DI akhir tahun 1940-an negeri itu baru saja menggeliat dan sibuk membenahi negeri yang terkoyak karena takluk di Perang Dunia II. Tapi siapa sangka, Republik Demokratik Jerman -- biasa dikenal Jerman Timur -- yang baru terbentuk sebagai negara pada 1949, kini menjadi salah satu kutub kekuatan olahraga di dunia. Mereka memang kalah di medan perang. Tapi di arena olimpiade mereka kini berjava. Padahal, Jer-Tim baru pada tahun 1956 mengikuti pesta olimpiade ketika berlangsung di Melbourne -- Indonesia sudah lebih dahulu mengikuti olimpiade pada tahun 1952 di Helsinki. Prestasi Jer-Tim pada saat itu memang masih belum begitu menonjol. Hanya sekadar pertisipasi. Namun, mereka sudah mampu merebut medali emas dari cabang tinju di samping 4 perak dan 2 perunggu. Satu awal yang baik dalam kancah percaturan olahraga internasional. Tahun demi tahun prestasi atlet-atlet mereka mampu menyisihkan para saingan mereka, khususnya di arena olimpiade. Misalnya, pada Olimpiade Roma 1960, mereka mampu menempati urutan ke-10 dalam pengumpulan medali dengan 3 emas 9 perak dan 7 perunggu. Begitu juga di Olimpiade Tokyo 1964. Bahkan, di Olimpiade Meksiko 1968, mereka membuat kejutan dengan melon jak di urutan ke-5 pengumpulan medali. Di bawah AS, Uni Soviet, Jepang, dan Hungaria. Di awal tahun 1970-an, prestasi atlet negara kecil dengan penduduk 17 juta ini sudah bisa bersaing dengan AS dan Uni Soviet. Dan itu terbukti pada Olimpiade Munich 1972, saat Jer-Tim berada di urutan ketiga, di bawah AS dan US. Bahkan di Olimpiade Montreal mereka sudah bisa menggeser AS di posisi kedua membayangi Soviet. Dan posisi itu terus dipertahankannya hingga Olimpiade Seoul 1988, dengan merebut 37 emas. Sukses Jer-Tim juga ditandai dengan terpilihnya perenang Kristin Otto sebagai atlet terbaik di Olimpiade XXIV Seoul yang berakhir Minggu pekan lalu. Cewek semampai yang baru berusia 22 tahun itu berhasil sekaligus memenangkan enam medali emas dari semua nomor yang diikutinya. Ia berhak atas mahkota yang terbuat dari emas senilai US$ 11.000 atas prestasinya yang "Paling Luar Biasa" itu. Sebelum ini tak ada satu pun atlet cewek yang mampu berprestasi seperti dia. Satu-satunya atlet yang bisa mengungguli hanya Mark Spit dari AS, yang di Olimpiade Munich 1972 juga mencetak hasil 100 persen dengan menggaet tujuh medali emas. Barangkali kalau Kristin juga diberi kesempatan yang sama, bukan tak mungkin ia mampu menyamai atau bahkan melampui prestasi Spitz itu. Apa kiat Jer-Tim sehingga mampu melahirkan Kristin Otto dan sejumlah atlet lainnya yang juga berprestasi di tingkat dunia? Semuanya berawal dari Spartakiad suatu pekan olahraga yang khusus diperuntukkan bagi murid-murid sekolah dasar dan menengah. Acara itu secara rutin diadakan sejak tahun 1965. Saat ini diperkirakan hampir satu juta anak-anak berusia 6-14 tahun rajin mengikuti bermacam kompetisi di berbagai cabang olahraga. Dari arena inilah Jer-Tim memanen atlet-atletnya yang berbakat. Hal lainnya yang juga mendukung tumbuhnya prestasi olahraga di negeri itu adalah jaminan kehidupan sebagai atlet yang mendapat penghargaan penuh dari pemerintah Jer-Tim. Bahkan, sejak usia dini seorang atlet cilik berbakat sudah menjadi anak negara. Sampai jaminan hidup di hari tua pun, jika mereka sudah pensiun menjadi atlet, ditanggung oleh pemerintah. Tak heran kalau seluruh negeri itu kini keranjingan olahraga. Sekitar 3,8 juta penduduknya terdaftar sebagai anggota Persatuan Olahraga dan Senam Jer-Tim (DTSB). Atau sekitar 23 persen dari total penduduk yang ada. Belum lagi jutaan lainnya yang cuma sekadar hobi berolahraga lewat rekreasi. Dan sentra-sentra pembinaan terhadap atlet berbakat di bangun di mana-mana, seperti di Leipzig dan Jena. Tampaknya, bukan hanya pendekatan ilmiah yang membuat mereka berjaya. Semangat dan motivasi yang tinggi dari setiap individu atlet yang mewujudkan ini semua. Kapan Indonesia bisa melakukan hal yang serupa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini