Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI negara dengan penduduk mayoritas Islam soal halal menjadi pertimbangan utama memilih makanan, selain gizi. Pertimbangan ini mendorong empat mahasiswa Politeknik Negeri Malang (Polinema), Jawa Timur, membuat detektor kandungan makanan halal yang diberi nama Bortiks, yang mengacu pada akronim babi, boraks, formalin, dan pewarna tekstil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menilik namanya, alat ini dibuat untuk mendeteksi makanan halal dengan mengenali ada-tidaknya kandungan babi. Juga memeriksa keamanan makanan dengan melihat apakah ada bahan berbahaya seperti boraks, formalin, atau pewarna tekstil sintetis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alat ini dirancang oleh Nita Uswatun Chasanah Fauziah dan Putra Muara Siregar dari Program Studi Diploma III Teknik Kimia, Adian Ilham Ramadhan (Program Studi Diploma III Teknik Telekomunikasi), serta Pranda Prasetyo dari Program Studi Diploma IV Teknik Elektronika. Pembuatan alat ini dibimbing oleh dosen mereka, Christyfani Sindhuwati.
Ketua tim Bortiks, Nita Fauziah, mengatakan pembuatan dan pengembangan alat ini dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar dan Analisa Instrumental Polinema. Pembuatan alat berbentuk kotak yang dilakukan sejak Mei lalu ini ditargetkan selesai pada September mendatang. "Bortiks kami buat untuk mendukung pengembangan wisata halal," kata Nita, Jumat, 30 Juli lalu.
Menurut Nita, faktor pandemi juga menginspirasi mereka membuat alat ini. Kebijakan pemerintah membatasi kontak antarmanusia, antara lain dengan membatasi jam operasional rumah-rumah makan, diyakini bisa memicu persaingan ketat. Ada kekhawatiran bahwa untuk bertahan di tengah situasi sulit ini, para pedagang memakai bahan pengawet berbahaya seperti boraks, formalin, dan pewarna tekstil sintetis.
Nita menjelaskan, dua komponen penting Bortiks adalah dua sensor, yaitu sensor gas MQ-138 dan sensor warna TCS3200. Sensor gas berperan mengetahui kandungan boraks dan formalin. Adapun sensor warna berfungsi mengetahui pemakaian pewarna tekstil dalam makanan. Pewarna buatan yang harus diwaspadai adalah Rhodamine B yang biasa digunakan dalam industri tekstil tapi sering disalahgunakan menjadi pewarna makanan dan kosmetik.
Kedua sensor tersebut dioperasikan dan diprogram khusus melalui microcontroller, yakni berupa Arduino Uno. Menurut Nita, cara kerja alat tersebut sederhana: input dibaca oleh sensor dan diproses langsung oleh Arduino Uno, lalu diperoleh output yang dikirim dan dibaca oleh liquid crystal display (LCD) I2C serta lampu light-emitting diode (LED) yang digunakan sebagai indikator output.
Menurut Nita, Bortiks mempunyai beberapa keunggulan untuk mendeteksi kandungan daging babi, boraks, formalin, dan pewarna tekstil buatan dalam makanan. Bortiks ringan sehingga gampang dipindahkan dan dipegang. "Kecepatan Bortiks mendeteksi belum kami kalkulasi. Tapi, menurut literatur, waktu uji sensor yang kami gunakan sekitar 5 menit. Kami menargetkan waktu ujinya di bawah 1 jam," ujar Nita.
Nita dan kawan-kawannya awalnya membuat Bortiks detektor makanan halal untuk mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun mereka akan terus mengembangkan alat ini agar bisa dipatenkan. Saat ini mereka juga mempersiapkan publikasi inovasi lewat jurnal Distilat terbitan Polinema ataupun jurnal ilmiah lain di luar kampus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo