Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Stunting Bukan Semata Kurang Gizi, Begini Temuan Studi yang Pakai Pendekatan Anak Utuh

Penelitian tipologi stunting melalui pendekatan anak secara utuh atau "whole child approach" dilaksanakan di tiga negara pada 2019-2024.

20 Februari 2025 | 21.50 WIB

Ilustrasi anak dengan stunting. nyt.com
Perbesar
Ilustrasi anak dengan stunting. nyt.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita tak hanya berpangkal dari masalah gizi. Tetapi juga terkait dengan faktor epigenetik, kesehatan saluran cerna, infeksi, mikrobiota, serta kesehatan mental ibu. Dibutuhkan pendekatan intervensi interdisiplin untuk bisa mengatasi permasalahan stunting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) di Indonesia mengungkap faktor majemuk di balik kasus atau masalah stunting tersebut. Studi itu adalah bagian dari penelitian tipologi stunting melalui pendekatan anak secara utuh atau "whole child approach" yang dilaksanakan pada 2019-2024 di tiga negara yakni India, Indonesia dan Senegal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Untuk Indonesia, penelitian dilakukan di Lombok Timur. Studi terdiri dari dua komponen yakni, yang pertama, observasi kohort ibu hamil yang dilanjutkan hingga anak mereka berusia 24 bulan. Kedua, studi intervensi menggunakan telur sebagai makanan tambahan untuk mengetahui efektivitas peningkatan kualitas asupan selama kehamilan terhadap epigenetik dan stunting pada bayi.

Kemudian, selama periode 2019-2024 tersebut, berbagai pengumpulan data dilakukan. Pertama adalah data profil asupan dan status gizi, epigenetik, genetik dari anak dan kedua orang tua, serta kesehatan saluran cerna (komponen fisik). Kedua, perkembangan anak yang meliputi proses berpikir, kemampuan bahasa dan motorik, kesiapan belajar, serta asuhan psikososial (komponen kognitif). 

Data yang ketiga mengenai lingkungan belajar anak usia dini (komponen pendidikan). Keempat, lingkungan pangan termasuk keamanan pangan dan rantai nilai pangan dari makanan padat gizi (komponen pangan). 

Pengumpulan data dilakukan di beberapa tahapan pada 1.000 hari pertama kehidupan yakni masa kehamilan, menyusui, dan periode makanan pendamping ASI. Didapati, kecepatan pertumbuhan tertinggi anak pada usia 3 bulan dan paling rendah pada 14 bulan.

Hasil temuan awal dari aspek kognisi menunjukkan 53 persen perkembangan anak-anak di Lombok Timur tersebut termasuk dalam kategori rata-rata namun belum optimal. Dugaannya, karena dipengaruhi berbagai aspek seperti epigenetik, microbiome dan gizi terutama untuk usia satu hingga dua tahun.

“Kami juga meneliti kakak atau saudara kandung anak tersebut yang berusia tiga hingga enam tahun, dan hasilnya juga perkembangannya rata-rata dan belum berkembang dengan baik,” Ketua Tim Peneliti Komponen Kognitif, Risatianti Kolopaking, dalam diseminasi hasil temuan awal, pada 13 Februari 2025.

Temuan lainnya, antara lain, permasalahan kesehatan mental pada ibu perlu diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan anak, baik yang berusia satu tahun ataupun pada anak prasekolah. Studi juga menemukan bahwa selenium memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak, tetapi sering tidak cukup diperhatikan dalam intervensi gizi. 

Sementara, inflamasi sistemik pada usus juga berdampak pada pertumbuhan anak dengan mengganggu hormon pertumbuhan. Dari sistem pangan diketahui responden mengalami kesulitan akut dalam komponen informasi dan promosi untuk semua jenis makanan. 

Lalu, dari komponen pendidikan, temuan awal dari studi AASH menyebut kualitas guru PAUD sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Guru yang memiliki latar belakang sarjana terutama lulusan PAUD akan menumbuhkan lingkungan pembelajaran yang sehat.

Sedangkan berdasarkan kandungan gizi, temuan awal menyatakan perlu keragaman sumber protein untuk pemenuhan gizi yang baik di Lombok Timur. Temuan menunjuk khususnya pada zat gizi yang bermasalah yakni besi, kalsium, seng dan folat, dan juga perlunya kombinasi protein hewani, contohnya makanan yang memadukan hati, telur, dan tahu atau tempe dapat memberikan asupan zat gizi yang lebih lengkap.

Studi AASH didanai oleh United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI-GCRF). AASH Indonesia dikoordinasikan oleh SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) – Pusat Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus