Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tanpa Jurnalisme dan Konten Kreatif, Teknologi AI Diyakini Sulit Berkembang

Laporan jurnalis Tempo Wahyu Dhyatmika dari KTT AI di Paris, Prancis, Senin 10 Februari 2025.

10 Februari 2025 | 23.40 WIB

Diskusi "Creating a Virtuous Circle between AI, Creation and Information" di panggung utama AI Action Summit, Paris, Prancis, Senin 10 Februari 2025. Diskusi itu menyepakati pentingnya konten kreatif dan jurnalisme berkualitas untuk menjamin etika dan kualitas teknologi AI. FOTO: Isabelle Harsin/Kementerian Luar Negeri Prancis.
Perbesar
Diskusi "Creating a Virtuous Circle between AI, Creation and Information" di panggung utama AI Action Summit, Paris, Prancis, Senin 10 Februari 2025. Diskusi itu menyepakati pentingnya konten kreatif dan jurnalisme berkualitas untuk menjamin etika dan kualitas teknologi AI. FOTO: Isabelle Harsin/Kementerian Luar Negeri Prancis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Paris - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai Aksi untuk Kecerdasan Buatan (AI Action Summit) di Paris, Prancis, Senin 10 Februari 2025, menyepakati pentingnya konten kreatif dan jurnalisme berkualitas untuk menjamin etika dan kualitas teknologi AI. Untuk itu, dibutuhkan regulasi hak cipta dan lisensi konten untuk memastikan kesinambungan (sustainability) produksi data kreatif dan berkualitas tersebut.    

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Nabil Ayouch, seorang sutradara film di Prancis, yang berbicara di panggung Utama AI Action Summit dengan tema 'Creating a Virtuous Circle between AI, Creation and Information' menegaskan bahwa perkembangan teknologi AI harus memperhatikan hak cipta karya-karya kebudayaan. "Tanpa perlindungan hak cipta, maka produksi kesenian dan kebudayaan akan terganggu," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut dia, perusahaan AI tidak bisa sembarangan mengambil semua konten yang ada di internet untuk melatih kecerdasan buatan yang dikembangkan secara komersial. "Perlu ada regulasi dan tata kelola yang disepakati bersama," kata Nabil sambil menambahkan, AI membutuhkan konten kebudayaan dan data yang baik untuk menghasilkan produk teknologi yang berkualitas tinggi.

Komunitas pekerja seni, Nabil menegaskan, tidak anti kemajuan teknologi, namun tidak mau mempertaruhkan semua nilai-nilai dan tradisi baik yang sudah ada selama ini. "Kami tidak mau dunia yang didominasi oleh mesin," kata Nabil. Perkembangan teknologi AI, Nabil menyatakan, "tidak boleh sampai membunuh kesenian dan kreativitas, karena itu sama dengan mematikan kemanusiaan."     

Nabil Ayouch, sutradara film di Prancis, yang berbicara di panggung utama AI Action Summit dengan tema "Creating a Virtuous Circle between AI, Creation and Information", di Paris, Prancis, Senin 10 Februari 2025. FOTO: Isabelle Harsin/Kementerian Luar Negeri Prancis.

Pada forum yang sama, Jane Ginsburg, akademisi dari Columbia University, AS, menjelaskan bahwa ada dua area dalam teknologi AI yang membutuhkan regulasi tentang hak cipta. Area pertama terkait input atau lisensi data yang digunakan AI dan area kedua soal hak cipta dalam output teknologi AI tersebut.

Tanpa pemberian lisensi dari pencipta, penerbit, atau kreator data, sebuah perusahaan AI disebutnya bisa saja mengambil data dengan menyalin begitu saja (scrapping) semua data di internet, atau membeli konten bajakan yang ada dengan harga murah. "Namun, kita tahu, cara itu hanya menghasilkan input data berkualitas rendah," kata Jane.    

Karena itu, para penerbit media dan para seniman didorong untuk bernegosiasi secara kolektif dengan perusahaan pengembang teknologi AI. "Penerbit media harus memilih opsi keluar (opt out) dari mesin pengumpul data (data crawler) sehingga tercipta pasar untuk lisensi konten secara legal untuk perusahaan AI," kata Jane lagi.

Dia berharap, hanya dengan membayar lisensi kepada media, perusahaan AI bisa mendapat akses legal atas konten berkualitas yang dibutuhkan mesin kecerdasan buatan. Menurutnya saat ini, OpenAI misalnya, sudah membuat kesepakatan lisensi dengan sejumlah perusahaan media, seperti Fox News, Getty Images, dan beberapa media di Eropa. 

Pierre Louette, CEO dari Les Echos-Le Parisien Group, sebuah perusahaan media dari Prancis membenarkan medianya sudah bernegosiasi langsung dengan OpenAI untuk memperoleh kompensasi atas penggunaan kontennya. "Negosiasi untuk memperoleh akses legal atas penggunaan konten media merupakan bentuk penghormatan hak cipta," katanya.

Medianya, kata Pierre, juga tengah bernegosiasi dengan Meta dan LinkedIn. Yang menarik, Pierre menegaskan pentingnya negosiasi secara kolektif, bukan per perusahaan. "Jangan sampai kondisi media terfragmentasi, karena itu yang menyulitkan negosiasi," kata dia.  

Alternatif lain dari penerapan sistem lisensi adalah keterbukaan dari sebuah negara untuk membuka datanya secara sukarela. Salah satu contohnya adalah Estonia. Alar Karis, Presiden Estonia, yang berbicara di sesi yang sama, beralasan akses cuma-cuma untuk perusahaan teknologi Meta bertujuan untuk memastikan bahasanya digunakan untuk AI yang berorientasi pada kepentingan publik. Kebijakan itu memastikan Meta punya akses legal pada korpus bahasa Estonia yang terdiri dari sekitar empat miliar kata.   

Wahyu Dhyatmika

Wahyu Dhyatmika

Direktur Utama PT Info Media Digital. Anggota KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus