Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN peresmian jaringan transmisi eksra tinggi 500.000 Volt (500 kV) Suralaya - Gandul (119 km), pertengahan bulan ini, Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya unit I mulai menyumbangkan listriknya secara maksimum. Ini berarti kapasitas terpasan sistem tenaga listrik se-Jawa, yang sekitar 2.923 MW (juta watt) itu, bertambah lagi dengan 400 MW. (Sebesar kebutuhan listrik se-Jawa Timur). "Sebetulnya, Suralaya sudah mengirimkan tenaga listriknya ke Gandul sejak Agustus lalu," kata Ir. Djiteng Marsudi, pemimpin Pusat Pengatur Beban (P2B) Sistem Tenaga Listrik se-Jawa. Hanya, pengiriman belum maksimum, karena masih menggunakan jaringan transmisi 150 kV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang terdapat juga dua saluran 150 kV yang menghubungkan Suralaya P2B di Gandul itu. Tapi, tiap saluran hanya mampu menyalurkan listrik maksimum 100 MW. Bandingkan dengan kemampuan jaringan 500 kV yang, menurut Djiteng "Tiap saluran mampu menyalurkan sekitar 1.000 MW." Besarnya kemampuan menyalurkan bukan satu-satunya kelebihan jaringan transmisi 500 kV, dibandingkan dengan jaringan transmisi 150 kV ataupun 70 kV yang sudah dimiliki PLN selama ini. "Secara teoretis, seharusnya semakin tinggi tegangan yang digunakan, semakin tahan jaringan transmisi itu terhadap gangguan petir," tutur Djiteng, lulusan Elektro ITB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini merupakan kelebihan yang sangat bermanfaat di Indonesia, yang memiliki 150 hari guruh/tahun, sehingga sekitar 70% penyebab gangguan pada transmisi listrik di Jawa merupakan ulah guruh (petir). Berdasarkan pengalaman PLN, jaringan 70 kV jauh lebih sering terkena petir. "Karena itu, saya berharap jaringan 500 kV ini bisa bebas gangguan," kata Djiteng, yang memimpin P2B sejak didirikan, 1981.
Tahun lalu, instansi ini mencatat 830 gangguan dengan kekuatan antara 5 dan 170 MW tanpa menyebabkan terjadinya pemadaman. "Jika gangguan terjadi bukan dalam waktu beban puncak, sistem memang mampu mengatasi gangguan hingga sekitar 200 MW," tutur Djiteng.
Waktu beban puncak terjadi sekitar pukul 19.00 dengan beban mencapai 1.841 MW. Nah, pada saat-saat itulah Djiteng mengaku "merasa deg-degan". Maklum, gangguan sekitar 150 MW saja dapat mengakibatkan keseluruhan sistem runtuh dengan akibat seluruh P. Jawa menjadi padam. "Sport jantung" yang biasanya mulai menghinggapi para petugas di Gandul sekitar pukul 18.30 ini baru berakhir setelah pukul 21.00.
Itulah sebabnya PLN membedakan aturan penarifan listrik untuk industri pada waktu beban Duncak dan tidak. Tarif pada waktu beban puncak rata-rata 60% lebih mahal. Maksudnya jelas, agar perbedaan penggunaan listrik tertinggi dan terendah tidak terlalu besar. Kalau perbedaan ini kecil, operasi pengadaan listrik bisa lebih hemat. Djiteng memperkirakan, tahun 1984/1985 PLN akan menggunakan bahan bakar senilai Rp 650 milyar untuk pengadaan listrik se-Jawa.
Maklum, selain pusat listrik tenaga air dan panas bumi yang menyumbangkan sekitar 16% dari keseluruhan kapasitas yang ada, pusat listrik lainnya menggunakan bahan bakar dalam pengoperasiannya. PLN tentu selalu berusaha menekan pemakaian bahan bakar ini seminimum-minimumnya. Keadaan ini dapat dicapai bila tenaga listrik yang dibangkitkan sama persis dengan tenaga listrik yang terpakai.
Tetapi, dalam prakteknya, hal ini sulit dilakukan karena pemakaian tenaga listrik dari waktu ke waktu berubah. Juga harus disediakan tenaga listrik cadangan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gangguan, baik pada alat pembangkit ataupun jalur transmisi listriknya. Berapa besar tenaga cadangan yang disediakan ini, yang disebut spinning reserve, akan menentukan berapa besar gangguan yang dapat diterlma sistem tanpa mengganggu kestabllannya.
Tentu saja semakin besar tenaga cadangan yang disediakan, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Bagi P2B, yang cuma mendapatkan sekitar 16% listriknya dari PLTA dan PLT panas bumi, dan sisanya dari pusat listrik pemakai bahan bakar, penambahan cadangan ini berarti penambahan pemakaian bahan bakar. "Jadi, bagi kami seninya adalah bagaimana menghasilkan tenaga listrik yang cukup andal semurah mungkin," kata Djiteng.
Dari dasar pemikiran seperti itu, agaknya, PLN menentukan spinning reserve yang disediakan "Di bawah 200 MW". Dikaitkan dengan penggunaan jaringan transmisi 500 kV yang mengalirkan 400 MW dari PLTU Suralaya ke Gandul, pemilihan spinning reserve ini memang menyebabkan para petugas di Gandul lebih berdebar-debar.
Pasalnya, bila terjadi gangguan pada umit pembangkit Suralaya, atau pada jaringan transmisimya, sistem tenaga listrik se-Jawa akan kehilangan 400 MW. Ini tak dapat diatasi spinning reserve yang ada, dan dapat mengakibatkan pemadaman se-Jawa. Karena itu, Djiteng mengutip teori yang mengatakan bahwa spinning reserve seharusnya sama dengan kapasitas unit pembargkit yang terbesar. "Tapi kami tak mengikuti pendapat itu," katanya.
Sebuah sumbr di PLN menjelaskan, secara teoretis seharusnya kapasitas unit terbesar dalam sebuah saringan tidak melebihi 10% dari beban puncak yang ada. Hal ini juga merupakan persyaratan yang diperhitungkan dalam penentuan besarnya unit di PLTU Suralaya. Hanya saja, ramalan kenaikan beban puncak ternyata meleset karena terjadinya resesi ekonomi. Peningkatan April 1981 hingga April 1982 yang mencapai 20.3% misalnya, ternyata menjadi hanya 10.25% pada kenaikan tahun berikutnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menampung Kiriman Listrik Suralaya"