Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mengatasi Langkah Sogok

Praktek sogok untuk meraih gelar master nasional sudah lama, tapi sukar membuktikannya. Perlu pemakaian sistim rating point yang penerapannya dapat dilaksanakan Th 1980. (or)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK kejuaraan nasional catur 1971, mutu Master Nasional (MN) mulai diragukan kemurniannya. Di awal periode itu uang berangsur memainkan peranan untuk mendapatkan gelar MN. "Sebelumnya tak pernah terdengar adanya sogok-sogokan," cerita Master Internasional (MI), Arovah Bachtiar. Dr. J. Wotulo, Ketua Bidang Teknik Percasi tidak membantah sinyalemen itu. Tapi menyangsikan praktek rersebut dilakukan oleh pemainnya sendiri. "Lihat saja, dari 26 MN kita tidak seorang pun bakal mampu menyogok," katanya. Alasannya, para MN itu umumnya berpenghasilan minim. Lantas, siapakah yang memainkan peranan? "Mungkin saja itu dilakukan oleh pimpinan klub mereka," lanjut Wotulo. "Karena ingin mendapat nama bahwa perkumpulan mereka mampu menghasilkan MN." Dalam kejuaraan nasional catur di Jakarta 1978, lepas dari siapa yang memainkan peranan, masalah sogok ini tampak sudah secara terbuka dibicarakan. Di Hotel Sriwijaya, tempat para pemain menginap, sampai muncul istilah: 'kamar khusus meladeni tamu-tamu VIP'. Seorang MN mengatakan kepada TEMPO, waktu itu, bahwa ia pernah dihubungi oleh seseorang untuk memberikan kemenangan dengan bayaran Rp 15.000. Melihat kenyataan itu, Arovah, pekan lalu mencanangkan gagasan agar Kongres Percasi di Semarang, September depan membahas khusus masalah sogok dan sekaligus menetapkan sanksi. Tapi Wotulo tidak melihat kegunaannya. "Untuk membuktikan adanya praktek penyogokan sangat sulit," alasannya. Wotulo bukan tak punya jalan keluar untuk mencegah praktek penyogokan. Menurut dia, yang perlu diterapkan oleh Percasi adalah pemakaian sistim Rating Point -- klasifikasi yang didasarkan atas angka kemenangan pemain dalam suatu pertandingan. "Dalam Kongres Percasi yang lalu (di Medan, 1975) sistim ini sudah diperkenalkan," katanya. Bagaimana prakteknya? "Hanya 10 pemain Indonesia yang punya ELO Rating Point," kata Ketua Percaja, H. Darussalam Tabusala. Master Nasional Ronny Gunawan, menempat: tempat kedua dalam urutan pemain nasional bahkan tak punya catatan tersebut sama sekali. Pemain nasional yang mempunyai ELO Rating Point tertinggi adalah Arovah dengan angka 2390. Tapi Wotulo yakin, bila sistim klasifikasi angka pertandingan itu diterapkan, para pemain akan berfikir panjang untuk memberikan angka kepada lawan. Mengapa? "Kalau ia kalah, maka rating pointnya akan turun," katanya. "Ia harus mengulang dari bawah lagi." Ia berharap dalam kejuaraan catur nasional 1980 sistim ini telah bisa diterapkan. Mereka yang diperbolehkan mengikuti babak final adalah MN yang mengumpulkan angka tertentu saja. Belum adanya pegangan yang bisa dijadikan ukuran kwalitas pemain bukan tak punya buntut jelek. "Pengiriman pemain ke berbagai turnamen internasional selama ini tidak semuanya berdasarkan ranking," kata Tabusala. "Kalau pun ada itu cuma satu atau dua. Selebihnya pilih kasih." Hasilnya sudah tentu tak memadai. Hampir di berbagai turnamen pemain Indonesia gagal menempati tempat utama. Adakah ini merupakan ekor dari praktek sogokan untuk meraih gelar MN? Siapa tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus