Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Setelah merangkak 22 tahun

Regu tenis Indonesia tersisih di babak penyisihan piala davis '84 di swedia, Indonesia mengirimkan pemain, yustejo tarik, tintus ariwibowo, hadiman dan atet wiyono.(or)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN memimpin 4-3 di set pertama, Tintus penuh harapan akan memenangkan set itu. Tapi pemain Swedia, Anders Jaerryd, segera 6angkit. "Giliran saya serve, servis saya dia break. Jadi 4-5. Ketika dia serve lagi, saya tak bisa mengembalikan, sehingga saya kalah 4-6," tutur Tintus Aribowo kepada TEMPO lewat telepon dari Bjarred (Swedia) desa tempat pertandingan babak penyisihan 16 besar Piala Davis 1983 pekan lalu. Belum pulih dari kekalahan di set pertama, di set kedua dia harus menyerah lagi 2-6. Tintus mencoba bangkit lagi di set terakhir dan sempat memimpin 4-3, lalu 5-4. Tapi di tenah sekitar 3.000 penonton, pemain nomor dua Indonesia itu akhirnya dikalahkan dengan tie-break 5-7. Di set inilah ia sempat terjatuh di karpet pertandingan. Di partai single kedua, juara Asian Games 1982, Justedjo Tarik, berhadapan dengan juara junior Eropa 1981 dan pemain ranking 10 Besar dunia, Mats Wilander. "Serve-nya keras dan dia jago main volley. Setiap pukulan saya, selalu disabetnya dengan dahsyat - tak sempat saya bereaksi lagi," ungkap Justedjo kepada TEMPO. Petenis nomor stu Indonesia yang terkenal suka memaki penonton atau mengejek lawannya di Senayan itu, kali ini, seperti katanya, cuma blsa mengumbar senyum pahit. "Mau macam-macam, malu sendiri, tutur Justedjo sambil terbatuk-batuk dalam pembicaraannya dengan Max Wangkar dari TEMPO. Ia menyerah pada Mats Wilander dengan 2-6, 2-6 dan 1-6 pada pertandingan Jumat sore waktu setempat. Pertandingan partai ganda, Sabtu, Swedia menurunkan Anders Jaerryd/Hans Simonson melawan Justedjo/Hadiman. Hasilnya 2-6, 3-6 dan 3-6 untuk regu tuan rumah. Justedjo, diturunkan bersama Hadiman karena Atet Wiono kena flu. Walaupun kalah juga melawan Wilander di hari ketiga, Tintus masih bisa meraih angka 3-6, 3-6. Sedangkan Justedjo yang di atas kertas diperhitungkan bisa lebih baik dari Tintus, ternyata tak bisa meraih angka lebih banyak. Ia kalah 3-6 dan 1-6. "Dengan Jaerryd, sebenarnya kelas kami masih berimbang. Kelebihannya, sama seperti Wilander, mempunyi sabetan-sabetan keras dan akurat. Mereka rata-rata masih muda. Yang paling tua, Jaerryd, 21 tahun, sedangkan Wilander dan Simonson baru 19 dan 18 tahun. Wilander memang paling baik, dia satu kelas di atas kami. Pukulan kerasnya tak bisa kami tiru lagi. Mestinya dibentuk pada pemain remaja," komentar Justedjo yang sudah berusia 28 tahun itu. Sistem pembinaan tenis di Swedia, menurut ketua Bidang Pembinaan Pelti, Soejono, tampaknya memang diterapkan sejak anakanak dan sampai ke desa-desa. "Bjarred ini cuma desa berpenduduk 1.500 jiwa. Di sini ada 800 orang pemain tenis, di antaranya 400 anak. Bayangkan saja, anak desa di sini sudah jadi pemain tenis," tutur Soejono yang menjadi kapten regu Piala Davis ini. "Tak heran kalau tenis Swedia sekarang nomor 3 di dunia," tambah Soejono. Menurut Soejono, bukan tak mungkin Swedia menjadi juara Piala Davis lagi seperti tahun 1975, sewaktu diperkuat Bjorn Borg. Tahun lalu pada quarter-final Piala Davis, Swedia menahan 2-3 regu AS yang kemudian keluar sebagai juara. Setelah kalah dari Swedia ini, Indonesia kehilangan peluang untuk terus ke babak berikutnya. Kesempatan untuk menantang Piala Davis 1984 adalah bila menang melawan Denmark, salah satu 16 Besar yang sudah dikalahkan Selandia Baru pekan lalu. Soejono maupun Justedjo optimistis bisa mengalahkan Denmark akhlr September mendatang. "Saya pernah bertanding di Kopenhagen tahun 1976. Waktu itu belum tampak pemain internasional dari Denmark, kata Justedjo. Sebaliknya bila kalah melawan Denmark, berarti Indonesia harus merangkak lagi mulai dari zone seperti selama ini. Indonesia petama kali mengikuti babak-babak penyisihan Piala Davis, pada 1961 melawan India di Bandung. "Kalah 1-4," kata Sekjen Pelti, Drs. Nartomo. Kemudian Indonesia absen hingga 1966. Tak jelas apakah karena Indonesia dikeluarkan dari ILTF (Federasi Tenis Internasional) karena mendirikan Ganefo atau karena tak membayar iuran anggota. "Tahun 1967 kita masuk ILTF lagi dalam sidang di Luxemburg," kata Nartomo. Sejak tahun itu Indonesia ikut lagi menantang Piala Davis meski tak pernah mencapai dua langkah pertandingan hingga 1971. Berturut-turut dikalahkan Jepang (1967), Filipina (1968 dan 1969) bahkan oleh negara yang sedang perang, Vietnam, tahun 1970. Tahun 1971 Indonesia menang W.O., atas Vietnam pada babak penyisihan pertama. Tapl di putaran kedua di Senayan, pemain-pemain zaman itu, Gondowijoyo dan Atet Wiono, ditundukkan Australia 2-3. Tahun 1972 kalah lawan India. Tahun 1973 menang lawan Hongkong tapi kemudian dikalahkan Jepang. Pada 1974 dikalahkan Filipina dan 1975 dikalahkanJepang. Tahun 1976 Indonesia sempat maju 3 tapak, yakni menang atas Kor-Sel, atas Filipina tapi kemudian dijungkal Australia. Pada 1977 menang atas Taiwan, tapi dikalahkan Pakistan. Tahun 1978 menang atas Thailand lalu disisihkan Kor-Sel. Kor-Sel sekali lai menundukkan kita pada 1979. Tahun 1980 tak ada pertandingan karena ada perubahan sistem pertandingan zone - antara lain Asia dilepaskan dari Australia dan Selandia Baru. Pada 1981 Indonesia menundukkan Taiwan dan Pakistan. Tapi di final zone dikandaskan India. Tahun lalu Indonesia menang atas Malaysia dan Korea Selatan. Setelah mengalahkan Jepang, akhirnya juara zone. Karena itulah muncul kesempatan bagi petenis Justedjo Tarik dan Tintus bertemu dengan petenis kaliber dunia seperti Mat Wilander di Swedia pekan lalu. "Kesempatan ini bisa mereka peroleh karena ada perangsang hadiah uang," kata Sugiarto, petenis angkatan pertama regu Piala Davis Indonesia bersama Tan Lip Tjiauw, Icas dan Kace Sudarsono. Pada masa Sugiarto, belum ada pertandingan berhadiah uang di Indonesia. Waktu itu Piala Davis juga masih tertutup untuk pemain prof - sampai Davis Cup disponsori perusahaan komputer NEC sejak 1981. Walaupun minggu lalu kalah dari Swedia regu Indonesia mendapat hadiah uang US$ 35.000 (Rp 24,5 juta). Sedangkan dalam pertandingan melawan Denmark nanti, hadiah juga US$ 35.000 kalau kalah. Kalau menang ditambah US$ 5.000. "Setengah dari hadiah itu dibagi-bagi antara pemain, setengahnya lagi untuk membayar ongkos tiket pesawat dan hotel regu," kata Sekjen Pelti sambil tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus