SETELAH kalah terus-terakhir di kejuaraan Indonesia Terbuka di Jakarta, Juli lalu, hanya mendapat satu gelar juara atas nama ganda Liem Swie King/ Kartono - prestasi pemain bulu tangkis Indonesia didiskusikan lagi. Kali ini, penyelenggaranya Seksi Wartawan Olah Raga (SIWO) PWI Jakarta, yang selama dua hari, sejak Sabtu pekan lalu, mengundang puluhan tokoh bulu tangkis, termasuk pimpinan teras PBSI, untuk bertukar pikiran di Graha Pemuda, Jakarta. Berlangsung hangat, kendati agak bertele-tele, diskusi bertema "Menyelamatkan prestasi bulu tangkis Indonesia" itu sebagian besar memang kembali menyorot pelbagai kelemahan yang April lalu juga sudah dikemukakan sejumlah tokoh bulu tangkis dalam sebuah diskusi lainnya di restoran Oasis, Jakarta. Yakni hal-hal yang menyangkut kekurangan dalam sistem pembinaan PBSI. Itulah sebabnya Ferry Sonneville dan Rudy Hartono, ketua umum dan ketua bidang pembinaan PBSI, yang bulan depan akan menyerahkan jabatan mereka di Munas yang rencananya diselenggarakan di Surabaya, apa boleh buat, sekali lagi, harus berlapang dada, menerima pelbagai kritik yang ditujukan terhadap kelemahan mereka di bidang yang satu ini. Rentetan gugatan yang membeberkan kelemahan itu cukup panjang. Mulai dari kelemahan dalam membina dan mengembangkan pemain yang menyangkut bibit pemain, soal klub, dan soal sistem pemusatan latihan nasional (pelatnas), sampai menyoalkan tak adanya badan yang secara permanen bertugas memonitor, mengumpulkan, dan mengolah perkembangan para pemain serta perkembangan perbulutangkisan di luar negeri. Yang terakhir ini baru terungkap ketika Darmawan Saputra, alias Tan King Gwan, bekas pemain nasional, yang antara lain pernah memperkuat tim Piala Thomas 1958 hingga 1967, dalam suatu kesempatan bertanya tentang isi makalah Tahir Djide. Darmawan mananyakan soal apakah PBSI memiliki data perkembangan pemainnya, baik itu data teknis, medis, dan perkembangannya ketika bertanding di luar negeri, maupun data tentang perbulutangkisan di luar negeri. Jawab Tahir, memang agak mengejutkan, "Tak ada, dan inilah salah satu kekurangan kami." Memang, ternyata, badan yang mengurus soal ini, yang kemudian diusulkan sebaiknya dikerjakan oleh semacam Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang), belum pernah dibentuk. "Ada, sih, ada, tapi kurang berfungsi," kata Rudy Hartono. Ia menyebut, jabatan Litbang ini dipegang hingga sekarang oleh Syamsul Alam. Namun, Syamsul sendiri pada akhirnya mengakui, penelitian Itu tak secara terus-menerus dilakukan. "Hanya untuk menghadapi suatu event besar, seperti Thomas Cup, Litbang baru kerja," kata Rudy. Dengan kata lain, soal yang sebenarnya vital untuk menyusun taktik dan strategi menghadapi lawan, sebenarnyalah, belum dikerjakan secara serius. Sebab itu, bisa ditebak, tanpa data lawan yang lengkap, tentulah sulit bagi PBSI menyusun strategi menghadapi pelbagai turnamen lainnya. Hal ini tak dibantah oleh Ferry Sonneville. Ketua umum yang bakal berhenti ini menyatakan, persaingan ketat dengan luar negeri sekarang ini setidak-tidaknya mengharuskan adanya orang-orang yang bisa bekerja full-time di PBSI nanti. "Ini syarat yang tampaknya cukup mutlak," ujar jago bulu tangkis tahun lima puluhan itu, serius. Persaingan dalam bulu tangkis, tak pelak lagi, memang begitu ketat. Wajar pula jika dalam diskusi muncul banyak usul, yang kadang-kadang mengejutkan. Misalnya usul yang dikemukakan seorang wartawan yang meminta agar sistem pelatnas dihentikan saja. "Memang agak melawan arus, tapi saya menilai, sistem pelatnas sudah tak sesuai lagi dengan setting perbulutangkisan saat ini," katanya. Pertimbangan sang wartawan, antara lain, karena bulu tangkis tak seperti sepak bola, yang terdiri dari sekumpulan orang dalam satu tim. "Pada hakikatnya, bulu tangkis olah raga perorangan. Karena itu, apa tak sebaiknya kita cari alternatif lain untuk mengganti pelatnas, misalnya dengan menetapkan satu manajer yang bertanggung jawab terhadap satu pemain, seperti yang ada di tenis," katanya. Usul ini memang cukup menyentak para peserta diskusi. Tapi segera tak disetujui, misalnya oleh Tahir Djide, yang sudah sekitar 12 tahun aktif di pelatnas. Dia menilai, gagasan itu "agak ekstrem". Tahir mengakui ada yang kurang dan segera perlu diperbaiki dalam penanganan pelatnas. "Tapi, kita masih tetap perlu pelatnas. Soalnya sekarang adalah bagaimana mengisi kegiatan latihan di situ agar tak membosankan dan menjenuhkan pemain," katanya kepada TEMPO. Pendapat Tahir ini dibenarkan Christian Hadinata, 36, pemain paling tua dan paling lama terlibat sebagai pemain nasional yang belakangan ini sering diminta ikut melatih pemain ganda di pelatnas. "Tak perlu dibubarkan. Yang penting kita harus mau melakukan perbaikan-perbaikan," kata pemain yang, sejak 1969, sudah berulang kali keluar masuk pelatnas ini. Perbaikan itu, misalnya, disebutkan ayah dua anak itu, "dengan membagi cara penanganan pemain". Jika selama ini semua pemain digabung menjadi satu, "Sebaiknya sekarang diubah jadi tiga pelatnas untuk pemain senior yang sudah matang yang setengah matang dan yunior," katanya. Tentang rasa jenuh, yang dikeluhkan banyak pemain dalam sistem pelatnas, yang sudah dimulai sejak 1958 itu, pemain kawakan ini mengatakan, bisa diatasi. "Asal pelatnas tak lama-lama, maksimal 4 bulan, dan program dalam pelatnas itu sempurna, dalam arti cukup variatif, pemain tak bakal cepat bosan. " Rasa bosan atau jenuh, katanya, memang tak bisa sepenuhnya dihilangkan. "Tapi, kalau suasana pelatnas menyenangkan, termasuk pelatih tak ada problem." Memang, menurut Christian, ada juga faktor kesadaran pemain yang ikut menentukan berhasil tidaknya pelatnas. "Kalau mereka betul-betul tahu guna pelatnas, dan apa hasil yang bisa diperoleh dari sistem itu, rasanya, tak ada alasan untuk mengatakan pelatnas harus diakhiri," kata Christian lagi. Marah Sakti Laporan Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini