PELUANG bagi atlet untuk lolos dari pemeriksaan doping sebenarnya tipis sekali. Begitu seorang atlet memenangkan suatu pertandingan, saat itu pula dia mendapaii pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan Penggunaan Obat Perangsang atau Doping Controlled Escort (DCE). Ke mana pun dia pergi, termasuk acara penyerahan medali, selalu diawasi oleh seorang anggota DCE. Tak sekejap pun mereka boleh lolos dari pandangan mereka. Sistem ini dimaksudkan untuk menghindari kemungklnan protes maupun pengecohan atlet terhadap hasil tes laboratorium. Selain itu, analisa laboratorium yang dipakai juga sangat canggih. "Prosedur pemeriksaan sangat ketat, agar tidak banyak protes dari peserta," tutur Kim Dong-Wook, Direktur Divisi Pengawasan Doping dan Pelayanan Kesehatan olimpiade Seoul. Biasanya, paling telat satu jam setelah final, 4 atlet urutan 1 hingga 4, ditambah seorang atlet yang diambil secara acak untuk setiap nomor, diharuskan mengikuti tes doping di stadion tempat ia bertanding. Setiap atlet akan didampingi oleh anggota DCE, mulai dari pinggir lapangan sampai di ruang kontrol doping hingga selesai. Sclain itu, mereka akan diawasi juga oleh ahli kimia dan teknikus laboratorium. Begitu memasuki ruangan, sebagai tahap pertama (lihat diagram), atlet dibebaskan memilih sendiri bahan yang dipergunakan untuk tes. Seperti gelas ukur, dua botol untuk tempat urine, dan dua amplop bersegel untuk pengiriman botol ke laboratorium. Selanjutnya, atlet tetap diawasi anggota DCE hingga urine diperoleh. Apabila mereka kesulitan buang air kecil, mereka diperkenankan minum minuman yang berasal dari botol maupun kaleng yang masih disegel. Dan atlet itu sendiri yang memilih dan membukanya. "Agar mereka tidak bisa berdalih bahwa ada orang yang memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya, setelah terbukti hasil pemeriksaannya positif," ujar Kim. Setelah urine diperoleh -- sekitar 75 ml -- atlet menuangkannya ke dalam 2 botol yang telah dipilihnya dan diberi label A dan B. Tahap berikutnya, atlet memasukkan botol-botol itu ke dalam sampul bersegel. Sekaligus memeriksanya apakah segel sudah tertutup rapat tanpa ada cacat. Kemudian, baru dia menandatangani formulir yang menjelaskan bahwa urine yang berada di dalam amplop itu adalah miliknya. Sampai di sini tugas atlet sudah selesai. Selanjutnya, kedua botol contoh itu dibawa oleh petugas DCE dengan kawalan tentara ke laboratorium. Hanya urine yang berada di botol A saja yang diperiksa. Sedangkan botol B disimpan di lemari es. Hasil pemeriksaan bisa diketahui dalam waktu 24 jam. Jika tes botol A positif, hasilnya akan dikirimkan ke Komisi Medis Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang diketuai Pangeran Alexander de Merode. Hanya Merode yang mengetahui siapa nama atlet dari hasil tes itu. Kemudian Merode akan mengundang ketua delegasi dari tim yang bersangkutan bersama sang atlet untuk menyaksikan tes ulang terhadap urine di botol B. Jika hasilnya sama dengan botol A, Komisi Medis IOC segera bersidang untuk memberikan pertimbangan kepada Dewan Eksekutif IOC. Karena dewan inilah yang berhak memberikan hukuman kepada atlet. Prosedur dan ketentuan itulah yang dilakukan terhadap diri Ben Johnson, setelah ia meraih medali emas lari 100 m, sekaligus memecahkan rekor dunia. Dan Johnson, meski mencoba berkilah dan berkelit, terbukti melakukan doping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini