DUA tahun Soeparna "menggauli" kambing. Khusus kambing kacang, dari jenis jantan pula. Hasil ketekunan itu membuahkan derajat doktor dari Fakultas Pasca-Sarjana, IPB, dua pekan lalu. Dengan disertasinya yang berjudul Studi Biologi Reproduksi Kambing Kacang Jantan Muda staf pengajar Fakultas Peternakan Unpad itu dinyatakan lulus dalam biologi reproduksi peternakan, dengan yudisium "sangat memuaskan". Mengapa kambing kacang? "Kambing sudah memasyarakat dikalangan petami tradisional, dan terdapat di tiap daerah," sahut Soeparna, 37. Jenis kacang - dari keluarga carpa - dipilih karena "puak" ini populasinya dua kali domba, getol "mengawini" lebh banyak betina, dan cenderung beranak banyak. Sekitar 59% anak kambing kacang lahir kembar, sedangkan saudaranya sekitar tiga sampai empat. Kambing kacang juga mudah menyesuaikan dirl dengan lingkungan, sederhana gaya hidupnya, sehingga dinilai potensial untuk dikembangkan. Soeparna memang mengarahkan tujuan penelitiannya pada pemenuhan kebutuhan protein hewani orang Indonesia yang ternyata rendah. Menurut penelitian LIPI, standar konsumsi protein di sini rata-rata 55 gram/kapita/hari. Baru 5 gram berasal dari ternak. Setelah mengikuti kursus tiga bulan tentang spermatozoa di Universitas Kerajaan Denmark, 1981, Soeparna mengumpulkan 30 ekor kambing kacang jantan berusia 12-60 minggu di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ia meneliti berat tubuh pada saat dewasa-tubuh dan dewasa-kelamin, kuantitas dan kualitas semen (cairan pengangkut spermatozoa), kuantitas dan kualitas serta morfologi sperma, ukuran dan morfologi testis (biji pelir), serta korelasi antara faktor-faktor tersebut. Untuk meneliti morfologi sperma, dilakukan pelarikan (scanner) mikroskop-elektron tiga minggu di Institut Riset Nodai, Universitas Pertanian Jepang, Tokyo. Soeparna juga mengamati kelakuan dan intensitas kelamin, seperti pola dan frekuensi konulasi (sanggama), serta ukuran perangkat reproduksi kambmg kacang jantan. Ternyata, kambing kacang jantan menghasllkan sperma yang mampu membuahi sel telur untuk pertama kalinya pada usia rata-rata 20 minggu. Pola perkembangan volume semen mengikuti pola pertumbuhan berat badan. Setelah mencapai dewasa-tubuh (52 minggu), jumlah sperma yang ditembakkan erat hubungannya dengan berat badan dan ukuran lingkar testis. Berbeda dengan tangkai kepala sperma domba yang lancip, tangkai kepala sperma kambing kacang berbentuk lonjong. Aspek-aspek itu diamati pagi hari (dengan suhu rata-rata 24"C) dan sore (rata-rata 23C). Kesimpulan Soeparna, antara laln, kriteria umur, bobot, ukuran lingkar dan panjang testis, serta karakter semen yang dipancarkan dapat dipakai menentukan saat kambing kacang jantan boleh dipakai sebagai pejantan. Pejantan ideal berumur 52 minggu, berbobot minimal 19 kg, dengan panjang dan garis lingkar testis sekitar 9 cm/20 cm. Perkawinan sebaiknya dilakukan pagi hari. Dalam udara panas, kambing kacang jantan ternyata kurang bergairah - dan cepat loyo. Frekuensi kopulasi juga lebih kerap pagi (4,82 kali), ketimbang sore (3,66 kali). Perbedaan pagi dan sore juga tampak pada selang kopulasi, yaitu pagi 28,44 detik, dan sore 64,99 detik. Jumlah kopulasi hingga tingkat jenuh 5,98 kali pada pagi hari, dan 3,89 kali pada sore hari. Lama kopulasi juga mencolok: 13,38 detik pagi, dan 11,16 detik sore. Di depan dewan penguji utama yang terdiri dari Prof. Ir. Yuhara Sukra, Prof. Dr. Soebadi Partodihardjo, Prof. Dr. Mozes R. Toelihere, dan Dr. Barizi. Soeparna, lulusan Fakultas Peternakan Unpad, 1974, itu mempertahankan disertasinya setebal 225 halaman dengan lancar. Ia tidak lupa berpesan, "Perkawinan kambing harus dalam suasana tenang. Bila keadaan sekitarnya bising, kambing jantan kehilangan gairah, juga kekurangan konsentrasi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini