PARA pecinta olahraga bulutangkis, baik yang menonton di layar
tv atau menguping siaran langsung dari radio maupun 11.000 orang
yang hadir di Istora Senayan, Jakarta 2 Juni malam bagaikan koor
menarik nafas lega: Ketika Rudy Hartono menamatkan perlawanan
Flemming Delfs, dan sekaligus memastikan kemenangan regu
Indonesia (5-0) mempertahankan Piala Thomas untuk ketujuh
kalinya.
Tapi pertarungan di final melawan regu Denmark, di mulai hari
sebelumnya, bukan tak mendebarkan. Ketegangan tak hanya
menggerayang di lapangan, juga di tempat para offisial duduk.
Lihatlah, ketika Iie Sumirat mengawali pertandingan melawan
Svend Pri. Begitu ia kehilangan set pertama di tangan lawan,
orang mulai memperbincangkan strategi PBSI mengenai pemasangan
Iie, serta membandingkannya dengan waktu menampilkan Lius Pongoh
-- pemain muda yang untuk pertama kali ikut tim Piala Thomas --
di semi final.
Main Kartu
Mengapa? Iie, 29 tahun, dikenal sebagai pemain bermental tak
stabil. Ia sempat minggat 5 hari dari pelatnas lantaran namanya
tak tercantum dalam susunan regu untuk pertandingan sebelumnya.
Sebaliknya, Lius. Ia bahkan memperlihatkan permainan mengesankan
sewaktu melawan Jepang. Tim Indonesia menang 9-0 - 2 angka di
antaranya diraih oleh Lius dari tangan Masao Tsuchida (15-5 dan
18-13) serta Kinji Zeniya (11-15, 15-7, dan 154). "Segala
sesuatunya mengenai pemasangan Iie telah kita perhitungkan
secara matang," kata Willy Budiman, bekas pemain yang ikut
menentukan tim.
Willy mengemukakan alasan, antara lain untuk menjinakkan Pri
dibutuhkan pemain yang berpengalaman. Pilihan lain, tak ada.
Kecuali memasang Iie, selain terampil bermain tunggal, juga bisa
diandalkan di partai ganda. Bagaimana mengatasi sikapnya yang
gampang goyah? "Kami selalu membesarkan hatinya," lanjut Willy.
Tak heran, setiap Iie melakukan kesalahan di lapangan, ia selalu
berpaling pada pelatih Tahir Jide. Setelah ia melihat pelatihnya
mengangguk, seakan memaafkannya, baru dirinya tampak yakin lagi.
Hal itu ternyata banyak menentukan. Satu demi satu, ia mulai
mengumpulkan angka dan memenangkan set kedua. Juga dalam set
penentuan. Bisa difahami, bila Iie meloncat-loncat histeris, dan
menangis di pelukan Tahir, begitu ia menghabiskan perlawanan
Pri. Pertandingan berakhir 11-15, 15-7, dan 15-10.
Iie, yang semula dianggap orang merupakan titik kelemahan tim,
ternyata mengatrol semangat kawan-kawannya. Regu Denmark yang
berharap pertandingan malam pertama itu akan berakhir 3-1
terpaksa menelan kekalahan 4-0. "Rasanya tak ada lagi peluang
untuk meraih satu angka pun," kata pelatih Tom Bacher. Denmark
maju ke final setelah menundtlkkan tim India 7-2.
Di Hotel Borobudur, para pemain Denmark memang tampak seperti
tak bernafsu lagi menghadapi pertandingan lanjutan. Mereka
maupun pelatihnya tampak santai saja, dan menghabiskan waktu
untuk main mini golf dan main kartu. "Udara panas di Jakarta
betul-betul membuat kami tersiksa," kata Delfs. "Ternyata waktu
1 minggu di Kuala Lumpur tak banyak menolong." Tim Denmark
sebelum ke Jakarta terlebih dahulu singgah di Kuala Lumpur untuk
menyesuaikan diri dengan udara tropis serta melakukan
pertandingan percobaan di sana.
Tapi Pri, 33 tahun, dikenal sebagai pemain untuk segala cuaca
pun tak kurang tersiksa kali ini. Tak cuma udara panas itu yang
merongrongnya, juga usianya. Ketika berhadapan dengan Liem Swie
King, ia terpaksa minta ofisialnya untuk mengurut paha kanannya
yang kejang. "Tidak pernah sebelumnya saya begini," kata Pri.
Pasar tarohan di Jakarta memang bukan untuk Denmark. Tapi yang
meramalkan kesudahan 9-0 juga tak banyak. Perkiraan orang adalah
sekitar 8-1 7-2, dan 0-3. Angka yang hilang diperhitungkan 2
dari Iie, dan 1 dari Rudy. Dugaan itu ternyata tak berbalik
banyak setelah Iie menghajar Pri di malam pertama. Siangnya,
sebelum pertandingan hari kedua, mereka masih saja
disangsikan. Yang tak ragu umumnya adalah orang luar. "Saya
percaya angka 9-0 tak terlalu sulit buat Indonesia," kata pemain
Kanada, Ian Johnson. Tim Kanada, juara zone Pan Amerika,
ditundukkan oleh Jepang (9-0) di ronde pertama.
Habis-habisan
Di kubu tim Indonesia, di Hotel Hilton, suasana tetap optimis.
Sekalipun Johan Wahyudi, pasangan Tjuntjun di partai ganda
terserang flu, dan tak mungkin dipasang. "Pokoknya, malam ini
saya akan bermain habis-habisan," kata Iie. Malam itu ia akan
turun melawan Morten Frost Hansen, dan sekaligus menggantikan
posisi Johan.
Tekad itu memang, dibuktikan Iie. Disaksikan oleh ayahnya, Atik
Sujana, dan isterinya, Osye, ia memang bermain mantap. Sekalipun
di set pertama, lawannya sempat memprotes keputusan wasit, dan
mengalahkan Iie. Tapi, berbeda dengan biasanya, Iie sama sekali
tak banyak terpengaruh oleh sikap musuh itu. Ia tak hanya
memenangkan partai itu, juga bersama Tjuntjun menundukkan
pasangan Hansen dan Steen Fladberg. Iie yang semula diragukan,
akhirnya memberikan andil 3 angka kemenangan (1 angka di bawah
King) buat tim Indonesia. "Seandainya Lius yang diturunkan
mungkin keadaannya akan lain," kata Willy. "Sebab ia spesialis
tunggal."
Tim Indonesia yang dipilih untuk menghadapi Denmark adalah Liem
Swie King, Iie Sumirat, Rudy Hartono, Christian, Tjuntjun, dan
Johan Wahyudi. Pergeseran pemain dari regu yang turun di semi
final, cuma antara Iie dan Lius Pongoh. Bagi Indonesia maupun
Denmark, ini adalah pertarungan ke-4 dalam turnamen Piala Thomas
-- semuanya berakhir dengan kemenangan untuk Indonesia. Tiga
pertandingan sebelumnya adalah di Singapura (1958), di Tokyo
(1963), dan di Jakarta (1973). Angkanya, 6-3, 5-4 dan 8-1.
Tapi penonton masih saja diliputi rasa penasaran. Sejak Rudy
ditundukkan oleh Pri di Istora Senayan, 6 tahun lalu, dan
satu-satunya kekalahan tim Indonesia, pecandu bulutangkis
kepingin melihat keduanya bertarung lagi di forum yang sama.
Tahun 1976 di Bangkok, harapan itu dipunahkan oleh tim Malaysia
yang menyisihkan Denmark di semi-final. Kali ini, Rudy yang
tampak tak begitu siap. "Masalahnya, bukan saya ketemu Pri atau
tidak, tapi bagaimana mempertahankan Piala Thomas," elak Rudy
diplomatis. Dalam 2 kali pertandingan, ia dipasang sebagai
tunggal ke-3 dan bermain masing-masing 1 kali.
Kondisi fisik Rudy yang tak lagi prima itulah. sebelumnya juga
menyebabkan orang mengingat 'tragedi Istora Senayan', 1967. Regu
Indonesia, waktu itu, yang tak begitu kokoh akhirnya tergelincir
di atas topangan sorak-sorai penonton yang mengejek. "Sejak
peristiwa 1967, penonton di Istora Senayan tampak makin
sportif," kata Honorary Refeere, Herbert Scheele. Ia adalah
orang yang menghentikan pertandingan, 12 tahun lalu itu.
"Dukungan mereka terhadap tim sendiri tak lagi merugikan lawan,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini