DULU Harry Maitimu dalam turnamen tinju internasional selalu
kesandung sial. Ia tak pernah jadi juara. Terakhir dalam SEA
Games X, ia hanya meraih medali perunggu. Tapi pekan lalu
peruntungannya tak jelek.
Di Istora Senayan, ia berhasil menyabet medali emas turnamen
Piala Presiden III. Di final, ia menundukkan Ronny Sarimolle,
lawan sebangsa, dengan keunggulan angka. Ini merupakan
kemenangannya keenam atas lawan yang sama sejak 1976.
Melawan musuh dalam negeri, Maitimu, 23 tahun, memang tanpa
tanding. Gelar juara nasional tak pernah lepas dari tangannya
dalam 5 tahun ini. Ia mengutarakan suksesnya itu banyak ditopang
oleh Teddy van Room, pelatihnya.
"Ia masih perlu digembleng lebih baik lagi," ujar van Room. Ia
menginginkan Maitimu nantinya mampu bertanding seperti petinju
Eropa -- menguasai teknik secara sempurna, juga hebat dalam
tenaga.
Dalam soal stamina, demikian van Room, rata-rata petinju
Indonesia masih kalah dibandingkan atlet Muangthai maupun Korea
Selatan. Mengapa? "Petinju Indonesia belum bisa berkonsentrasi
penuh dalam latihan," lanjutnya. van Room mengemukakan
hambatannya terletak pada faktor ekonomi para petinju. "Padahal
untuk peningkatan stamina dibutuhkan makanan bergizi serta
latihan yang teratur."
Maitimu membenarkan sinyalemen itu. Ia, katanya hari-hari cuma
makan nasi serta ikan saja. "Baru kalau masuk pelatnas ada
ekstra daging, telur, serta sayur-sayuran." Ia adalah putra
keempat dari 8 bersaudara dalam keluarga Mayor (Pol) Tjak
Maitimu.
Di Ambon, tempat ia dilahirkan dan tinggal, ia bertanding sekali
dalam 3 bulan. Dan tiap minggu ia berlatih dua sampai tiga kali
masing-masing selama 4 jam. Untuk menghadapi turnamen Piala
Presiden III, pemusatan latihan dimasukinya sejak 4 Januari.
"Saya memang dipersiapkan untuk menjadi juara," katanya. Ia
bersama 8 petinju yang tergabung dalam tim Indonesia Merah
digembleng di Ambon.
Kehidupannya di luar ring ternyata tak semenonjol prestasinya.
"Saya menganggur," kata juara ini yang cuma menamatkan SMP. Ia
pernah mendapat Tabanas sebesar Rp 100.000 dari Pemda Maluku
setelah terpilih sebagai Petinju Terbaik dalam turnamen Piala
Presiden 11, 1979. Tahun ini ia termasuk daftar atlet yang
mendapat beasiswa Supersemar sebesar Rp 15.000 per bulan.
Tapi ia belum tergoda untuk menjadi petinju bayaran. "Kalau saya
masuk prof malah mungkin itu akan menghambat karir saya,"
katanya. Ia juga tak ingin hijrah ke Jakarta seperti umumnya
petinju daerah. Alasannya, ia punya pengalaman 'jelek' sewaktu
mengikuti persiapan SEA Games X. "Cara latihan di Jakarta
ternyata tak seperti di Ambon," sela van Room.
Dari tim Indonesia Merah ternyata tak hanya Maitimu yang meraih
sukses. Elly Pikal, 20 tahun, pelajar STM di Ambon, merenggut
medali emas kedua bagi Indonesia Merah dengan mengalahkan Gamal
Kommi dari Mesir. "Elly sebenarnya sudah lebih duluan bertinju
dari saya," kata Maitimu. "Cuma dia sempat menghilang." Baru
pertama kali ini Pikal tampil di arena internasional.
Sukses dari kedua petinju asuhan van Room ini sekaligus
menempatkan tim Indonesia Merah sebagai juara umum.
Perhitungannya didasarkan dari sistem angka yang dikeluarkan
Amateur International Boxig Association (AIBA). Setiap juara
mendapatkan angka kemenangan dari penampilannya mulai dari babak
penyisihan sampai ke final. Maitimu mengumpulkan nilai 6 dan
Pikal 7.
Saingan Indonesia Merah adalah tim Korea Selatan A. Mereka juga
dapat dua medali emas, tapi kalah dalam pengumpulan angka. Kalau
saja Korea Selatan tidak menempatkan Hwang Chul Soon, yang
terpilih sebagai Petinju Terbaik, dalam tim B, maka mereka
mutlak jadi juara umum, secara keseluruhan berhasil memboyong 3
medali emas.
Yang menarik dari 34 petinju Indonesia -- terbagi dalam 5 tim --
dalam Piala Presiden III adalah bahwa semua finalis putra
Maluku. "Pak Maladi (bekas Menteri Olahraga, red) sudah lama
meramalkannya," ungkapan Room.
'Juara-juara tinju akan keluar dari Maluku . . . Pemuda Ambon
sudah terkenal tukang berkelahi. Tinggal tambah teknik sedikit."
Tapi bahwa bertinju dimonopoli putra Maluku, John Mallesy,
Komisi Teknik Pengda Pertina Jakarta, yang juga berasal dari
Ambon, membantahnya. Ia menyebut bakat-bakat yang baik juga
terdapat di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Timur, dan
Irian Jaya. "Menonjolnya Maluku sekarang ini lantaran kegiatan
di sana lebih teratur dibanding daerah lain," katanya.
Dua finalis Indonesia lainnya adalah Wiem Gommies dan Charles
Thomas. Keduanya adalah juara turnamen Piala Presiden
terdahulu.
Mallesy berpendapat bahwa kontingen Indonesia sebetulnya bisa
meraih medali emas Piala Presiden III lebih banyak seandainya
persiapan tidak hanya satu bulan. Dalam turnamen Piala Presiden
I, Indonesia yang turun dengan satu regu saja berhasil memboyong
4 medali emas. Persiapannya waktu itu 4 bulan. Pada putaran
kedua, Indonesia menampilkan 2 regu dan persiapannya memendek,
cuma meraih satu medali emas atas nama Charles Thomas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini