Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENELITI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Edi Kurniawan, mengembangkan pesawat nirawak alias drone untuk mengawasi penerapan aturan jaga jarak. Tahun lalu, peneliti di Pusat Penelitian Fisika LIPI ini mengembangkan drone yang niat awalnya adalah memenuhi kebutuhan pengawasan bencana. Rencana itu berubah setelah terjadi pandemi Covid-19 sejak Maret lalu. “Drone untuk memonitor bencana ditunda dulu,” kata Edi, Kamis, 29 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edi merancang drone berjenis quadcopter atau memiliki empat baling-baling. Drone komersial biasanya dikontrol dengan alat kendali jarak jauh atau remote control sehingga pengendaliannya menggunakan penglihatan dan ketinggian terbangnya tidak diketahui pasti. Sedangkan drone buatan Edi ini berbasis sensor dan dikendalikan dengan alat kendali darat atau ground control unit (GCU).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GCU tersebut mirip komputer. Alat ini memberi perintah berupa misi terbang kepada drone, juga menerima kiriman videonya. Video itu kemudian diproses GCU dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di dalam alat tersebut. “Alat itu bisa mendeteksi orang. Jumlah orang bisa dihitung, termasuk jarak antar-obyek tersebut,” tutur Edi.
Edi menerangkan, drone dan GCU itu dirakit sendiri. Monitor, keyboard, unit catu daya, dan boks dibeli terpisah. Begitu juga cip processor serta graphic processing unit untuk memproses video dan mengeksekusi program AI. Cip yang mendukung AI didatangkan dari luar negeri. “Kalau ground control unit yang jadi dari luar negeri harganya mahal sekali, bisa ribuan dolar. Ini kita mencoba bangun sendiri,” ucapnya. Biaya pembuatan alat ini, Edi melanjutkan, berkisar Rp 50-100 juta.
Dalam uji coba, drone itu diterbangkan 5-10 meter. Ketinggian itu sudah cukup untuk fungsi pemantauan. Kalau drone terbang lebih tinggi, obyek yang diamati akan terlalu kecil dan susah dibedakan. “Video dari drone ini semacam memberi bukti dari lokasi itu,” kata Edi mengenai fungsi alat tersebut. Dia menyebutkan alat ini tidak dipasangi pengeras suara untuk membubarkan massa yang tidak menerapkan jaga jarak.
Dalam pengujian, drone dan GCU bisa berkomunikasi, mendapat perintah dan mengirim gambar, dalam jarak 100 meter. Drone itu mempunyai dua sinyal, yakni perintah dan video. Paket perintah berisi misi diunggah ke drone. “Perintahnya terbang ke ketinggian berapa, pindah ke titik lokasi A, lokasi B,” ujar Edi.
Saat ini drone yang belum diberi nama itu masih dalam tahap pengujian lebih lanjut. Ihwal kecerdasan buatan, Edi menyebutkan optimasinya sudah cukup akurat. Kecepatan pemrosesan videonya juga sudah cukup. Yang perlu dilakukan adalah menguji ketahanan terbang untuk memastikan drone bisa terbang di ketinggian berapa serta apakah dapat berpindah dari titik A ke B dan C dan kembali ke tempat asal. Uji terbang ini membutuhkan waktu sekitar dua bulan.
Edi mengungkapkan, kelemahan lain quadcopter adalah baterainya biasanya hanya bertahan maksimal 30 menit. Artinya, ada kendala durasi terbang yang terbatas. Soal baterai ini masih bisa diatasi dengan teknologi lain agar memiliki dayanya lebih besar dan drone terbang lebih lama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo