Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Gempa Turki berkekuatan magnitudo 7,8 pada Senin, 7 Februari 2023, telah menghancurkan banyak bangunan sekaligus menewaskan puluhan ribu jiwa. Sejumlah pihak menyebut gempa Turki - Suriah merupakan hasil konspirasi melalui High Frequency Active Auroral Research Program (HAARP). Anggapan ini muncul setelah beredarnya video kilatan cahaya sebelum guncangan gempa terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari Tanah Air, anggapan itu dinilai tidak tepat dan hanya teori konspirasi belaka. "Adalah angan angan kosong, mengkait-kaitkan gempa dengan HAARP," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, lewat akun media sosialnya. Dia menjelaskan gempa kuat itu disebabkan pecahnya Sesar Anatolia Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lantas apa sebenarnya HAARP itu? Bagaimana bisa dikait-kaitkan sebagai penyebab dibalik bencana besar yang terjadi di dunia?
Apa itu HAARP?
Dikutip dari laman Kumpulan Jurnal Mahasiswa Universitas Brawijaya, HAARP adalah sebuah penelitian ionosfer (lapisan-lapisan di atmosfer yang terionisasi oleh radiasi matahari) berwujud teknologi yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS). Dalam proses pembangunannya, pemerintah AS menerima sumber dana dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, Universitas Alaska, dan Defense Advanced Projects Agency (DARPA).
HAARP dirancang oleh BAE Advanced Technologies (BAEAT) yang bertujuan untuk memodifikasi cuaca, iklim, membuat awan, dan juga hujan buatan. Dalam proyek lebih besar, HAARP diduga mampu memproduksi bencana buatan, seperti badai, tornado, gempa, bahkan tsunami.
Cara Kerja HAARP
HAARP bekerja dengan cara menembakkan sinyal 3,6 MW di areal 2,8-10 MHz dalam saluran HF, kemudian dilepaskan ke ionosfer. Sinyal yang dipakai berupa pulsed signal maupun continuous signal. Dampak transmisi sinyal dapat ditangkap oleh instrumen seperti kamera optik, penerima HF, UHF radar, dan VHF.
Para pakar mengembangkan penelitian HAARP untuk mengetahui proses dasar alami pada lapisan ionosfer terhadap sinyal radio. Pasalnya, ionosfer diketahui dipengaruhi oleh interaksi radiasi matahari. Selanjutnya, dikelola supaya dapat mengurangi dampak tidak diinginkan pada performa sistem navigasi dan komunikasi serta bermanfaat bagi militer dan sektor publik.
Proyek HAARP didirikan untuk menguraikan metode komunikasi kapal selam, sistem penemuan kandungan mineral dari perut bumi, pemetaan kompleksitas tanah dan wilayah, serta kegunaan lainnya. Sayangnya, di sisi lain, ionosfer sangat sulit diukur karena memiliki lapisan udara sangat tipis dan satelit untuk observasi tidak dapat dilepaskan di lapisan ini.
Konspirasi HAARP
Tak hanya di Indonesia, HAARP menjadi isu yang selalu dikaitkan oleh sejumlah orang yang meyakini teori konspirasi. Dikutip dari laman Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Medan Area, beberapa orang meyakini bahwa HAARP mampu mengendalikan pikiran manusia dan dapat diubah menjadi senjata penumpas teroris.
Tak sedikit yang beranggapan bahwa HAARP sebagai penyebab kemarau berkepanjangan, banjir, badai, gempa bumi, serta penyakit mematikan, seperti Sindrom Lelah Kronis dan Sindrom Perang Teluk. Peristiwa jatuh dan meledaknya pesawat Boeing milik Maskapai Trans World Airlines pada 1996, TWA800, dan luluh lantaknya pesawat antariksa Columbia pada 2003 juga dihubung-hubungkan dengan kemampuan HAARP.
Penyebab Kilatan Cahaya pada Gempa Turki
Mengenai munculnya kilatan cahaya saat terjadi gempa Turki, turut pula ditanggapi oleh Daryono. Pasalnya, banyak yang menduga kejadian aneh itu sebagai penggunaan teknologi HAARP. Soal ini, dia menjelaskan bahwa asal-usul semburan cahaya tersebut diakibatkan oleh gelombang elektromagnetik.
Peta Sesar Anatolia Timur penyebab gempa M7,8 di Turki pada Senin 6 Februari 2023. Turki
“Fenomena cahaya (lightning) ketika pelepasan energi gempa adalah hal sangat lazim terjadi," kata dia sambil menambahkan, "Jangan kejauhen-lah mikir HAARP segala,” tulis Daryono Selasa, 7 Februari 2023.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bagaimana proses kilatan cahaya itu terjadi. Daryono menuturkan, saat batuan kulit bumi mendapatkan tekanan hebat, mendekati kemampuan elastisitasnya, maka sebelum failure (kerusakan) akan melepaskan gelombang elektromagnetik. "Dari sini asal pencahayaan selama gempa bumi berlangsung (seismoelectric effect)."
Kilatan cahaya seperti itu, menurut Daryono, juga pernah terlihat pada Gempa Sumogawe di kawasan lereng utara gunung Merbabu pada 16 Februari 2014 sehingga fenomena tersebut dianggap lumrah.
NIA HEPPY | MELYNDA DWI PUSPITA
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.