Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian baru dari University of Oxford menunjukkan kapan pertama kali hewan muncul dalam sejarah bumi. Tim peneliti yang dipimpin oleh Ross Anderson dari Departemen Ilmu Bumi telah melakukan penilaian paling menyeluruh hingga saat ini terhadap kondisi pelestarian yang diharapkan menangkap fosil hewan paling awal.
Sebagai latar belakang, studi ini mengingat hewan pertama kali muncul dalam catatan fosil sekitar 574 juta tahun yang lalu. Kedatangan mereka muncul sebagai ‘ledakan’ bebatuan tiba-tiba dari periode Kambrium (539 juta hingga 485 juta tahun lalu) dan tampak melawan laju perubahan evolusioner yang biasanya bertahap.
Banyak ilmuwan, termasuk Charles Darwin, yang percaya hewan pertama benar-benar berevolusi jauh sebelum periode Kambrium, tetapi mereka tidak dapat menjelaskan mengapa hewan hilang dari catatan fosil.
Metode ‘jam molekuler’, misalnya, menunjukkan hewan pertama kali berevolusi 800 juta tahun yang lalu, selama bagian awal era Neoproterozoikum (1.000 juta hingga 539 juta tahun lalu).
Pendekatan ini menggunakan tingkat gen menumpuk mutasi untuk menentukan titik waktu ketika dua atau lebih spesies hidup terakhir berbagi nenek moyang yang sama. Tetapi meskipun batuan dari Neoproterozoikum awal mengandung mikroorganisme fosil, seperti bakteri dan protista, tidak ada fosil hewan yang ditemukan.
Lantas, hal ini menimbulkan dilema bagi para ahli paleontologi: Apakah metode jam molekuler melebih-lebihkan titik saat hewan pertama kali berevolusi? Atau apakah ada hewan pada awal Neoproterozoikum, tetapi terlalu lunak dan rapuh untuk diawetkan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meneliti batuan zaman Kambrium
Penulis utama Ross Anderson berkata hewan pertama mungkin tidak memiliki cangkang atau kerangka berbasis mineral, dan akan membutuhkan kondisi luar biasa untuk menjadi fosil. Meski begitu, endapan batu lumpur Kambrium tertentu menunjukkan pengawetan yang luar biasa, bahkan pada jaringan hewan yang lunak dan rapuh.
“Kami berpikir bahwa jika kondisi yang dikenal sebagai pengawetan Burgess Shale-Type (BST) ini juga terjadi pada batuan Neoproterozoikum, maka ketiadaan fosil mungkin memang menunjukkan tidak adanya hewan pada waktu itu,” terang Anderson.
Untuk menyelidiki hal ini, tim peneliti menggunakan berbagai teknik analitik pada sampel endapan batu lumpur Kambrium dari hampir 20 lokasi. Hal ini bertujuan untuk membandingkan batuan yang menyimpan fosil-fosil BST dengan batuan yang hanya mengawetkan peninggalan berbasis mineral, seperti trilobita.
Metode ini mencakup spektroskopi sinar-X dispersif energi dan difraksi sinar-X yang dilakukan di Departemen Ilmu dan Bahan Bumi di Oxford. Selain itu, terdapat pula spektroskopi inframerah yang dilakukan di Diamond Light Source, sinkrotron nasional Inggris.
Fosil dan tanah liat antibakteri
Analisis menemukan fosil dengan pengawetan tipe BST diperkaya secara khusus dalam tanah liat antibakteri yang disebut berthierine. Dalam sekitar 90 persen kasus, sampel dengan komposisi minimal 20 persen berthierine menghasilkan fosil BST.
Pemetaan mineral skala mikro dari fosil BST mengungkapkan tanah liat antibakteri lainnya, yang disebut kaolinit, tampaknya secara langsung mengikat jaringan yang membusuk pada tahap awal, membentuk lingkaran pelindung selama fosilisasi.
“Kehadiran tanah liat ini adalah prediktor utama apakah batuan akan menampung fosil BST,” ujar Anderson. “Ini menunjukkan bahwa partikel tanah liat bertindak sebagai penghalang antibakteri yang mencegah bakteri dan mikroorganisme lain untuk memecah bahan organik.”
Para peneliti kemudian menerapkan teknik ini untuk menganalisis sampel dari banyak endapan batu lumpur Neoproterozoikum yang kaya akan fosil. Analisis mengungkapkan bahwa sebagian besar tidak memiliki komposisi yang diperlukan untuk pengawetan BST.
Namun, tiga endapan di Nunavut (Kanada), Siberia (Rusia), dan Svalbard (Norwegia) memiliki komposisi yang hampir sama dengan batuan BST dari periode Kambrium. Meski demikian, tidak satu pun sampel dari ketiga endapan ini mengandung fosil hewan, walaupun kondisinya memungkinkan untuk pelestariannya.
Bukti ketiadaan hewan pada awal Neoprotozoikum
Anderson berkata, “Kesamaan dalam distribusi tanah liat pada fosil dalam sampel Neoproterozoikum awal, dan dengan endapan Kambrium yang luar biasa, menunjukkan bahwa dalam kedua kasus, tanah liat melekat pada jaringan yang membusuk. Dan, kondisi yang kondusif untuk pelestarian BST ada di kedua zaman tersebut.”
Hal ini memberikan ‘bukti ketiadaan’ pertama dan mendukung pandangan bahwa hewan tidak berevolusi pada awal era Neoproterozoikum, bertentangan dengan beberapa perkiraan metode jam molekuler.
Menurut para peneliti, temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Trends in Ecology and Evolution ini menunjukkan kemungkinan usia maksimum asal-usul hewan sekitar 789 juta tahun — perkiraan usia termuda dari formasi Svalbard.
Tim peneliti sekarang bermaksud untuk mencari endapan Neoproterozoikum yang lebih muda dengan kondisi untuk pelestarian BST. Ini akan mengonfirmasi usia batuan ketika hewan hilang dari catatan fosil karena mereka benar-benar tidak ada, bukan karena kondisi tidak memungkinkan mereka menjadi fosil.
Para peneliti juga berniat melakukan percobaan laboratorium untuk menyelidiki mekanisme yang mendasari interaksi tanah liat organik dalam pengawetan BST.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.