PEMAIN, yang di atas kertas tak diperhitungkan memetik kemenangan dalam final Piala Thomas, ternyata mampu memporak-porandakan "Naga Cina", Han Jian. Ratusan penonton yang mendukung tim Indonesia melambai-lambaikan merah putih, sementara jutaan penonton televisi di tanah air menyaksikan seorang pahlawan baru lahir: Hastomo Arbi. Dialah yang mengambil angka kemenangan pertama, setelah King terjungkal di partai tungal pertama. Tak heran jika Hastomo Arbi dielu-elukan ribuan orang yang menyambut kedatangan tim Piala Thomas sejak dari Halim sampai ke Istana Wakil Presiden, Minggu pekan ini. Puluhan poster terbentang di Jalan-jalan dengan bermacam-macam tulisan. Semua menyanjung Hastomo Arbi. Bahkan seorang bayi yang lahir di rumah sakit Jayapura oleh kedua orangtuanya langsung diberi nama Hastomo - untuk mengabadikan kemenangan ini. Bukan itu saja. Puluhan gadis remaja mengepung perkampungan atlet di Manila, Senayan, tempat Hastomo menetap selama pelatnas. Mereka berebutan minta tanda tangan. Sebagian memancing obrolan. Yang terakhir ini boleh kecewa. "Hastomo cuma menjawab ya dan tidak. Ia tak bisa nomong," gerutu seorang gadis. Memang, pemain asal Kota Kretek Kudus ini lebih mudah tersenyum dibandingkan bicara. "Sejak kecil memang begitu. Kalau tidak disapa, ia memilih diam," kata Ny. Sri Hartati, ibu kandung Hastomo. Sikap memilih diam inilah, ternyata, yang mengantarkan Hastomo kecil mengenal dunia bulu tangkis. Waktu itu, sang ayah Ang Tjing Bik, kesal melihat perangai anak lelaki pertamanya ini. Sang ayah, yang memang pemain bulu tangkis ini, mengajak si kecil ke lapangan. "Bukan supaya ia sehat atau nanti jadi pemain tenar semata-mata agar dia bisa bergaul," tutur Ang Tjing Bik. Maka, mulailah Hastomo Arbi yang nama waktu kecilnya Ang Tjong Hoiw memegang raket pada usia tujuh tahun. Pada usia sepuluh tahun, Hastomo yang lahir 5 Agustus 1958 ini, menunjukkan tanda-tanda berbakat. Ayahnya kemudian mengajari memukul bola yang benar. Tjing Bik bekerja di perusahaan rokok Djarum, Kudus. Ketika Djarum mendirikan perkumpulan bulu tangkis, 1970, Hastomo dititipkannya di sana. Sejak itu, si pendiam ini mendapat latihan secara teratur. Di kelas V SD, Hastomo memperlihatkan prestasinya. Ia menjadi juara pertama bulu tangkis pada POPSI tingkat SD se-Jawa Tengah di Purwokerto. Lalu pada tahun 1974, juara pertama POPSI tingkat SLTP se-Jawa Tengah di Solo. Tahun-tahun keuntung, Ada Hastomo milian ia sudah menjuarai berbagai kejuaraan resmi tingkat nasional, untuk kelas yunior. Nama Hastomo mulai menghias koran-koran ketika 1977 ia menjadi juara pertama nomor tunggal pada Surya Cup II dan Surya Naga Cup di Surabaya. Setahun kemudian ia menggondol Piala Munadi di Semarang, sebagai pemain tunggal. Kejuaraan inilah yang menyebabkan dia ditawari ikut seleksi di Jakarta. Tiga kali seleksi, selalu gugur. Pada ki keempat, bertepatan dengan seleksi platnas Sea Games 1979, Hastomo mengguli Lius Pongoh dan Hadiyanto. Adalah Sea Games 1979 di Jakarta yang menjadi kenangan paling indah, seperti yang berulang kali diakui Hastomo. Waktu itu King terlambat muncul di lapangan, sehingga dinyatakan kalah WO. Pada saat orang gelar terhormat tunggal putra lari keluar negeri, Hastomo tampil sebagai penyelamat. Ia merebut mahkota gelar itu sinilah duel sengit melawan Udom Lueng petchaporn, pemain Muangthai. "Semuanya di luar dugaan. Bayangkan, itu pertama kalinya saya terjun di arena internasional," kata Hastomo. Di Sea Games 1981 Manila, Hastomo juga melancarkan jalan King ke puncak juara dengan menundukkan Misbun Sidek, pemain urakan dari Malaysia itu. Semua prestasi internasional ini, walau ia tak merebut juara di luar negeri, menyebabkan Hastomo cukup layak ambil bagian dalam tim Piala Thomas tahun 1982. Sayang sekali, Hastomo terkena skorsing IBF di All England karena dituduh terlibat doping. Namun, perjalanan kariernya yang cukup gemilang itu harus ditebus dengan sekolahnya yang kocar-kacir. Tapi Hastomo tak pernah mengeluh. "Mungkin saya yang bodoh, saya nggak naik-naik kelas, lalu berhenti," katanya. Banyak yang mendua, karena sekolahnya tak keruan Hastomo jadiminder. Pemuda berwajah bulat tampan ini menolak jika kedua hal itu dikait-kaitkan. "Orang bilang saya pemalu. Saya kok merasa biasa-biasa saja," ujarnya sembari tersenyum. Penggemar bakso dengan berat tubuh 58 kg dan tinggi 162 cm ini barangkali memang orang yang rendah hati, bukan rendah diri. Dengar, apa yang ia katakan ketika memetik kemenangan di Kuala Lumpur. "Kemenangan itu, Tuhan jua yang menentukan," ujarnya jauh dari basa-basi. Syukur pada Tuhan rajin ke gereja dan patuh kepada nasihat orangtua adalah sisi lain dari pahlawan Piala Thomas 1984 ini. "Saya melarang ia merokok, main perempuan, dan begadang. Saya bilang, kalau mau jadi juara, jangan dulu kawin," kata Tjing Bik. Hastomo pun mengakui dengan jujur, dalam usianya yang mendekati 26 ini, ia belum punya pacar. "Apalagi mikirin kawin," ujarnya. Tentu tak berarti Hastomo tak memikirkan masa depan. "Saya sadar, tak selamanya hidup dari bulu tangkis," katanya. Ia mengirimi adik-adiknya - juga pemain di klub Djarum - uang dan membelikan orangtuanya rumah sederhana. "Hadiah-hadiah juga. saya tabung," katanya lagi. Ia dikenal hemat. Uang saku yang diterimanya hampir tak pernah dlbelanjakan untuk oleh-oleh yang tak perlu. Pulang dari Singapura pekan lalu, ia hampir tak membeli apa-apa. Di pesawat - juga di bis selama di Kuala Lumpur - ia duduk di dekat jendela, lebih banyak membisu. Apa yang dipikirkannya? "Mudah-mudahan dua tahun lagi saya terpilih mempertahankan Piala Thomas. Saya berjanji meningkatkan prestasi," katanya, sehari setelah tiba di Jakarta. Janji sederhana, sesederhana kehidupannya sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini