Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REVOLUSI dimulai dari orang, bukan dari laporan, dan revolusi data tidak berbeda. Tepat satu dekade lalu, pernyataan tersebut disampaikan oleh Kelompok Penasihat Ahli Independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menyerukan semua pihak agar bertindak guna mendukung aspirasi pembangunan berkelanjutan dan menghindari risiko, menghentikan dan membalikkan kesenjangan yang makin besar dalam akses terhadap data serta informasi, dan memastikan bahwa janji revolusi data terwujud. Kurangnya data dianggap sebagai salah satu hambatan terbesar dalam mencapai tujuan pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal serupa persis dengan yang terjadi selama ini pada pembangunan sektor kehutanan di Indonesia. Hambatannya bahkan bukan saja soal kurangnya data, melainkan juga monopoli atas kebenaran.
Selama ini data dan peta kehutanan dikuasai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Data dan peta yang sulit diakses publik itu pun menjadi dasar pemerintah untuk selalu menyanggah informasi baru dari sumber lain yang menyudutkan mereka. Polemik data deforestasi yang mencuat dalam debat calon wakil presiden awal tahun ini hanya salah satu contohnya.
Padahal, dari pengalaman kami mengamati perubahan peta kehutanan dari waktu ke waktu, data KLHK justru kerap menunjukkan kejanggalan. Maka tak mengejutkan bila pembangunan justru menimbulkan kerusakan lingkungan lebih parah di negara ini.
Silang pendapat perbedaan data kehutanan harus disudahi. Kami berkeyakinan amalgam atau kombinasi peta hutan alam sebagai solusinya. Dengan begitu, kita bisa lebih berfokus menyelamatkan hutan alam yang tersisa.
Ilustrasi hutan di Indonesia. Greenpeace.org
Lanskap Peta Hutan Indonesia
Konsepsi dan definisi hutan sering dikaitkan dengan tujuan pengelolaan hutan tersebut. Dalam peta penutupan lahan KLHK, yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai penutupan tajuk pohon lebih dari 30 persen dan mencakup area 0,25 hektare. Dengan definisi ini, ditambah Peraturan Dirjen Planologi P.1/VII-IPSDH/2015, terbagilah penutupan lahan di hutan menjadi hutan alam primer, hutan alam sekunder, dan hutan tanaman.
Dari segi definitif tersebut, KLHK mencatat kawasan hutan seluas 118 juta hektare. Tutupan hutan alam hanya 83 juta hektare pada 2022, dengan area yang bersifat indikatif karena skala peta yang masih kecil.
Praktik pembagian kelas hutan oleh KLHK ini sebenarnya sangat ditentang oleh banyak organisasi lingkungan. Penyelamatan hutan alam harus dilakukan tanpa membedakan hutan primer atau sekunder. Pembedaan kelas hutan alam semacam ini dianggap hanya untuk menjustifikasi pemanfaatan hutan untuk perizinan berusaha. Hutan sekunder, misalnya, kerap dianggap telah rusak padahal nilai dan fungsi hutan alamnya masih sangat tinggi.
Baca artikel Kolokium sebelumnya:
Saat ini hutan alam di Indonesia terpetakan secara time series sejak 2000 oleh tiga sumber data, yaitu laboratorium Global Land Analysis and Discovery University of Maryland yang juga tersedia di platform Global Forest Watch (GFW), European Commission's Joint Research Centre (EC-JRC), serta KLHK. Hanya data milik KLHK yang tidak bisa diunduh.
Berbeda dengan data KLHK, peta University of Maryland ataupun GFW memperkirakan luas hutan alam Indonesia pada 2022 mencapai 84 juta hektare. Adapun EC-JRC menyebutkan luas hutan alam berkisar 91 juta hektare. Di luar tiga data tersebut, ada dua sumber data lainnya, yaitu The TreeMap dan MapBiomas Indonesia, masing-masing memperkirakan hutan alam pada 2022 seluas 87 juta hektare serta 106 juta hektare.
Namun mari kita lupakan dulu perbedaan data, termasuk pendefinisian dan metodologinya. Bagaimana jika data kehutanan Indonesia dari berbagai sumber, metodologi, dan teknologi tersebut digabungkan tanpa saling mendiskreditkan kelemahan-kelemahan masing-masing demi memetakan hutan alam Indonesia yang utuh?
Peta amalgam hutan alam 2022. Warna hijau tua merupakan hutan alam yang dikonfirmasi oleh tiga peta. Foto: Sapta Ananda Proklamasi/GP
Toh, pada kenyataannya, teknologi pemetaan makin berkembang dua dekade terakhir. Citra satelit makin akurat memotret gambaran tutupan hutan alam ataupun non-hutan alam—seperti perkebunan akasia, sawit, dan karet.
Hanya dengan menggabungkan peta-peta hutan alam yang bersumber dari citra satelit Landsat dan yang tersedia, terutama peta hutan alam pada 2022 produk dari University of Maryland/GWF, EC-JRC, serta KLHK, akan didapatkan amalgam peta hutan alam atau kombinasi tiga peta hutan alam tersebut. Pemetaan hutan alam tersisa ini sangatlah penting untuk mengetahui area mana saja yang masih berhutan, apa fungsinya, dan seberapa besar potensi deforestasi yang mengancamnya.
Bagaimana Kombinasi Peta Dibuat?
Untuk memudahkan dan memastikan suatu area merupakan hutan alam atau bukan dari tiga peta tersebut, klasifikasi tutupan hutan primer serta sekunder KLHK pada 2022 diklasifikasikan ulang sebagai hutan alam. Klasifikasi primary humid tropical forest (PHTF) University of Maryland juga disederhanakan menjadi hutan alam setelah direduksi dengan forest loss pada 2001-2022. Sedangkan dua kelas hutan pada 2022 oleh EC-JRC hanya diambil satu kelas, yaitu undisturbed tropical moist forest (TMF), yang kemudian diklasifikasikan ulang menjadi hutan alam setelah dicek ulang apakah tumpang-tindih dengan penutupan hutan tanaman atau tidak.
Klasifikasi ulang setiap sumber data menjadi hanya satu kelas, yaitu hutan alam, akan menghasilkan kombinasi area hutan alam dari tiga peta, dua peta, dan hanya satu peta. Besarnya data yang diolah membuat kombinasinya perlu dipecah per pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa-Bali-Nusa Tenggara..
Hasil penggabungan peta dan atribusinya tersebut menunjukkan bahwa Sumatera dan Kalimantan sebagai dua pulau yang telah banyak terdeforestasi. Perbedaan luas hutan di antara tiga peta itu bisa mencapai 2-3 juta hektare. Besarnya selisih ini menunjukkan bahwa penggunaan peta hutan alam di dua pulau tersebut perlu diverifikasi lebih akurat.
Sedangkan deforestasi di Papua, Sulawesi, dan Maluku masih sedikit. Perbedaan luas di antara tiga peta tersebut kurang dari 1 juta hektare. Artinya, penggunaan tiga peta hutan alam di ketiga wilayah tersebut cukup akurat atau memiliki kemiripan yang baik.
Di Kalimantan, peta hutan alam KLHK yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya mencapai 400 ribu hektare. Peta hutan alam EC-JRC yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 2,8 juta hektare. Sedangkan peta hutan alam University of Maryland yang tidak dikonfirmasi dua peta lainnya seluas 240 ribu hektare saja. Dengan demikian, dari hasil analisis tersebut, ditemukan hutan alam seluas 3,4 juta hektare saja yang perlu dikonfirmasi lagi dengan teknologi dan verifikasi lapangan di Kalimantan.
Begitu pula di Sumatera. Peta hutan alam University of Maryland yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya mencapai 331 ribu hektare. Peta hutan alam EC-JRC yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 1,9 juta hektare. Sedangkan peta hutan alam KLHK yang tidak dikonfirmasi dua peta lainnya seluas 258 ribu hektare. Dengan begitu, seperti halnya di Kalimantan, peta hutan alam Sumatera seluas 2,5 juta hektare perlu dikonfirmasi lagi dengan teknologi dan verifikasi lapangan.
Di Papua, peta hutan alam KLHK yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 258 ribu hektare. Peta hutan alam EC- JRC yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 836 ribu hektare. Adapun peta hutan alam University of Maryland yang tidak dikonfirmasi dua peta lainnya seluas 71 ribu hektare saja. Walhasil, peta hutan alam seluas 1 juta hektare di Papua perlu dikonfirmasi lagi dengan teknologi dan verifikasi lapangan.
Sedangkan di wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara, peta hutan alam KLHK yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 1,7 juta hektare. Peta hutan alam EC-JRC yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 309 ribu hektare. Selain itu, peta hutan alam University of Maryland yang tidak dikonfirmasi oleh dua peta lainnya seluas 47 ribu hektare. Peta hutan alam seluas 2 juta hektare di Jawa perlu dikonfirmasi lagi dengan teknologi dan verifikasi lapangan.
Amalgam peta hutan alam 2022 di Pulau Kalimantan. Areal dengan warna hijau muda merupakan hutan alam yang hanya dikonfirmasi satu peta saja. Foto: Sapta Ananda Proklamasi/GP
Apa yang Harus Dilakukan?
Data-data tersebut menunjukkan bahwa wilayah atau pulau yang hutannya banyak terdeforestasi atau terfragmentasi membuat banyaknya perbedaan pemetaan area hutan alam di antara ketiga peta. Sedangkan di Papua atau wilayah lain yang belum banyak terdeforestasi atau masih intact, ketiga peta tersebut saling mengkonfirmasi.
Tiga kombinasi peta menunjukkan luas hutan alam mencapai 75,7 juta hektare pada 2022. Ada juga area hutan alam dari dua peta kombinasi lainnya sekitar 9 juta hektare. Jadi setidaknya ada 84,7 juta hektare hutan alam pada 2022 yang dikonfirmasi oleh dua ataupun tiga sumber data. Area hutan alam yang telah dikonfirmasi oleh tiga peta kombinasi ini seharusnya dijaga dan dilindungi.
Dengan melihat kombinasi tiga peta hutan alam tersebut, kami memperoleh gambaran bahwa hutan alam yang tersisa di Indonesia pada 2022 sebanyak-banyaknya seluas 95,4 juta hektare (kombinasi 1 sampai 3) dan sedikitnya 84,7 juta hektare (kombinasi 2 dan 3).
Orangutan Sumatra (Pongo abelii) liar bergelantungan di dahan pohon di kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, 4 April 2021. ANTARA/Syifa Yulinnas
Pemerintah perlu memastikan kelestarian sisa-sisa hutan alam—yang datanya bisa diperoleh dari berbagai sumber data. Perlindungan terhadap sedikitnya 84,7 hektare hutan alam perlu dilakukan dengan menetapkannya sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi, memasukkan ke peta moratorium perizinan di wilayah hutan dan gambut, serta memantaunya secara ketat untuk mencegah deforestasi. Adapun hutan alam seluas 95,4 juta hektare versi kombinasi tiga peta harus menjadi referensi atau bahkan basis data dalam berbagai upaya perlindungan dan konservasi, pengakuan hutan adat, ataupun penguatan komitmen iklim.
Lantas bagaimana dengan area hutan alam yang masing-masing dikonfirmasi oleh hanya satu peta? Luasnya cukup signifikan, yaitu 10,7 juta hektare. Dari sisi konservasi, hutan alam seluas ini dapat menjadi filter pertama dalam pengecualian pembukaan lahan sebelum diverifikasi lebih akurat.
Berapa pun luas sisa hutan alam Indonesia pada 2022, kenaikan suhu bumi makin cepat dan mendekati 2 derajat Celsius. Pengabaian terhadap hutan alam hanya akan menambah parah krisis iklim dan dampak-dampaknya. Ketimbang beragam program mitigasi krisis iklim pemerintah yang cenderung menjadi solusi palsu, melindungi hutan alam jelas lebih ampuh untuk mencegah tragedi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit setiap Sabtu.