Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kecurangan dalam produksi MinyaKita adalah bentuk kelalaian pemerintah dalam pengawasan distribusi minyak goreng. Masyarakat mengalami kerugian ganda karena volume produk yang lebih sedikit sementara harga yang dijual di pasaran melebihi harga eceran tertinggi (HET).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana diketahui, beredar temuan bahwa kemasan satu liter MinyaKita kenyataannya hanya berisi 750-800 mililiter. Harga MinyaKita yang dijual di pasaran juga melebihi harga eceran tertinggi Rp15.700, yakni Rp18.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ironisnya, berdasarkan realisasi Domestic Market Obligation (DMO), produksi MinyaKita mencapai 213.988 ton per bulan. Padahal kebutuhan nasional hanya 170 ribu ton per bulan.
“Dengan pasokan yang melebihi kebutuhan hingga 125 persen, seharusnya harga MinyaKita stabil di bawah HET. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan harga yang lebih tinggi,” kata Guru Besar Ilmu Kebijakan Ekonomi IPB University, Faroby Falatehan, melalui keterangan tertulis, Rabu, 12 Maret 2025.
Faroby menegaskan bahwa pemerintah harus memperketat pengawasan harga dan kuantitas produk, bukan sekadar menjalankan program tanpa evaluasi. “Pengawasan dan pembinaan harus menjadi bagian permanen dari pemerintahan agar kasus serupa tidak terus berulang,” ujarnya.
Sebenarnya, kata Faroby, regulasi HET telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat. Produsen yang melanggar HET dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga dua kali dalam tujuh hari kerja.
“Jika pelanggaran berlanjut, sanksi dapat berupa penghentian sementara penjualan, penutupan gudang penyimpanan, penarikan produk dari distribusi, hingga pencabutan izin usaha,” ucapnya.
Dia menambahkan, pelaku usaha MinyaKita berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 8 misalnya, disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat a); dan tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut (ayat b).
Sementara di Pasal 19 menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. "Pemerintah juga bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan 30 UU Perlindungan Konsumen," kata Faroby.
Faroby menyatakan bahwa kasus MinyaKita dapat diselesaikan melalui penegakan regulasi yang sudah ada, termasuk ganti rugi bagi konsumen, dan sanksi terhadap produsen yang melakukan pelanggaran. Dia menekankan dampak kecurangan dalam distribusi minyak goreng juga berdampak pada daya beli masyarakat, terutama selama bulan Ramadan, di mana konsumsi meningkat dan harga kebutuhan pokok cenderung naik.
"Hal itu dapat dilihat berdasarkan pernyataan dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,09 persen pada Februari 2025, yang menunjukkan penurunan daya beli," kata dia.