BUMI sedang terancam, karena langit di Kutub Selatan lagi mengalami "erosi". Sebuah lubang, seluas lima kali wilayah Indonesia, menganga membiarkan matahari memancarkan cahaya ultraviolet tanpa halangan, lalu membakar sel-sel tetumbuhan sampai pada intinya di padang salju itu. Sejumlah plankton di Kutub Selatan telah ditemukan musnah. Satelit cuaca Amerika Serikat, yang diorbitkan di atas pangkalan militer McMurdo di Antartika, belum lama berselang menemukan lapisan ozon pada stratosfer bumi menipis dan akhirnya habis. Dan, kemudian muncullah lubang ozon, yang menakutkan itu. Sejak Agustus lalu, sebuah tim internasional melakukan penelitian intensif di Antartika, menyimak lubang itu dan mencari penyebabnya. Ada dugaan, lubang itu sekadar gejala alam, yang pernah terjadi juga di masa lalu tapi tak terdeteksi. Perkiraan lain, lubang itu terjadi akibat reaksi ozon dengan sejumlah gas buangan industri. Mana yang benar? Akhir Oktober lalu, penelitian di Antartika itu menemukan hasil. Ahli aeronomi Susan Solomon, yang memimpin regu ekspedisi AS, melaporkan tim internasional menemukan adanya jejak reaksi kimia pada lubang ozon. Maka, teori yang berpendapat lubang ozon adalah gejala alam praktis gugur. Sebelumnya, sejumlah ahli fisika planet berpendapat, lubang ozon terjadi karena perubahan intensitas cahaya matahari. Perubahan itu mengakibatkan bergesernya reaksi-reaksi gas di lapisan atmosfer bumi (troposfer, stratosfer, mesosfer, dan ionosfer). Gejala alam itu, menurut para ahli tersebut, tak terlalu berbahaya, karena alam akan melakukan kompensasi dengan rangkaian reaksi lain, dan lubang ozon akan menutup kembali. Nyatanya, lubang ozon terjadi bukan karena gejala alam. Ozon, seperti sudah didua sejak 1970-an, terbakar akibat meningkatnya volume gas buangan industri yang terbawa arus angin di atas troposfer, lalu terkonsentrasi di Kutub Selatan dan Kutub Utara, yang bersuhu sangat rendah. Tim Solomon menemukan, menipisnya ozon terjadi terutama pada batas lapisan pertama atmosfer bumi, troposfer, dengan laFisan di atasnya, stratosfer. Lapisan itu terletak pada ketinggian 10-15 kilometer sementara konsentrasi ozon terbesar terdapat di lapisan stratosfer pada ketinggian 10 - 50 kilometer. Kenyataan ini membangun bukti baru: terbakarnya lapisan bawah stratosfer menunjukkan awal reaksi yang membuahkan lubang itu berasal dari bumi, bukan dari matahari. Studi di Antartika juga menemukan hubungan lubang ozon itu dengan tingkat rendahnya suhu di Kutub Selatan, khususnya perbandingan matematis yang dihitung berdasarkan jarak lubang langit dengan ekuator. Yang mencemaskan dari hasil perhitungan ini: lubang ozon akan muncul juga di Kutub Utara -- seperti diperkirakan sebelumnya. Apa yang dicemaskan itu memang menampilkan bukti-bukti. Seorg ahli NASA, Donald Heath, melaporkan bahwa satelit cuaca Nimbus-7, yang diorbitkan di atas Spitzberen, Norweia, mencatat tanda-tanda lubang ozon di Arktik. Kehilangan ozon di Kutub Utara itu memang masih belum mencemaskan: sekitar 3%. Bandingkan dengan Antartika, yang penipisan mencapai 40%. Tapi, yang menakutkan adalah tanda-tanda merambatnya lubang ozon. Mungkinkah lubang ini merabat dan mencapai seluruh langit bumi? Susan Solomon, berdasarkan perhitungan hubungan lubang ozon dengan suhu, menyangsikan kemungkinan ini. "Tak ada tempat di bumi ini yang memiliki suhu dan keadaan yang sama dengan di kedua kutub," katanya. Menghitung kadar susutnya ozon yang ditunjukkan satelit McMurdo sejak 1979 Dr. Rowland, ahli kimia dari Universitas California, menemukan hubungan susutnya ozon dengan meningkatnya penggunaan senyawa klorin di sejumlah industri besar. Berdasarkan percobaannya, Rowland menunjuk klorofluorkarbon sebagai senyawa paling potensial dalam membakar ozon. Klorofluorkarbon adalah gas yang di masa kini memang semakin luas digunakan, khususnya sebagai bahan dasar pembuatan gas untuk alat pendingin dan aerosol. Karena itu, Desember nanti, sejumlah negara industri akan berkumpul di Jenewa membicarakan lubang ozon. DuPont, industri terkenal Prancis, produsen terbesar klorofluorkarbon sudah mengeluarkan pernyataan akan membatasi produk senyawa kimia pembakar ozon itu, dan mengajak produsen lain melakukan pembatasan yang sama. Namun, Susan Solomon di Antartika mengemukakan bahwa ia belum menemukan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa klorofluorkarbon yang bertanggung jawab atas terbakarnya ozon. "Reaksi kimia di atas sana sangat kompleks," katanya. Aeronom wanita itu agaknya tak mau menuduh industri sebagai penyebab lubang ozon, tapi ia juga tak bermaksud membiarkan pencemaran udara terjadi berlarut-larut. Yang mencemaskan, menurut aeronom itu, justru karena reaksi kimia yang spesifik belum ditemukan. "Kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," katanya, "sangat mungkin, gas-gas lain dengan struktur molekul yang berdekatan dengan ozon juga sedang terancam reaksi pembakaran." Bila itu terjadi, lubang langit akan mengancam dari berbagai jurusan, mengepung kehidupan di bumi. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini