Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU, stadion itu tempat balapan anjing. Kini, setelah hampir dua tahun dibenahi bekas greyhound itu jadi stadion atletik terlengkap dan termahal di Indonesia. Terletak bertetangga dengan stadion utama Senayan, arena olah raga khusus atletik yang diberi nama Stadion Madya itu diresmikan pemakaiannya 25 Agustus lalu, dua minggu sebelum Pekan Olah Raga Nasional XI dimulai. Dengan stadion megah yang terletak di tanah seluas tujuh hektar ini, memang tak dengan sendirinya banyak rekor yang pecah. Terbukti, dibanding dengan PON sebelumnya yang berhasil memecahkan 13 rekor nasional, pekan olah raga empat tahun sekali yang baru berakhir Jumat pekan lalu. hanya memecahkan sembilan rekor nasional. Hasil itu menunjukkan adanya penurunan prestasi di cabang atletik Indonesia di tingkat PON. Padahal, PON yang memperlombakan semua nomor (45) atletik itu diikuti oleh semua atlet tangguh Indonesia. Maka, wajar saja, menjelang pertarungan untuk tingkat Asia pekan ini, tak banyak suara optimistis terdengar, yang mengharapkan atlet-atlet Indonesia bisa merebut medali emas di kejuaraan yang sudah hampir bisa dipastikan akan diikuti oleh atlet-atlet tangguh dari 30 negara di Asia. "Tak perlu terlalu merisaukan hasil PON. Sebab, sudah pasti, hasil anak-anak sudah sesuai dengan program. Kondisi puncak mereka baru akan terjadi di Kejuaraan Asia. Kita lihat saja nanti," kata Pieter Noya, salah seorang pelatih lompat Pelatnas jangka panjang PASI, kepada TEMPO. Pelatih senior ini belum mau merinci atlet Pelatnas mana nanti akan berada di kondisi puncak dan bisa merebut medali emas. "Harapan kita tetap di nomor-nomor lari pendek," ujarnya. Suara optimistis memang harus dikemukakan oleh para pelatih, termasuk pengurus PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia), yang hari-hari ini sibuk terus berbenah mendandani Stadion Madya yang baru sekitar sebulan mereka tempati dan pekan ini akan menjadi tempat bertarungnya atlet-atlet Asia itu. Adalah untuk bisa menampung kegiatan pertandingan internasional itu PASI - yang sebelumnya ditunjuk oleh Asosiasi Atletik Amatir Asia (AAAA) untuk jadi tuan rumah Kejuaraan Atletik Asia ke-6 - kemudian diberi izin oleh pemerintah untuk memugar dan kemudian memakai stadion tersebut. "Kami menghabiskan dana sekitar Rp 5 milyar untuk menjadikan stadion ini sebagai stadion atletik yang bertaraf internasional," kata Bob Hasan, Ketua Umum PASI. Kejuaraan Atletik Asia ke-6 itu sendiri dimulai 25 September dan berlangsung lima hari. Akan diikuti sedikitnya 450 atlet, ini kejuaraan atletik tingkat Asia pertama yang diselenggarakan di Indonesia. Merupakan kejuaraan resmi AAAA dua tahun sekali, kegiatan ini resmi diakui Federasi Atletik Amatir Internasional (IAAF) sejak dipertandingkan di Manila, 1973. Waktu itu, baru atlet dari 19 negara, termasuk Indonesia, yang ikut dalam perlombaan. Jumlah atlet peserta ini merosot menjadi hanya 16 negara ketika kejuaraan ini diselenggarakan untuk kedua kalinya pada 1975 di Seoul, Korea Selatan. Tak jelas penyebab penurunan jumlah peserta itu. Tapi, agaknya, "Soal-soal politis di antara negara-negara anggota AAAA," misalnya ketegangan hubungan antara negara blok komunis dan nonkomunis, yang menjadi salah satu alasannya. Dan ini pulalah yang kemudian menyebabkan penyelenggaraan kejuaraan ketiga yang seharusnya pada 1977 tertunda selama dua tahun. Baru pada 1979, atas inisiatif Jepang, kejuaraan ini dimulai kembali. Dan berkat lobi yang kuat dari negara tuan rumah, kejuaraan ini mulai ramai diikuti para anggota AAAA. Tercatat 20 negara ikut mengirimkan atletnya di Kejuaraan Atletik ketiga ini. Jumlah itu bertambah menjadi 21 negara ketika Jepang untuk kedua kalinya menjadi tuan rumah, Kejuaraan Atletik Asia ke-4, tahun 1981. Terakhir, Kejuaraan Asia ke-5 dilaksanakan di Kuwait, November 1983, dengan atlet dari 29 negara. Seusai kejuaraan inilah, rapat anggota AAAA yang seluruhnya berjumlah 38 negara sepakat menerima permintaan yang diajukan Bob Hasan, wakil dari Indonesia dan sekaligus waktu itu salah seorang wakil presiden AAAA, agar Kejuaraan Atletik Asia berikutnya dilaksanakan di Jakarta. "Saya cukup sibuk, lobi sana-sini dan juga sempat ngibul dalam beberapa hal, misalnya dalam persiapan fasilitas stadion, agar usul itu bisa diterima," tutur Bob sambil tertawa lebar. Akhirnya usul itu diterima. Dan, menurut Bob, ia dan sejumlah pengurus teras PASI sempat sibuk untuk mengatasi sejumlah kekurangan, umpamanya soal stadion yang bisa memenuhi syarat AAAA atau IAAF. "Bayangkan saja, waktu itu saya hanya modal berani saja. Hanya didasarkan keinginan agar Indonesia bisa jadi tuan rumah." ucapnya terus terang. Dasar pertimbangannya sederhana saja. "Sebagai negeri yang berpenduduk sekitar 160 juta, atau termasuk lima besar dunia, masa kita harus tenggelam terus dalam berprestasi di atletik dari negara Asia lain. Agar kita tak ketinggalan, maka, ya, kita harus lihat," katanya. Dia tak merinci ketinggalan atletik Indonesia itu secara pasti. Cuma, yang jelas, di tingkat ASEAN saja, di Kejuaraan Atletik ASEAN ketiga, Desember lalu, di Manila, Filipina tampil sebagai pengumpul medali terbanyak, mengatasi atlet Indonesia. Belum lagi jika dibandingkan dengan negara seperti RRC dan Jepang, yang beberapa tahun terakhir ini tak hanya berhasil memecahkan rekor Asia, tapi juga rekor-rekor dunia. Nah, untuk bisa melihat langsung para atlet tersebut memecahkan rekor dan membuat prestasi di depan mata publik sendiri, Bob menambahkan, ia agak memaksakan diri, mengupayakan penyelenggaraan sebuah kejuaraan Asia di Jakarta. Cara yang agak lebih mudah adalah dengan menyelenggarakan Kejuaraan Atletik Asia, yang sudah diakui AAAA dan IAAF. Syarat mutlak AAAA dan IAAF itulah yang mula-mula harus diatasi pimpinan PASI ini. Untuk itu, ia mengaku pula, "Sempat kasak-kusuk ke mana-mana untuk mengatasi soal yang satu itu. Belakangan, soal itu bisa diatasi karena pemerintah, lewat Sekneg, mengizinkan PASI memanfaatkan stadion greyhound, yang mau ditutup." Lapangan inilah yang kemudian dibongkar total oleh PASI. Pelbagai perbaikan diupayakan di stadion itu, untuk bisa menjadikannya sebuah stadion atletik intcrnasional. Misalnya, lintasannya diratakan, kemudian dilapisi mundo, semacam karet sintentis yang bergerigi, untuk melapisi seluruh lintasan, termasuk untuk tempat melompat. Mundo ini buatan Italia, dipasang dengan warna merah bata, melapisi seluruh lintasan. Lalu, setelah lintasan selesai, dibangun tribun: timur dan barat untuk penonton, hingga stadion ini bisa menampung sekitar 30.000 penonton. Selesai tribun, stadion juga dipasangi lampu penerang di kiri dan kanan, agar bisa dipakai berlomba malam hari seperti Stadion Utama Senayan. Untuk lampu penerang ini, menurut Budiono, Insiyur yang menjadi penanggung jawab proyek pemugaran itu, cahayanya, tak tanggung-tanggung, tiga kali lebih terang dari Stadion Utama Senayan. Dan bukan hanya lampu, tapi sound-system juga diganti baru. "Hingga juga bisa lebih keras dan jelas suaranya dibandingkan Stadion Utama Senayan," kata Budiono. Setelah lampu dan sound-system, masih ada satu pcrsyaratan yang harus disediakan PASI di stadionnya, agar bisa memenuhi standar AAAA dan IAAF, yaitu harus pula memiliki foto-finish dan pencatat waktu elektronik. Kedua alat ini, yang berharga sekitar Rp 3 milyar, akhirnya juga dibeli. PASI, menurut Bob, harus siap juga mengeluarkan uang tambahan, untuk menyimpan kedua alat elektronik itu, jika tak sedang dipakai. Ruang itu harus semacam gudang khusus yang dilengkapi pengatur udara (air-conditioning). Menurut perhitungan pengusaha ini, gudang khusus ini, beserta perlengkapan dan listriknya saja, setiap bulan harus dibiayai sekitar Rp 30 juta. "Agar alat-alat elektronis yang berharga milyaran itu tak cepat rusak," katanya. Pendek kata, untuk bisa menyelenggarakan kejuaraan cabang olah raga yang sesungguhnya baru mulai populer di Indonesia itu, Bob Hasan mengaku, "agak sedikit habis-habisan". Dan berkali-kali ia mengutarakan bahwa kegiatan tersebut, "tak seperti sepak bola", misalnya, jauh dari pertimbangan bisnis. Dengan mendatangkan kesebelasan yang punya nama tersohor, penyelenggaraan pertandingan sepak bola internasional di Stadion Utama memang kerap juga memperoleh keuntungan. Tapi, untuk Kejuaraan Atletik Asia ini, Bob mengatakan, dana untuk membiayainya saja, sekitar Rp 1,5 milyar, sudah bisa diperkirakan tak bakal kembali. Sebab, PASI, hanya mengutip karcis masuk Rp 1.000 unnlk tribun barat dan Rp 500 tribun timur. "Anak sekolah, yang mengenakan seragam sekolah mereka, bebas," kata pimpinan PASI itu, tenang. Kemudahan itu semua, "Dalam rangka lebih menggalakkan kampanye kami dalam atletik." Dengan menyelenggarakan pertandingan yang diikuti jago-jago atletik dalam tingkat Asia, keuntungan yang diharapkan pimpinan PASI itu, antara lain, adalah agar masyarakat "lebih terangsang" mengikuti perkembangan atletik mereka di tingkat Asia. "Dan buat para atlet Indonesia, kejuaraan itu juga bermanfaat untuk mengukur diri mereka sendiri. Biar mereka tahu apa gunanya saya marah-marah selama ini, dan terus menekan mereka agar terus berlatih sekeras-kerasnya," kata Bob. Lalu apa setelah para atlet dan masyarakat tahu kekuatan mereka? Bos sejumlah perusahaan ini mengatakan, setidak-tidaknya ia mengharapkan para atlet akan makin giat memacu prestasi mereka dengan mau berlatih lebih keras. "Dan untuk masyarakat: Jika mereka makin berminat pada atletik ya, itu berarti, maksud kami sudah tercapai." Dengan target seperti itulah, Bob lalu terus terang mengakui, ia belum berharap sekitar 77 atlet Indonesia yang diterjunkan di kejuaraan itu akan merebut medali emas. Hanya ketua Bidang Pembinaan PASI, M. Sarengat, Jumat pekan lalu kepada TEMPO mengatakan, "Paling banyak dua medali cmas yang diharapkan bisa dibuat Purnomo di nomor lari 100 dan 200 meter." Mengapa begitu? Bukankah sebagian atlet yang ikut itu sudah pernah dilatih di AS, empat bulan lalu? Baik Bob Hasan maupun Sarengat menyatakan, latihan itu "belum cukup untuk mengejar ketinggalan kita" dari para juara atletik yang datang dari pelbagai negara Asia itu. "Kita baru mulai. Karena itu, sabar saja dulu. Tak menang, ya, menonton saja dulu," katanya sambil tertawa lebar. Siapa atlet Asia yang akan ditonton? Pimpinan PASI menjawab, hampir semua jago atletik Asia akan datang. Sebab, kejuaraan ini, selain diakui IAAF, juga resmi sebagai suatu kejuaraan yang pemecahan rekornya akan langsung diakui IAAF. Maka, bisa ditebak, sejumlah juara atletik tingkat Asia, termasuk satu-satunya dari Indonesia, Purnomo, akan bertarung untuk merebut medali dan juga memecahkan rekor di 42 nomor. Ada beberapa juara serta pemegang rekor Asia dan dunia yang diperkirakan akan bertanding di kejuaraan yang akan dibuka Presiden Soeharto, Rabu pekan ini, di Stadion Madya itu. Beberapa di antara mereka, selain Purnomo, adalah Lidya de Vega dari Filipina, Zhu Jianhua dari Cina, Masami Yoshida dari Jepang, dan Najem Mutlaq dari Kuwait.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo