Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Serba Tanggung Memeram Bibit

Liga sepak bola anak-anak kembali diputar. Konsistensi dan kompetisi yang teratur kuncinya.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Pemain bernomor punggung 8 itu melesat cepat. Kakinya lincah menyambut bola yang disodorkan rekannya. Berkelit sebentar, ia lantas menendang bola itu sekuat-kuatnya hingga menembus gawang. Sebuah gol nan cantik tercipta di Rabu sore pekan lalu.

Begitulah aksi "Christian Vieri" dan "Filipo Inzaghi" yang diperankan dua bocah Muhammad Rijal, 12 tahun, dan Firman Ade Putra, 10 tahun, murid Sekolah Sepak Bola Si Doel milik Rano Karno. Sudah satu setengah tahun ini mereka berlatih rutin, Senin dan Rabu sore, di Lapangan Sepak Bola Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan. Cita-cita keduanya, ya itu tadi, mereka ingin menjadi pemain sepak bola andal laiknya Vieri dan Inzaghi, yang asal Italia itu.

Mereka serius untuk itu. Dengan saksama, bersama teman-teman lainnya, mereka mengikuti latihan pemanasan, stretching, drible, dan menendang bola. Tak cuma itu, mental mereka pun sengaja ditumbuhkan. Sebuah bekal yang cukup buat mereka untuk tampil dalam kompetisi Liga Sepak Bola Anak (Ligana) Campina, yang sudah bergulir sejak awal bulan ini hingga 15 Juli 2001 nanti.

Klub Si Doel memang merupakan salah satu peserta kompetisi yang diikuti 192 sekolah sepak bola anak-anak di antero Indonesia ini. Tiap pekan, mereka diadu dengan 15 klub sepak bola lain di wilayah masing-masing. Nah, jika berhasil nangkring di urutan pertama atau runner up, barulah mereka bisa masuk grand final, di Jakarta, Juli mendatang.

Namun, namanya juga liga anak-anak, bentuk permainan sepak bola dalam kompetisi ini berbeda dengan sepak bola yang umum. Jumlah pemainnya cuma tujuh, luas lapangan cuma setengah luas lapangan sepak bola resmi, gawangnya lebih sempit (5 x 2) meter, dan tidak ada off side. Ketentuan ini diterapkan mengacu pada hasil Kongres FIFA di Wina pada 1994 tentang small sided game. Tujuan cara permainan ini agar seluruh potensi anak dapat keluar semaksimal mungkin dan si anak tetap enjoy.

Upaya ini patut disyukuri. Pasalnya, kompetisi sejenis ini bisa jadi wadah dari maraknya sekolah sepak bola yang belakangan ini muncul. Menurut Edi Simon Widjaya, Manajer Pembinaan Remaja PSSI, fenomena ini mulai marak pertengahan dekade ini, bersamaan dengan munculnya kejayaan Kurniawan Dwi Julianto bersama PSSI Primavera-nya.

Sayangnya, keberadaan mereka selama ini hampir tak tersentuh PSSI. Bahkan badan tertinggi sepak bola ini tidak memasukkannya dalam struktur organisasinya. Tak aneh jika Edi Simon mengaku tidak tahu-menahu soal jumlah sekolah sepak bola ini. Alasannya, PSSI tidak punya data tentang itu.

Hampir tidak ada yang dilakukan PSSI. Selama ini, menurut Edi, pihaknya memilih untuk mengambil posisi sebagai pihak yang mendorong dan memberi anjuran. Itu pun terbatas pada sekolah sepak bola yang ada di Jakarta. Alhasil, sekolah sepak bola ini berjalan sendiri-sendiri. Segala program dan pelaksanaan menjadi tanggung jawab sekolah sepak bola itu sendiri. Justru melalui pertandingan inilah, PSSI baru akan melakukan pendataan tentang keberadaan sekolah sepak bola yang tersebar.

Kenyataan ini memprihatinkan sekaligus menggelikan. Pembinaan agaknya menjadi soal kesekian dalam prioritasnya. Dan itu bukan hal baru. Bila menengok ke belakang, sepak bola Indonesia lebih mengandalkan jalan pintas untuk mencetak pemain ketimbang memeramnya sejak usia dini. Hal itu dilakukan mulai dari proyek PSSI Binatama, Garuda I dan II, Primavera, sampai PSSI Baretti. Resepnya pun selalu sama, pemain muda pilihan dari daerah dikumpulkan untuk dikirim ke negara yang dipandang maju dalam sepak bola, seperti Brasil atau Italia. Namun, hasilnya tetap nihil. Para pemain itu jago kandang tapi memble dalam pertandingan internasional.

Bak ingin menghapus kesalahan di masa lalu. Menurut Ronny Patinasarani, mulai tahun ini PSSI lebih serius melakukan pembinaan pemain usia muda. Sebuah departemen baru sudah dibentuk, namanya pembinaan usia muda. Ia sendiri yang mengepalai bagian ini. Salah satu programnya yang tengah digodok adalah menggelar kompetisi di bawah usia 13 tahun hingga 16 tahun. "Kompetisi ini akan membawa perubahan positif bagi pengelola sekolah sepak bola dan pengurus daerah PSSI di mana pun," ujar Ronny.

Begitupun dalam soal kepelatihan. Pihaknya akan membenahi teknik kepelatihan di tiap sekolah sepak bola yang selama ini tidak seragam. Di sela-sela Ligana ini, program pelatihan refreshing course dilakukan di tiga kota, yakni Surabaya, Solo, dan Jakarta. "Pada program ini akan dilakukan penyamaan visi dan misi para pelatih sekolah sepak bola," kata Ronny.

Namun, apa yang dilakukan PSSI terhadap para pemain yang berlaga di Ligana ini? Menurut Ronny, dari hasil kompetisi ini para pemain terbaik dari tiap wilayah akan diundang untuk melakukan pemusatan latihan nasional. Metode yang akan diberikan kurang lebih mirip dengan yang kini dilakukan PSSI, yang bekerja sama dengan Sekolah Sepak Bola Joni Pardede di Medan. Di sana, mereka mencomot pemain berbakat di bawah usia 15 tahun dari tiap pengurus daerah. "Mereka akan digembleng secara benar. Sehingga, dalam 3-4 tahun ke depan, para pemain ini sudah punya penampilan yang berkualitas," kata Ronny.

Barangkali metode dan tempat semacam ini bisa jadi alternatif untuk penggemblengan bibit pemain. Pasalnya, beberapa pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat) sepak bola yang ada sekarang ini cukup memprihatinkan. Satu contohnya, pusdiklat Salatiga, Jawa Tengah. Jangankan fasilitas penunjang seperti gym yang penting untuk pengolahan fisik, soal bola saja mereka ngos-ngosan. Bayangkan, dari 22 bola yang mereka miliki, cuma 7 yang layak pakai. Selain itu, lapangan yang mereka pakai statusnya pinjaman, sehingga program latihan mereka bisa terganggu jika pemilik lapangan, yakni pihak Kostrad 411/Salatiga, akan menggunakannya (lihat: Mengasah dengan Dana Cekak).

Tentulah tidak bisa banyak diharapkan dari pola pembinaan yang serba tanggung ini. Semoga kenyataan ini tak membuat niat anak-anak macam Muhammad Rijal dan Firman, yang berobsesi menjadi pesepak bola ternama, lantas redup.

Irfan Budiman, Agus Hidayat, Gita W. Laksmini, Ecep S. Yasa (Salatiga)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus