SEJAK kejuaraan nasional catur 1971, mutu Master Nasional (MN)
mulai diragukan kemurniannya. Di awal periode itu uang berangsur
memainkan peranan untuk mendapatkan gelar MN. "Sebelumnya tak
pernah terdengar adanya sogok-sogokan," cerita Master
Internasional (MI), Arovah Bachtiar.
Dr. J. Wotulo, Ketua Bidang Teknik Percasi tidak membantah
sinyalemen itu. Tapi menyangsikan praktek rersebut dilakukan
oleh pemainnya sendiri. "Lihat saja, dari 26 MN kita tidak
seorang pun bakal mampu menyogok," katanya. Alasannya, para MN
itu umumnya berpenghasilan minim.
Lantas, siapakah yang memainkan peranan? "Mungkin saja itu
dilakukan oleh pimpinan klub mereka," lanjut Wotulo. "Karena
ingin mendapat nama bahwa perkumpulan mereka mampu menghasilkan
MN."
Dalam kejuaraan nasional catur di Jakarta 1978, lepas dari siapa
yang memainkan peranan, masalah sogok ini tampak sudah secara
terbuka dibicarakan. Di Hotel Sriwijaya, tempat para pemain
menginap, sampai muncul istilah: 'kamar khusus meladeni
tamu-tamu VIP'. Seorang MN mengatakan kepada TEMPO, waktu itu,
bahwa ia pernah dihubungi oleh seseorang untuk memberikan
kemenangan dengan bayaran Rp 15.000.
Melihat kenyataan itu, Arovah, pekan lalu mencanangkan gagasan
agar Kongres Percasi di Semarang, September depan membahas
khusus masalah sogok dan sekaligus menetapkan sanksi. Tapi
Wotulo tidak melihat kegunaannya. "Untuk membuktikan adanya
praktek penyogokan sangat sulit," alasannya.
Wotulo bukan tak punya jalan keluar untuk mencegah praktek
penyogokan. Menurut dia, yang perlu diterapkan oleh Percasi
adalah pemakaian sistim Rating Point -- klasifikasi yang
didasarkan atas angka kemenangan pemain dalam suatu
pertandingan. "Dalam Kongres Percasi yang lalu (di Medan, 1975)
sistim ini sudah diperkenalkan," katanya.
Bagaimana prakteknya? "Hanya 10 pemain Indonesia yang punya ELO
Rating Point," kata Ketua Percaja, H. Darussalam Tabusala.
Master Nasional Ronny Gunawan, menempat: tempat kedua dalam
urutan pemain nasional bahkan tak punya catatan tersebut sama
sekali. Pemain nasional yang mempunyai ELO Rating Point
tertinggi adalah Arovah dengan angka 2390.
Tapi Wotulo yakin, bila sistim klasifikasi angka pertandingan
itu diterapkan, para pemain akan berfikir panjang untuk
memberikan angka kepada lawan. Mengapa? "Kalau ia kalah, maka
rating pointnya akan turun," katanya. "Ia harus mengulang dari
bawah lagi." Ia berharap dalam kejuaraan catur nasional 1980
sistim ini telah bisa diterapkan. Mereka yang diperbolehkan
mengikuti babak final adalah MN yang mengumpulkan angka tertentu
saja.
Belum adanya pegangan yang bisa dijadikan ukuran kwalitas pemain
bukan tak punya buntut jelek. "Pengiriman pemain ke berbagai
turnamen internasional selama ini tidak semuanya berdasarkan
ranking," kata Tabusala. "Kalau pun ada itu cuma satu atau dua.
Selebihnya pilih kasih." Hasilnya sudah tentu tak memadai.
Hampir di berbagai turnamen pemain Indonesia gagal menempati
tempat utama.
Adakah ini merupakan ekor dari praktek sogokan untuk meraih
gelar MN? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini