Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Gemblengan Juara Gaya Chin Hae

Tim bulu tangkis Korea Selatan muncul sebagai lawan yang tangguh, khusus untuk nomor ganda. Di Calgary meraih dua gelar juara. Cara pembinaan yang dilakukan di Korea Selatan. (or)

10 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSAINGAN di lapangan bulu tangkis di hari-hari mendatang bakal makin ketat. Selain RRC, ancaman lain sudah mulai dirasakan pemain-pemain Indonesia dari pemain-pemain Korea Selatan. Negeri ini baru mengenal permainan badminton sekitar 29 tahun lalu. Tapi prestasi mereka, khusus untuk nomor ganda, dalam dua tahun terakhir ini, amat mengesankan. Atas nama ganda putra Park Joo Bong/Kim Moon Soo dan ganda putri Hwang Sung Ahe/Yoo Sang Hee, tim Korea Selatan, di kejuaraan bulu tangkis dunia yang ke-4 di Calgary, Kanada, dua bulan lalu, berhasil merebut dua gelar juara. Ini sekaligus menempatkan mereka setingkat di bawah RRC, yang meraih tiga (tunggal putra/i dan ganda campuran) dan lima gelar yang diperebutkan di kejuaraan itu. Bandingkan dengan Indonesia, yang waktu itu tak berhasil meraih satu nomor pun. Dengan prestasi itu, Korea Selatan sekarang sebenarnya sudah bisa disebut negara yang memiliki pemain ganda terkuat di dunia. Sebab, Park dan Kim dua-duanya masih berusia 21 tahun tiga bulan sebelumnya di All England 1985 juga keluar sebagai juara pertama. Mereka menggulingkan pasangan juara dunia sebelumnya, Michael Kjeldsen/ Mark Christiansen dari Denmark, dan juga juara All England 1984, Kartono/ Heryanto. Pasangan Korea ini tak ikut kejuaraan Indonesia Terbuka, yang dimenangkan ganda Indonesia, Liem Swie King dan Kartono. "Kami memang tak mengirim pemain ke kejuaraan itu karena sedang sibuk menyiapkan pemain. Tak hanya dalam partai ganda, tapi kami juga sekarang mulai menggarap pemain-pemain tunggal," kata Kim Hak Suk, 39, sekretaris kehormatan Persatuan Bulu Tangkis Korea Selatan kepada TEMPO akhir Juli lalu, di Seoul. Di kantornya, di sebuah gedung berlantai 21 di tengah ibu kota Korea Selatan itu, Kim yang dulu pernah menjadi pemain nasionai di negerinya, memperlihatkan daftar latihan para pemain yang sedang digarapnya itu. Ada 45 pemain yang kini sedang digodok di pusat latihan mereka di Chin Hae, sekitar 450 km dari Seoul. Dari jumlah itu, 24 pemain nasional. Mereka dilatih dua pelatih: putra oleh Noh Jung Kwon, 37, dan putri oleh Han Sung Kwi, 38 - keduanya juga teman-teman Kim semasa jadi pemain dulu. Kedua pelatih, yang kini dianggap sukses itu, dibantu oleh puluhan pelatih khusus yang sudah dibagi-bagi menurut keahlian mereka. Ada seorang pelatih khusus, misalnya, hanya untuk smash, pelatih khusus yang lain untuk servis, atau drop-shot. "Pokoknya, kami pecah menurut kebutuhan," kata Kim. Dan para pemain menurut dia lagi, baru diserahkan untuk ditangani pelatih khusus setelah ditentukan dulu oleh pelatih nasional, gaya atau pola permainan apa yang cocok untuk mereka. Pola menyerang, atau bertahan, atau kombinasi keduanya. Informasi ini di peroleh dan kemudian diputuskan oleh pelatih nasional - jumlah seluruhnya ada delapan, senior dan yunior - setelah didiskusikan dengan pelatih klub, pelatih yang membina pemain-pemain itu di perkumpulannya. "Baru setelah keputusan diperoleh, pemain tadi digarap para pelatih khusus," ujar Kim. Tugas pelatih nasional, dengan demikian, lebih terpusat pada yang strategis. Misalnya mengontrol dan mengatur taktik bermain menghadapi lawan. Di Korea Selatan, ada dua pusat latihan untuk itu. Selain di Chin Hae, ada juga pusat latihan di Taening, di Seoul. Tapi, yang di Taening khusus untuk calon-calon pemain yang dianggap berbakat. Mereka baru ditarik latihan ke Chin Hae jika lulus dalam pelbagai uji latih yang sudah disyaratkan. Kim tak mau membeberkan bentuk latihan yang diujikan itu. Dia hanya menceritakan di Chin Hae-lah sebenarnya pemain-pemain nasional dicetak. Tempat latihan ini memang agak mereka rahasiakan. Dengan pelbagai cara, Kim menolak permintaan TEMPO untuk melihat tempat latihan itu. "Tak ada yang istimewa, dalam hal fasilitas atau metode latihannya," ujar sekretaris yang bertubuh gempal ini. "Kami hanya latihan keras dan pakai metode yang kami anggap cocok pula, sehingga bisa mencetak juara," katanya. Latihan keras itu, sebenarnya, juga hampir sama dengan di Pelatnas Senayan, Jakarta, 3-4 jam sehari. Seminggu latihan enam kali. Waktu latihan dibagi dua: dua jam latihan fisik dan sekitar 1 jam meditasi. Yang terakhir ini erat kaitannya dengan latar belakang agama di Korea Selatan, yaitu Budha. Toh, latihan ini juga bisa sekaligus dimanfaatkan untuk memperkuat daya konsentrasi pemain. Tapi tidak tiap hari meditasi diterapkan dalam latihan. Dalam seminggu, hanya diberikan tiga hari latihan fisik dan spiritual seperti ini. Tiga hari lainnya dimanfaatkan untuk latihan keterampilan dan teknik. Yang mengatur semua ini adalah manajer pelatih nasional yang saat ini kebetulan dijabat Kim Hak Suk. Dia mengatakan, pola seperti ini baru 2-3 tahun ini mereka terapkan. Yakni bersamaan dengan meluapnya keinginan untuk membangkitkan bulu tangkis di Korea Selatan. Maklum, selama ini bulu tangkis - yang di negeri itu diperkenalkan oleh banyak tentara Amerika, pada 1956 lalu - baru menjadi semacam olah raga rekreasi. Baru pada awal 1980, usaha meningkatkan prestasi dimulai. Upaya ini mereka lakukan dengan, misalnya, mendatangkan pelatih dari luar negeri. Antara lain Olich Solichin, bekas pelatih Christian di Bandung, pernah dikontrak Korea Selatan, pada 1983. "Tapi dia hanya kami pakai sekitar tiga bulan. Pola dan metode yang diajarkannya tak begitu cocok dengan kemauan banyak pelatih di sini," tambah Kim. Dan setelah Olich pulang, menurut cerita Kim, mereka mendapatkan cara berlatih dan bermain yang cocok buat tipe pemain yang bertubuh seperti orang Korea Selatan. Modal inilah yang kini dimanfaatkan. Dengan dana setiap tahun sekitar Rp 600 juta, pengurus badminton di sana berusaha mengejar ketinggalan mereka dari negara lain. Kini, sekitar 2.500 pemain ada di pelbagai perkumpulan di 13 provinsi. Provinsi-provinsi ini setiap tahun mengikuti kejuaraan nasional yang diselenggarakan Persatuan Bulu Tangkis Korea Selatan, untuk pencarian bibit. Dari sinilah Park Joo Bong, pemain kidal asal Chon Coo, tinggi 185 cm, dan Kim Moo Soo, tinggi 182 cm, asal Pusan, Yoo Sang Hee, 168 cm, asal Masan, dan puluhan pemain nasional lainnya direkrut. Kini, kata Kim, para pemain Korea yang terkenal gigih di atas lapangan ini terus dipersiapkan. Mereka tampaknya berambisi menjadi negeri kampiun bulu tangkis di dunia. Dan ini bukan tak mungkin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus