan di sana. Selain dipandang terlalu keras dan berbahaya, olahraga adu jotos ini dilihat para penggede kala itu sebagai perwujudan dari semangat kapitalisme dan terlalu kebarat-baratan. Senasib dengan musik rock, olahraga ini tidak mendapat tempat. Baru pada 1986, tinju diperbolehkan lagi digelar.
Pelarangan ini dicabut bukan karena tinju sudah tidak dianggap sebagai pengaruh dari kapitalisme, melainkan lebih karena pertimbangan praktis. Dalam pesta olahraga apa pun, cabang tinju menyediakan sebelas medali emas. Nah, kalau bisa menguasai olahraga ini, so pasti bisa menambang medali. Bagi negara seperti Cina, keberhasilan di dunia olahraga menjadi sangat penting.
Pelarangan yang berlangsung selama hampir dua dekade itu membuat mereka kehilangan atlet yang biasa bergumul di ring tinju. Akibatnya, ya itu tadi, Cina miskin petinju. Diam-diam, dengan penuh kesabaran, mereka membangun dari puing-puing.
Alhasil, empat tahun silam di Olimpiade Athena, Yunani, Cina berhasil mendapatkan medali untuk tinju melalui Zou Shiming. Hanya perunggu memang. Tapi itu sangat berarti karena medali pertama tersebut menjadi bekal untuk mendapatkan medali emas di negeri sendiri. ”Target kami pada Olimpiade ini adalah mendapatkan medali emas,” kata Chang Jianping, Ketua Asosiasi Tinju Cina.
Emas dari cabang tinju ini telah menuntaskan keberhasilan Cina menjadi juara umum dengan sempurna. Setelah berhasil ditunjuk sebagai penyelenggara Olimpiade pada 2001, Cina langsung tancap gas. Mereka mempersiapkan segalanya dengan sungguh-sungguh. Proyeknya ambisius: ”Strategi Emas”. Jutaan dolar Amerika dikucurkan untuk membangun pusat pelatihan serta membayar pelatih demi menghasilkan atlet yang mampu bertarung di ajang dunia, sekaligus meraih kemenangan.
Hasilnya nyata. Menjelang perhelatan Olimpiade, setiap gedung olahraga di semua kota di Cina dipenuhi bendera-bendera berwarna merah dengan berbagai tulisan penggugah semangat. Dengan begitu, bukan hanya atlet yang bertarung di arena Olimpiade yang tersengat semangatnya. Siapa pun bisa merasakan hawa peperangan, demi martabat bangsa.
Bagi negeri yang masih diperintah partai komunis seperti Cina, negara punya kepentingan untuk mengembangkan berbagai cabang olahraga, terutama yang mampu mendongkrak martabat bangsa. Negeri itu tidak memiliki sistem klub seperti di negara Barat: semua dikuasai dan diperintah negara. Namun negara pula yang bertanggung jawab terhadap segalanya, termasuk sponsor.
Boleh saja banyak pihak yang tidak setuju dengan gaya pembinaan olahraga seperti di Cina. Apalagi, di zaman sekarang ini, olahraga sudah menjadi urusan pribadi dan swasta. Namun para atlet Cina justru bangga dibina negara. ”Bagi orang Cina, tampil berprestasi di ajang olahraga merupakan sesuatu yang penting untuk menunjukkan martabat mereka di komunitas internasional,” tulis Xu Guoqi dalam buku Olympic Dreams: China and Sports, 1895-2008.
Benarkah begitu? Tidak keliru juga. Lihatlah apa yang dilakukan Yao Ming. Bintang basket NBA asal Cina ini, sejak terbang ke Houston, Amerika Serikat, sudah berkoar untuk memberikan sebagian gaji yang diterimanya kepada negaranya. Keputusan ini berkaitan dengan keinginannya tampil di Olimpiade Beijing. ”Akan menjadi penyesalan seumur hidup kalau saya tidak bisa tampil di Olimpiade,” katanya.
Faktor lain yang membuat pembinaan berhasil adalah ”tangan besi”. Penguasa di sana bertindak saklek dalam menentukan atlet yang akan bertanding. Rata-rata atlet yang turun di Olimpiade kali ini berusia 23 tahun. Sisanya, 20 persen, bolehlah yang lebih senior. Pemerintah Cina hanya ingin atlet muda yang tampil di gelanggang, meski kemampuan mereka boleh jadi masih di bawah atlet negara peserta lain. Semangat dan kemudaan mereka diharapkan menjadi bahan bakar premium mencapai kemenangan.
Ya, sebagai negara dengan penduduk lebih dari satu miliar jiwa, dengan sistem pembinaan terpusat dan ketat, Cina jelas tak kesulitan mencari bibit-bibit baru. Caranya? Pada 1995, pemerintah Cina mencanangkan program kebugaran bagi masyarakat, seperti program yang pernah dilakukan pemerintah Orde Baru yang kala itu populer dengan slogan ”mengolahragakan masyarakat, memasyarakatkan olahraga”. Saat itu, penduduk Cina diwajibkan menekuni satu jenis olahraga tertentu. Bagi mereka yang sudah berumur, ya, lumayanlah, badan jadi sehat. Sedangkan bagi mereka yang muda, ini merupakan kesempatan unjuk gigi.
Salah satunya Zou Shiming, si petinju. Bersama 2.000 remaja lain, Zou—yang sudah menggeluti berbagai jenis olahraga, termasuk bela diri—mendaftar di Zunyi Sport School, sekolah yang masih menerapkan gaya Uni Soviet dalam mencetak atlet hebat. Salah satu seleksinya menggunakan sinar-X untuk melihat potensi perkembangan tubuh atlet—cara yang sama untuk ”menemukan” Yao Ming saat masih remaja.
Pelatih tinju di sana hanya tertarik pada atlet dengan jangkauan tangan yang panjang. Sayang, jangkauan tangan Zou tidak memenuhi syarat. Namun, rupanya, dia tidak mau kalah begitu saja dan masih ada tes lain. Dua pekan berikutnya, dia hadir lagi. ”Saya pikir, anak ini cukup pintar dan yang penting dia sepertinya mau bekerja keras,” tutur Liang Feng, sang pelatih.
Yang pasti, remaja yang ngotot dan tak gampang menyerah bukan hanya Zou seorang. Hasilnya kini sudah kelihatan. Sang tuan rumah berhasil meraih gelar juara umum Olimpiade, termasuk dengan menghasilkan emas di cabang-cabang yang tidak populer di Cina. Dan kemenangan ini seperti iklan keberhasilan yang menarik makin banyak anak dan remaja masuk sekolah olahraga.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo