Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Ragam

Antusias Warga Aceh Melestarikan Meugang Menyambut Bulan Ramadan.

Dalam menyambut bulan Ramadan, tradisi ini berlangsung turun-temurun sejak masa Kesultanan Aceh dan hingga kini masih di dilestarikan.

31 Maret 2022 | 18.21 WIB

Warga yang memakai masker mencuci tangan sesudah membeli daging pada hari tradisi pemotongan hewan (meugang) di Beurawe, Banda Aceh, Aceh, Rabu 22 April 2020. Warga tetap melaksanakan tradisi meugang menyambut bulan Ramadan di tengah  darurat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Perbesar
Warga yang memakai masker mencuci tangan sesudah membeli daging pada hari tradisi pemotongan hewan (meugang) di Beurawe, Banda Aceh, Aceh, Rabu 22 April 2020. Warga tetap melaksanakan tradisi meugang menyambut bulan Ramadan di tengah darurat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Banda Aceh -Aceh memiliki tradisi unik menyambut bulan Ramadan, aktifitas warga menjemput bulan puasa dengan melestarikan budaya meugang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam masyarakat Nangroe Aceh Darusalam, tradisi menyambut bulan Ramadan dikenal dengan sebutan Meugang.  

Tradisi ini
berlangsung turun-temurun sejak masa Kesultanan Aceh dan hingga kini masih di dilestarikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam hal ini ada prosesi penyembelihan kambing atau kerbau yang dilaksanakan bersama. Daging kambing atau kerbau itu kemudian diolah dan dimakan secara bersama-sama juga, demi mempererat tali silaturahmi dalam menyambut bulan suci.

Selain itu, biasanya, 1 atau 2 hari sebelum memasuki bulan puasa, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk membeli daging sapi. Hasilnya diolah menjadi makanan khas sebelum dinikmati sebagai lauk.

Selama perayaan meugang, mudah sekali menemukan berbagai menu masakan khas dibuat oleh warga, mulai dari kari kameng atau kari kambing, sie reuboh atau daging rebus, hingga sie puteh atau daging putih. Menu itu dibuat bergantung pada tiap-tiap daerah di Aceh.

Tradisi Meugang, Aceh  Tak jarang dalam perayaan ini, mereka mengundang tetangga, anak yatim, dan fakir miskin untuk menikmati hidangan bersama-sama.

Dalam tradisi ini, kerabat atau anak yang merantau di tempat jauh akan pulang untuk merayakan bersama sanak saudara.

Sejarah Meugang

Mengutip dari buku  “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda”  -Tradisi upacara meugang ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh yaitu sekitar abad ke-14 M.  Ali Hasjimy menyebutkan tradisi ini sudah dimulai sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi meugang ini dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta ulama.

Selanjutnya : Pada hari itu, raja memerintahkan kepada balai fakir..


Pada hari itu, raja memerintahkan kepada balai fakir yaitu badan yang menangani fakir miskin dan dhuafa untuk membagikan daging, pakaian dan beras kepada fakir miskin dan dhuafa.

Semua biayanya ditanggung oleh bendahara Silatu Rahim, yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyat di kerajaan Aceh Darussalam 

Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda” menyebutkan adanya upacara meugang  di Kerajaan Aceh Darussalam, bahkan menurutnya, disana ada semacam peletakan karangan bunga di makam para sultan (Lombard:2007:204-205).

Makmeugang atau meugang ini memang tidak asing untuk masyarakat Aceh. Ini sebuah tradisi unik yang dimiliki masyarakat Aceh untuk menyambut hari-hari besar agama Islam yaitu sebelum memasuki bulan Ramdhan, hari raya Idulfitri, dan hari raya Iduladha.

Sejarah makmeugang berawal dari masa kerajaan Aceh. Pada saat kemimpinan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh Darussalam, beliau ingin melakukan tradisi makmeugang itu. Sultan memerintahkan kepada para petinggi istana untuk membagikan daging kepada rakyat.

Daging tersebut juga dibagikan mengutamakan rakyat yang lebih membutuhkan seperti fakir miskin. Tradisi ini pun kemudian terus diwariskan kepada kepemimpinan kerajaan selanjutnya, yang mana sudah diwariskan secara turun temurun sampai sekarang.

Pada masa penjajahan Belanda dahulu pun, tradisi ini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dilakukan dengan para pemimpin desa yang bersekutu dengan Belanda membagikan daing tersebut pada rakyat.

Tradisi menjelan bulan Ramadan ini memang tidak akan lekang dimakan waktu karena terus dibudayakan hingga saat ini. Tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Aceh ini pun sudah berumur ratusan tahun.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus