Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengumuman temuan obat Covid-19 dan uji klinis tahap 3 yang telah dijalani oleh tim peneliti dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengundang kontroversi. Sejumlah kalangan mempertanyakan proses penelitian dan uji yang dilakukan serta publikasi atas hasil-hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)) Ari Fahrial Syam mengatakan sebuah uji klinis atas suatu obat memang harus sampai ke tahap publikasi secara ilmiah. Sekalipun di masa pandemi ini jurnal-jurnal memberi prioritas penelitian Covid-19 untuk segera diterbitkan, tetap, Ari mengatakan, ada proses review atau kajian terlebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Proses review dan bolak baliknya, pengalaman selama ini sampai setahun," kata dia saat dihubungi, Selasa 18 Agustus 2020.
Publikasi ilmiah untuk mengukuhkan validitas yang sudah dilakukan itupun tak otomatis mengantar masuk menjadi panduan dan protokol pengobatan baru. "Karena akan melihat apakah hasil ini konsisten dengan penelitian lain di luar negeri," ujar Ari.
Ari mengungkapkan di antaranya berdasarkan pengalamannya sendiri terlibat menguji kombinasi obat sebagai obat baru untuk pasien infeksi kuman H. pylori beberapa waktu lalu. Teknik kombinasi obat ini mirip dengan yang dilakukan tim peneliti dari Unair untuk obat Covid-19 saat ini.
Pada kasus obat Covid-19 itu, Unair mengumumkan temuan lima kombinasi obat yang dianggap potensial menyembuhkan pasien Covid-19 dalam konferensi pers di akun Youtube BNPB, Jumat 12 Juni 2020. Saat itu disebutkan penelitinya telah melakukan uji toksisitas selain mengecek faktor inflamasi (peradangan) dan anti-inflamasi.
Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, Dr. dr. Purwati, SPpd, berbicara dalam konferensi pers bersama Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB Jakarta, Jumat 12 Juni 2020. (ANTARA/Katriana)
Sedang hasil uji di laboratorium menunjukkan konsumsi obat-obatan itu dengan kombinasi yang sudah ditetapkan mampu secara bertahap (24, 48, dan 72 jam), menurunkan perkembangbiakan virus corona. "Dari yang jumlahnya ratusan, ribuan, sampai menjadi tak terdeteksi (undetected). Ini artinya bisa memutus mata rantai penularan,” kata Purwati, ketua tim penelitinya.
Lalu, pada Sabtu 15 Agustus 2020, Rektor Unair, M. Nasih, mewakili tim peneliti menyerahkan hasil uji klinis fase 3 atas kandidat obat baru itu kepada Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Dengan klaim efektivitas obat sampai 98 persen, mereka lalu bersama-sama mendeklarasikan bakal obat Covid-19 pertama di dunia jika Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM mengeluarkan izin edar.
Menurut rencana, Rabu 19 Agustus 2020, akan ada paparan dari tim peneliti dan diskusi mengenai penelitian dan pembuatan obat tersebut yang diinisiasi BPOM mengikuti permintaan izin edar tersebut.