Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STYROFOAM alias busa sintetis merupakan salah satu pilihan favorit untuk wadah atau kemasan makanan, minuman, buah-buahan, atau sayuran. Salah satu keunggulannya adalah harganya yang murah. Namun styrofoam tidak ramah lingkungan dan kesehatan. Makanan yang dibungkusnya juga berpotensi tercemar polystyrene, bahan penyusunnya. Kepedulian soal lingkungan inilah yang mendorong peneliti kimia polimer Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muhammad Ghozali, mengembangkan biofoam, yang bahan bakunya adalah biomassa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biomassa adalah istilah yang umumnya digunakan untuk menyebutkan bahwa material tersebut berasal dari tumbuhan atau tanaman yang terbarukan. Yang termasuk kategori biomassa antara lain kayu, jerami, singkong, tebu, dan kelapa sawit. Dengan kata lain, biomassa adalah bahan organik—baik serat maupun limbah—yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Adapun biofoam yang dikembangkan Ghozali menggunakan bahan baku yang berasal dari limbah industri pangan tapioka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ghozali merilis inovasinya itu melalui akun YouTube miliknya pada pertengahan Agustus lalu. Saat ini ia masih mengembangkan biofoam agar bisa diproduksi massal. “Sekarang biofoam-nya masih dikembangkan agar harganya bisa lebih murah atau setidaknya mendekati harga styrofoam,” ujar Ghozali, Kamis, 4 September lalu.
Pengembangan biofoam oleh Ghozali ini sebenarnya meneruskan penelitian pendahulunya di LIPI. Dalam penelitian sebelumnya dikembangkan biofoam dari limbah pertanian. Namun waktu itu hasil akhir produknya tidak tahan air. Ghozali lantas meminta izin dari seniornya itu untuk melanjutkan penelitian tersebut. Hasilnya, ia bisa menjawab kekurangan itu dan membuat biofoam menggunakan limbah industri pangan, yang lebih tahan air.
Dalam pengembangan biofoam, kata Ghozali, ia menggunakan limbah industri PT Langit Bumi Lestari di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yakni limbah kering tapioka berupa onggok. Bahan itulah yang kemudian dicampur dengan zat aditif. Saat pengembangan ini, ia menggunakan fasilitas milik Balai Besar Pasca Panen Kementerian Pertanian untuk mencetak biofoam. Agar bentuknya lebih menarik, ia membuat biofoam dengan warna-warna cerah dengan menambahkan pewarna alami.
Menurut Ghozali, keunggulan biofoam adalah lebih ramah lingkungan dan menggunakan bahan baku terbarukan. Ia melakukan uji coba terhadap sampah biofoam dengan menanamnya di dalam tanah yang diberi pupuk. Dalam waktu kurang dari dua pekan, sampah biofoam itu sudah mulai terurai.
Dari segi bahan baku, menurut Ghozali, persediaannya cukup banyak. Sebab, limbah industri pangan di Indonesia, tapioka misalnya, bisa sampai 50 ton dalam sehari. Dalam penelitian ini, ia menggunakan limbah industri tapioka untuk biofoam. Namun limbah industri pangan lain juga bisa dipakai. “Perbedanya di formulasi, campuran-campurannya,” katanya.
Namun Ghozali mengakui tantangannya kini adalah bagaimana mengatasi biaya produksi biofoam yang masih mahal. “Sekarang harganya masih lebih mahal enam-tujuh kali lipat dari styrofoam,” tuturnya. Meski bahan baku tergolong murah, yang juga ikut berpengaruh terhadap harga adalah biaya untuk zat aditif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo