Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berlari Sonder Kaki ke Olimpiade

Oscar Pistorius berambisi jadi pelari penyandang cacat pertama di Olimpiade. Rahasianya pada kekuatan panggul.

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH itu terpampang di mana-mana: iklan Nike, parfum Thierry Mugler, sampai sampul majalah GQ. Tulang pipi dan rahangnya menonjol dengan berewok tipis; otot bahu, lengan, dan perutnya terpahat sempurna. Laki banget. Namun, jika meneruskan pandangan ke bawah, kita mendapati tungkai kakinya tidak kamil. Dia mengenakan kaki palsu yang tertaut di lutut.

Oscar Pistorius bukan model penuh waktu. Dia atlet lari profesional Afrika Selatan yang merajai Paralympic—olimpiade penyandang cacat—dengan menyabet emas di Athena 2004 dan Beijing 2008. Pria berjulukan Blade Runner itu membidik target lebih tinggi: Olimpiade London 2012 dan jadi atlet berkaki buatan pertama yang berlaga di pesta olahraga terakbar sejagat tersebut. Penggemar atletik dijamin menggila jika Pistorius—spesialis 400 meter dan ikut tim estafet—berlaga di lintasan yang sama dengan manusia tercepat di dunia, Usain Bolt dari Jamaika, di nomor estafet.

Komite Olimpiade Afrika Selatan menetapkan syarat 45,30 detik, sesuai dengan kualifikasi Olimpiade untuk nomor sprint 400 meter, yang harus dipenuhi antara Januari dan Juni. Sabtu dua pekan lalu, Pistorius menang dalam Kejuaraan Provinsi Gauteng Utara dengan waktu 45,20 detik. "Saat melihat papan waktu, rasanya seperti mimpi," ujarnya. Komite menjanjikan tiket ke London jika dia memenuhi syarat waktu itu di satu kejuaraan resmi lainnya.

l l l

Oscar Leonard Carl Pistorius lahir di Pretoria, 22 November 1986, sonder tulang betis fibula yang menghubungkan lutut dengan ankle. Dokter mengamputasi kedua kakinya—mulai di bawah lutut—saat si bayi berumur sebelas bulan. Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Henke dan Sheila ini mulai berjalan dengan kaki buatan saat 17 bulan. Sejak itu, si bocah ogah diam. Dia doyan main sepatu roda dan sepeda serta memanjat pohon. "Dan dia terus berlari, secepat angin," kata bibinya, Diana Binge.

Di Sekolah Menengah Atas Pretoria Boys, dia menjajal tenis, polo air, gulat, dan rugbi. Dia mengenal lari secara tidak sengaja. Rugbi mencederai lututnya pada Juni 2003. Tujuh bulan kemudian, proses pemulihan pascaoperasi memaksanya berlatih lari. Berlari dan terus berlari sampai sekarang.

Mengenakan Cheetah Flex-Foot, kaki berbahan serat karbon buatan Islandia, dia menyabet emas di nomor 200 meter di Paralympic Athena 2004. Pistorius tak puas melawan sesama penyandang cacat. Dia menjajal nomor 400 meter di kompetisi atletik nasional pada tahun berikutnya dan finis di urutan keenam. Sukses di serangkaian perlombaan domestik, dia mendapat undangan tampil di level yang lebih tinggi di Eropa.

Direktur Grup Biomekatronik Massachusetts Institute of Technology Hugh Herr menjelaskan, kelajuan berlari tak didapat dari kecepatan mengayun kaki, tapi besaran momentum yang didapat saat—dalam tempo kurang dari sepersepuluh detik—ujung kaki menghantam tanah. Pistorius tak dapat mengecilkan permukaan serat karbonnya, seperti yang dilakukan pelari normal, untuk memperbesar momentum itu. Dia mengkompensasi kelemahan kaki palsunya dengan ayuan paha yang lebih cepat dari pelari lain. "Panggulnya seperti mesin raksasa," ujar Herr.

Menggunakan kaki buatan sejak belajar berjalan juga mendukung kemampuan berlarinya. Itu sebabnya, tak ada atlet pengguna kaki buatan yang bisa menyamai catatan terbaiknya, menempuh 400 meter dalam 45,07 detik, meski Cheetah sudah dipakai sejak akhir 1990-an.

Menu latihannya, selain lari, adalah pull-up, push-up, sit-up, dan senam gelang-gelang selama 90 menit. Hal tersebut membuatnya lebih terlihat sebagai pemain rugbi ketimbang sprinter, yang biasanya langsing. Pelatih Ampie Louw berfokus membangun tubuh Pistorius bagian atas karena, tanpa tungkai dan betis, kemampuan larinya bergantung pada otot dengkul ke atas. Di luar lintasan lari, dia menggunakan kaki buatan yang mirip kaki asli, termasuk saat menjalani hobinya, menggeber motocross.

Namun impiannya tampil di Olimpiade membentur dinding. Maret 2007, Federasi Asosiasi Atletik Internasional (IAAF) melarang atribut berefek pegas, roda, dan elemen lain yang mendongkrak kecepatan lari. IAAF mengundang Pistorius ke Universitas Cologne, Jerman. Pemeriksaan laboratorium menyimpulkan kaki buatan berbentuk "J" itu memiliki efek jungkit penambah kecepatan sehingga tergolong alat haram. Dia juga dituding menggunakan oksigen dan kalori 25 persen lebih sedikit ketimbang pelari normal untuk menempuh jarak dan kecepatan yang sama.

Profesor Peter Weyand dari Southern Methodist University, Dallas, Amerika Serikat, mengatakan Cheetah cuma berbobot 2,45 kilogram. Ia jauh lebih ringan ketimbang tungkai lelaki seukuran Pistorius—dengan tinggi 1,86 meter dan bobot 80,5 kilogram—5,72 kilogram. "Sehingga periode ayunan kakinya lebih cepat," ujar pakar psikologi dan biomekanik terapan itu. Dia menghitung, Pistorius membutuhkan 0,28 detik per gerakan, lebih cepat 15,7 persen dari rata-rata waktu yang dibutuhkan lima pemegang rekor dunia 100 meter, termasuk Ben Johnson, 0,34 detik. Dengan lintasan 400 meter, dia melanjutkan, Pistorius memiliki keuntungan waktu 11,9 detik.

Pistorius tak tinggal diam. Lewat pengacara Jeffrey Kessler asal Amerika Serikat, dia mengajukan gugatan lewat pengadilan arbitrase internasional untuk olahraga, CAS. Pemeriksaan di Rice University, Houston, Amerika, membantah temuan sebelumnya: Pistorius menggunakan oksigen layaknya pelari normal. Menurut Herr, pemeriksaan di Jerman mengabaikan kesulitan yang dihadapi pelari berkaki palsu. Misalnya start lambat akibat posisi yang tak memungkinkan penolakan maksimal dari starting block. Ada juga upaya tambah­an untuk menjaga keseimbangan sewaktu berbelok.

Badan yang berbasis di Lausanne, Swiss, itu memenangi gugatan tersebut. Di putus­an tertanggal 16 Mei 2008, mereka menyatakan, IAAF hanya memeriksa Pistorius dalam posisi berlari lurus. Padahal dalam lomba 400 meter—satu putaran lintasan lari—atlet melewati dua jalur berbelok. Ihwal keuntungan mekanis, pengadilan mengatakan kaki manusia juga berefek pegas. Michael Johnson, pemegang rekor dunia 400 meter dengan waktu 43,18 detik, mendukung putusan itu. "Putusan CAS menyebutkan dia boleh bertanding, ya, memang seharusnya begitu," katanya. Dalam hitungan hari, larangan kaki palsu dibatalkan. Jalan menuju Olimpiade kembali terbuka.

Sayang, di Lucerne, Swiss, Juli 2008, Pistorius hanya menorehkan waktu 46,25 detik dan gagal memenuhi kualifikasi Olimpiade Beijing. Dia juga kalah cepat dari empat rekan senegaranya untuk memperkuat Afrika Selatan di nomor estafet. Pistorius tak patah arang. Menurut dia, masa keemasan sprinter antara umur 26 dan 29 tahun. "Saya berumur 25 tahun di London nanti, dan memiliki tiga tahun untuk mempersiapkan diri," ujarnya.

Kebulatan tekad itu dia buktikan dengan menyabet hat trick emas di nomor 100, 200, dan 400 meter Paralympic Beijing, September 2008, sebulan setelah Olimpiade. Agustus tahun lalu, Pistorius mewakili negaranya di Kejuaraan Atletik Dunia di Daegu, Korea Selatan—jadi atlet penyandang cacat pertama di ajang itu—dan meraih medali perak.

Satu kakinya sudah menjejak Olimpiade. Hari-hari Pistorius terus diisi dengan berlari lintasan merah di Universitas Pretoria sambil berharap ayunan demi ayunan itu mengantarnya ke London, Juli mendatang. Seperti tato yang terpampang di bahu kirinya—kutipan ayat Korintus di Injil—"Saya tidak berlari seperti orang yang berlari tanpa tujuan".

Reza Maulana (New York Times, BBC)


Perbandingan Pistorius dengan Finalis 400 Meter Olimpiade (detik)

Beijing 2008

  1. LaShawn Merritt, Amerika Serikat, 43,75 detik
  2. Jeremy Wariner, Amerika Serikat, 44,74
  3. David Neville, Amerika Serikat, 44,80
  4. Chris Brown, Bahama, 44,84
  5. Oscar Pistorius Afrika Selatan 45,07
    Juli 2011 di Lignano, Italia (rekor personal terbaik)
  6. Leslie Djhone, Prancis, 45,11
  7. Martyn Rooney, Inggris Raya, 45,12
  8. Renny Quow, Trinidad, 45,22
  9. Johan Wissman, Swedia, 45,39

Athena 2004

  1. Jeremy Wariner, Amerika Serikat, 44,01
  2. Otis Harris, Amerika Serikat, 44,16
  3. Derrick Brew, Amerika Serikat, 44,42
  4. Alleyne Francique, Grenada, 44,66
  5. Brandon Simpson, Jamaika, 44,76
  6. Davian Clarke, Jamaika, 44,83
  7. Leslie Djhone, Prancis, 44,94
  8. Oscar Pistorius Afrika Selatan 45,20
    Maret 2012 di Gauteng Utara, Afrika Selatan
  9. Michael Blackwood, Jamaika, 45,55

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus