Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENELITIAN tentang light detection and ranging (lidar)—teknologi peraba jarak jauh optik untuk menemukan jarak dan/atau informasi lain dari target jauh—adalah salah satu kegiatan di Kelompok Penelitian Optoelektronika dan Kontrol Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Aplikasinya disesuaikan dengan kebutuhan. “Karena sedang ramai Covid-19, kami memanfaatkan lidar untuk pengawasan pelanggaran physical distancing,” kata Dwi Hanto, peneliti di kelompok penelitian itu, Kamis, 17 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dwi menjelaskan, ia bersama timnya membuat sebuah rancang bangun lidar yang masih sederhana untuk mendeteksi pelanggaran pembatasan jarak fisik—salah satu protokol kesehatan yang penting selama pandemi Covid-19. “Untuk kebutuhan cepat, kami membeli lidar, motor listrik, lalu digabungkan, membuat program, terus bereksperimen untuk pelanggaran physical distancing,” ucapnya. Detektor itu diuji coba untuk mendeteksi benda mati dengan jarak dan konfigurasi yang diatur di laboratorium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seusai percobaan pada benda mati, Dwi melanjutkan, lidar itu diuji coba pada obyek manusia. Tiga orang yang menjadi relawan diminta berada pada jarak tertentu. Mereka juga diminta berdiri pada jarak aman yang ditetapkan dalam protokol kesehatan, yaitu 1 meter. Dalam uji coba itu dikaji apakah lidar, yang dikenal pula sebagai pemindai laser tiga dimensi, bisa mengenali jarak antarorang tersebut.
Dwi mengatakan rancang bangun ini adalah satu dari dua pendekatan para peneliti LIPI. Satu pendekatan lain adalah mengenai penguasaan teknologinya. Selama ini, teknologi lidar dapat dikembangkan untuk laser, pendeteksi foto, sistem modulasi, dan sistem instrumentasi. “Kalau sudah menguasai teknologi lidar, sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada lidar di pasar yang dari luar negeri,” tuturnya. Dwi menambahkan, LIPI sudah lama mengkaji lidar. Adapun rancang bangun ini dikerjakan sejak tahun lalu.
Uji coba lidar jaga jarak ini baru dilakukan di dalam ruangan. “Di indoor itu cuma tembok penghalangnya. Kalau outdoor, tantangannya banyak. Ada pohon, meja, dan itu cara membedakannya ada hitungannya sendiri,” ujar Dwi. Dalam pengujian awal, lidar juga baru diatur dengan posisi persis di depan obyek. Harapannya, alat itu bisa dipasang di sejumlah tempat, seperti di atap gedung dan alat yang bergerak, misalnya kendaraan. Inovasi ini akan terus dikembangkan ke arah tersebut.
Rancang bangun lidar ini dibuat dengan standar biaya murah. Tim peneliti memanfaatkan bahan yang tersedia di pasar. Biayanya, menurut Dwi, sekitar Rp 15 juta. Namun biaya itu baru mencakup pembelian peralatan, belum memperhitungkan pengetahuan sumber daya manusia. “(Biaya itu) untuk lidar dengan jangkauan sekitar 12 meter,” katanya. Dwi memberikan gambaran, harga lidar yang dapat berputar 360 derajat untuk sistem otonom mobil listrik sekitar Rp 100 juta.
Cara kerja lidar berbeda dengan kamera pengawas (CCTV). Dwi mengatakan keunggulan lidar adalah bisa menentukan jarak dari alat atau satu benda ke benda lain. Tapi, kelemahannya, lidar tidak bisa menentukan jenis benda itu, apakah orang atau pohon, misalnya. Sedangkan CCTV, yang berbasis gambar, bisa mengenali obyek meski belum bisa menghitung jaraknya. “Kalau CCTV mau dipakai untuk menghitung jarak, perhitungan dan prosesnya lebih kompleks,” tuturnya.
Dwi mengungkapkan, lidar pendeteksi pembatasan jarak fisik yang ia rancang bersama timnya ini memang masih sederhana. Ia berharap ada sejumlah penyempurnaan dengan bantuan peneliti lain. Salah satunya dalam hal sistem mekanik dan tampilan produk agar lebih baik. Karena keterbatasan dana, pengembangan belum bisa dilakukan segera. Saat ini ia dan timnya sedang mengusulkan paten untuk teknologi tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo