MISTER (Mr) Jakarta, Minggu 21 Maret malam lalu telah dilabuhkan
di kolam renang Hotel Horison. Pewarisnya muncul dalam nama
baru: Putera Jakarta. Tapi bukan berarti kegiatan pemilihan
untuk menyandang gelar itu tidak merepotkan para binaragawan.
15 finalis dari 7 klub binaraga Jakarta saling menonjolkan otot
di depan juri untuk dapat menyunggi mahkota yang tahun lalu
berada di kepala Darmawan Arifin. Lepas penampilan pertama,
tinggal 3 juara kelas yang dinilai pantas untuk memakai mahkota.
Masing-masing Johny Kabiiaha (Garuda Jaya) untuk kelas pendek,
Frans Paath (Heracles) buat kelas menengah, dan Darmawan Arifin
(Chandra Naya) untuk kelas tinggi. Setelah ketiganya melakukan
pose wajib dan pose kesenangan, juri pun sampai pada ketetapan.
Yang terpilih adalah Darmawan Arifin, Putera (d/h Mr) Jakarta
1975. "Penampilannya masih lebih baik dibandingkan dengan yang
lain", ujar anggota juri, dr. Pramono. "Sekalipun sedikit
menurun ketimbang tahun lalu".
4000 Kalori
Bertahannya sang juara di puncak kejayaan meski dalam kondisi
yang menurun, adakah ini merupakan lampu kuning bagi dunia
binaraga? Bekas Putera Jakarta 1972, Didi Diria menolak anggapan
itu. "Sekarang ini prospek dunia binaraga malah cukup baik
dibandingkan masa lampau", katanya sambii mengungkapkan angka
menggelembung di tiap perkumpulan.
Melonjaknya peminat binaragawan menggembirakan, memang. Tapi,
apakah itu bisa menjadi jaminan untuk meraih prestasi?
"Berbicara mengenai prestasi, masalahnya lain lagi", tambah
Didi. "Ini tidak terlepas dari faktor kehidupan si atlit
sehari-hari". Maksudnya: untuk melahirkan seorang binaragawan
yang berprestasi dibutuhkan banyak faktor penunjang. "Selain
latihannya harus teratur -- minimal 8 jam sehari -- juga
dibutuhkan kalori yang memadai untuk menumbuhkan otot-ototnya",
sela dr. Pramono, "sedikitnya 4.000 kalori per hari".
Mengungkapkan kembali kehidupan ketika masih jadi atlit. Didi
Diria mengatakan kenyataa ideal sulit untuk diperoleh. Karena
atlit di sini, selain bergulat dengan latihan yang teratur, ia
pun masih dibebani persoalan mencari nafkah sendiri.
Cukong
Berangkat dari kenyataan itu, tidak heran bila dalam percaturan
untuk merebut gelar Mr. Asia -- sudah diikuti 3 kali
masing-masing di Kuala Lumpur (1973), Manila (1974), dan
Singapura (1975) -- binaragawan Indonesia tak mampu menyaingi
lawan. "Kita harus maklum dalam soal ini", ujar Didi. "Bagaimana
kita bisa mengembangkan otot-otot dengan sempurna selama kita
masih mempersiapkan diri hanya dalam 2 minggu. Sedangkan lawan
melakukannya paling sedikit 1 tahun". Meski Didi Diria tidak
menunjuk hidung dalam masalah yang dihadapi atlit ini, tapi tak
pelak lagi yang ditudingnya adalah pembina binaragawan -- dalam
hal ini PABBSI. "Ya, kita maklum dengan keluhan mereka", kata
Sekjen PABBST, Santoso Gunawan. Tapi, "biayanya dari mana?".
Belum lepas Santoso bicara, lalu menyela Rudy Tilaar: "Kalau di
Singapura, Mister-nya dibantu cukong untuk menjaga kalori
foodingnya". Jika demikian halnya, agaknya memang cukong itulah
yang perlu pula dicari di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini