KOTA Bandung lagi demam bulu tangkis. Di pelbagai pojok, olah raga itu kini jadi topik pembicaraan. Hal yang pantas saja. Sebab, Selasa malam pekan ini, di ibu kota Jawa Barat itu, dimulai kejuaraan bulu tangkis dunia. Tak kurang 40 jago bulu tangkis dunia dari 9 negara, sejak Minggu pekan lalu, sudah menjajal 4 lapangan yang tersedia di gedung olah raga di Jalan Merdeka. Gedung 1.000 m2 berkapasitas 2.500 penonton ini memang sudah direnovasi untuk bisa menampung kegiatan bertaraf internasional itu. Sekitar Rp 175 juta dana dihabiskan untuk memoles gedung tersebut. Di luar itu, kata Ketua PBSI Jawa Barat Toto Hanafiah, masih ada pengeluaran lain, seperti penggantian fasilitas lapangan, yang menghabiskan dana sekitar Rp 75 juta. Bersama Pemda, tak ayal, PBSI Jawa Barat adalah pihak yang paling sibuk merampungkan persiapan kejuaraan dunia, yang kali ini disponsori perusahaan rokok 555. Itu bisa dimengerti. Buat mereka, perlu menjaga nama, karena Bandung memang dipilih, setelah calon lain, Semarang, tak disetujui IBF. Alasan IBF sederhana saja: Bandung lebih dekat ke Jakarta. Sejak semula, kejuaraan ini memang akan diselenggarakan di dua kota. Babak penyisihan di kota lain, dan putaran final di Jakarta. Bagi Bandung adalah kehormatan menjadi penyelenggara kejuaraan dunia. Sebab, selama ini, kejuaraan internasional hanya berlangsung di Jakarta. Tapi ada yang lebih dari sekadar kehormatan penunjukan IBF sebagai tuan rumah. Adalah Bandung, yang sejak 1950-an merupakan kota pencetak pemain bulu tangkis kelas dunia Tan Yoe Hok, Olich Solihin, Eddy Yusuf, Unang, Tutang, Nara Sudjana, Iie Sumirat, Christian Hadinata, Tjun Tjun, Imelda (Wiguna) Kurniawan, sampai Ivanna Lie. Ini untuk menyebut sejumlah pemain asal daerah ini dan pernah punya reputasi internasional. Dan, itulah soalnya. Kini, setelah Ivanna, 25, yang sudah dekat mau gantung raket, memang belum terdengar pemain baru yang bisa dicetak di kota ini. "Perkembangan yang amat memprihatinkan," kata Tutang Djamaluddin, 51, salah satu bekas pemain senior tadi. Padahal, fasilitas dan sarana untuk berlatih sekarang jauh lebih baik dari dulu. "Dulu, kami tak dapat bantuan Pemda, dan berlatih pun di lapangan terbuka, tapi bisa membuat prestasi," tambah Tutang. Lalu, mengapa Jawa Barat mundur? Tutang, spesialis ganda yang dulu kerap berpasangan dengan Unang atau Ferry Sonneville, menduga itu mungkin karena bakat dan kemauan pemain sekarang kurang dibandingkan pemain 1950-an. Tapi Tutang menolak merinci kekurangan itu. Iie Sumirat, 37 -- bekas pemain nasional yang pernah dijuluki "Si Pembunuh Raksasa" karena mengalahkan raksasa bulu tangkis Cina, Hou Chia Chang dan Tong Sin Fu, pada Invitasi Bulu Tangkis Asia 1976 di Bangkok -- mengatakan bahwa soal Bandung juga dialami kota-kota lain. "Kurang calon pemain yang berbakat," kata Iie. Karena tak ada bibit bagus, kata Iie lebih lanjut, bulu tangkis Indonesia mundur. "Saya termasuk orang yang percaya pada bakat ketimbang hasil pendidikan yang dipaksakan," kata Iie, yang sejak tahun lalu melatih di klub PB Sarana Muda, Bandung. "Kemampuan seorang yang bisa main bulu tangkis tapi tak berbakat bisa kita naikkan dari satu menjadi satu seperempat. Tapi pemain yang berbakat bisa jauh di atas itu," kata Iie. Perdebatan soal ini memang bisa panjang. Apa pun alasannya, Toto Hanafiah, yang juga bekas pemain, memastikan, tanpa dana yang cukup, "Nonsens bisa memajukan bulu tangkis." Itulah, menurut dia, salah satu penyebab mundurnya pembinaan bulu tangkis di Bandung. Pemilik toko alat-alat olah raga ini mengatakan, dia yakin, kalau dana cukup, bulu tangkis Bandung bisa dibangkitkan lagi. M.S. Laporan Aji Abdul Gofar & Didi Sunardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini