Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Wacana pemerintah akan menetapkan tarif Kereta Rel Listik (KRL) Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan atau NIK belakangan ini membuat khawatir pengguna soal kenaikan biayanya. Pakar transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Miming Miharja mengatakan penggunaan NIK untuk penumpang berpotensi menurunkan jumlah pengguna KRL. “Hal itu bisa berakibat meningkatnya pengguna kendaraan pribadi,” ujarnya kepada Tempo, Kamis 5 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi jika kebijakan itu disertai peningkatan jumlah mobil atau sepeda motor listrik sebagai dampak regulasi yang memudahkan pembelian kendaraan listrik. Namun potensi dampak ini menurut Miming, ditentukan juga oleh pengaturan besaran subsidi untuk masing-masing kelompok sosial ekonomi penumpang KRL yang pembagiannya berdasarkan data NIK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara lewat keterangan tertulis, Miming mengatakan, solusi yang dinilainya lebih aman dan lebih tepat sasaran adalah dengan memberikan voucher subsidi kepada penumpang yang memerlukan. “Data NIK pun tetap dapat digunakan untuk mendefinisikan kelompok mana yang layak mendapatkan subsidi,” kata guru besar dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB itu.
Penumpang yang teridentifikasi berpenghasilan rendah bisa diberi voucher untuk membeli tiket KRL dengan harga lebih murah, sementara penumpang dengan penghasilan lebih tinggi tidak mendapat voucher. Skema itu menurut Miming tidak hanya lebih tertib, tetapi juga mengurangi potensi kerusuhan di lapangan karena distribusi subsidi dilakukan di luar sistem operasional KRL. Ada pula pilihan selain perbedaan harga, yaitu melalui diversivikasi jenis layanan transportasi. “Sebut saja dengan adanya kelas bisnis dan ekonomi seperti yang telah diterapkan di beberapa jenis transportasi,” katanya lewat keterangan tertulis, Kamis, 5 September 2024.
Miming mengatakan, kebijakan tiket KRL dengan sistem NIK perlu dikaji lebih dalam sebelum diterapkan, agar penerapannya dapat berjalan lancar, tepat sasaran, efisien, dan tidak menimbulkan masalah sosial di kemudian hari. Soal wacana kebijakan tarif KRL berbasis NIK itu menurutnya untuk mengurangi beban subsidi pemerintah dalam sektor transportasi, terutama layanan KRL yang anggarannya terus meningkat setiap tahun.
Secara konsep, penggunaan NIK dalam sistem tarif KRL untuk menetapkan tarif yang berbeda berdasarkan kemampuan ekonomi dinilainya adil. “Sebab masyarakat yang dinilai mampu bisa membayar lebih, sementara yang kurang mampu bisa mendapatkan bantuan,” kata Miming. Namun pada tataran impelementasi, kebijakan ini bisa menimbulkan sejumlah tantangan, seperti masalah validitas dari NIK yang bisa mengakibatkan tarif tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi penumpang.
Kemudian risiko konflik ketika ada kesalahan dalam pembacaan data atau ketidakcocokan informasi. Selain itu ada pula kekhawatiran akses layanan KRL bagi kelompok tertentu, seperti anak, orang lanjut usia, disabilitas, atau masyarakat yang belum memiliki NIK maupun KTP elektronik. "Bagi golongan tertentu, bisa dikecualikan dari skema ini dan dapat diberikan kebijakan tarif yang lebih sederhana, atau bahkan gratis," katanya. Dengan begitu kebijakan tarif KRL berbasis NIK dapat lebih fokus pada penumpang dengan usia produktif, memiliki mobilitas tinggi, dan berkemampuan ekonomi yang beragam.