Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mengasah dengan Dana Cekak

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI manakah calon bintang digodok? Tempat yang tepat adalah di pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat). Untuk cabang sepak bola, sementara ini Indonesia memiliki dua tempat, yakni di Jakarta dan Salatiga, Jawa Tengah. Di Jakarta, ada Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan, milik Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Pemerintah DKI Jakarta. Di Salatiga, namanya Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP), milik Dinas Diknas Jawa Tengah.

Sekolah Ragunan—biasa disebut begitu—menampung calon atlet berbakat dari seluruh Indonesia, yang dikumpulkan melalui seleksi ketat. Selain berprestasi di bidang olahraga, mereka harus berotak encer. Karena itu, tidak semua pelajar yang disodorkan pemerintah daerah dapat lolos. Di sini, mereka bersekolah sekaligus mengikuti program latihan.

Setiap tahunnya sekolah ini hanya menampung 24 atlet sepak bola. Jumlah ini memang kecil dibandingkan dengan meningkatnya minat remaja berlatih sepak bola di Indonesia. "Melihat banyaknya atlet berprestasi di daerah, jumlah ini jauh dari standar pembinaan terpusat yang baik," Kata Eddy Santoso, pelatih sepak bola Ragunan. Tapi anggaran belanjanya terbatas, maka penampungannya pun terbatas.

Dengan kondisi seperti itu, banyak lahir atlet sukses dari sini. Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, Warsidi, dan Ely Ibo adalah beberapa nama pemain nasional yang pernah ngendon di Ragunan. Kendati demikian, kisah sukses alumninya tak berkaitan dengan pundi-pundi almamaternya. Ketika atletnya lulus dan kemudian sukses sebagai pemain nasional, tak ada keuntungan materi yang masuk ke kocek Ragunan. "Niat kita melahirkan atlet bagus dan andal. Setelah terbentuk, mau diambil siapa pun, silakan saja," papar Eddy pasrah.

Saat ini, salah satu murid Ragunan yang menarik perhatian dan berbakat adalah striker Romeo Da Costa, asli Portugal. Pemuda yang berasal dari klub Benfica Junior ini terdampar di Ragunan ketika dulu dibawa oleh mantan duta besar keliling Lopez Da Cruz. Romeo mengaku senang menimba ilmu di tempat ini. Tahun depan Romeo lulus dan siap bermain di klub profesional. "Banyak yang melirik. Dia sudah jadi," kata Eddy Santoso.

PPLP di Salatiga lebih suram nasibnya dibandingkan dengan Ragunan. Sekolah yang didirikan pada 1980 itu kini mendidik 22 peserta. Menurut pelatih PPLP, Haryadi, yang paling memprihatinkan, mereka tidak memiliki lapangan sendiri. Lapangan latihan merupakan pinjaman dari Kostrad 411, Salatiga. Kondisinya pun buruk. Lapangan hanya dilapisi rumput gajah yang kasar yang tak menunjang atlet bermain sempurna.

Belum lagi sepatu dan bolanya tak layak pakai. Dari 22 bola yang ada, hanya tujuh yang layak pakai. "Mau gimana lagi? Wong, lapangan bukan punya PPLP dan bola tergantung kiriman Semarang," kata Haryadi.

Untunglah semangat atlet PPLP tidak kendur. Heni Indrasto, 17 tahun, pemuda asal Semarang, mengaku beruntung bisa bersekolah dan berlatih di sini. Tempat ini juga pernah mendidik Kurniawan, saat dia masih di kelas 2 SMP.

Hadriani Pudjiarti, Agus Hidayat (Jakarta), Eceng S.Y. (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus