Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERUNTUNG kick-off Piala Dunia 2018 pada 14 Juni mendatang jatuh persis pada hari ketika umat Islam mengakhiri ritual puasa dan merayakan Lebaran. Jika turnamen akbar ini berlangsung pada bulan Ramadan, pastilah tim-tim dari negeri muslim akan berhadapan dengan pertanyaan dilematis: haruskah berpuasa? Dapatkah sepak bola menjadi alasan (musawwighat) yang membolehkan tak berpuasa, seperti sakit dan bepergian (safar)?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi umat Islam, apalagi di era politik identitas saat ini, perkara sepak bola bukan sekadar peristiwa olahraga murni. Di sana akan berkelindan sejumlah faktor yang rumit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada masalah keagamaan seperti yang sudah disinggung di atas. Ada masalah identitas: tim-tim negeri-negeri muslim akan cenderung dipandang sebagai wakil "dunia kami", dunia Islam. Tapi juga ada masalah politik identitas, meskipun faktor ini tidak terlalu menonjol (banyak muslim yang menjagokan tim-tim Eropa atau Amerika Latin).
Kita tentu masih ingat, beberapa waktu lalu beredar kabar akan ada aksi bela Mo Salah di Jakarta, karena pemain-penuh-sihir dari Mesir ini dianggap dicederai secara curang oleh Sergio Ramos, kapten Real Madrid, dalam laga final Liga Champions di Kiev, 27 Mei 2018. Mengingatkan kita pada Aksi Bela Islam saat pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017.
Pertandingan bola memang tidak akan pernah menjadi peristiwa olahraga semata, apalagi dalam turnamen tingkat dunia yang mempertemukan tim nasional, bukan sekadar klub-klub komersial. Perkaranya menjadi lebih sedikit kompleks jika menyangkut tim-tim negeri muslim. Inilah alasannya.
Akhir 2017, ketika masih ada kemungkinan laga Piala Dunia 2018 akan jatuh pada bulan puasa, "ketua PSSI-nya" Mesir, Abu Rida, meminta pemain Mesir tidak berpuasa selama bertanding.
Dilema bagi pemain-pemain muslim memang selalu klasik: apakah boleh meninggalkan puasa saat menjalani pertandingan olahraga yang menguras tenaga? Dilema ini juga pernah dialami tim-tim negeri muslim pada Piala Dunia 2014 di Brasil.
Daftar pertanyaan keagamaan yang lain meliputi perkara-perkara seperti ini: apakah menonton sepak bola halal menurut syariat Islam? Bolehkah menonton laga bola? Apakah boleh menjadikan sepak bola sebagai profesi? Apakah uang yang dihasilkan melalui kompetisi bola halal atau tidak? Etc. etc.
Uriya Shavit dari Department of Arabic and Islamic Studies Tel Aviv University melaporkan risetnya yang menarik tentang dilema pemain bola muslim di Eropa dalam jurnal Soccer & Society (edisi 2017). Ia menulis artikel berjudul "Being a Muslim football player in Europe".
Kalau kita search di Google, akan kita jumpai puluhan fatwa tentang hukum bermain sepak bola menurut Islam, baik dalam bahasa Arab maupun non-Arab. Secara umum, berdasarkan riset sekilas yang saya lakukan, ada dua klasifikasi fatwa. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama salafi/Wahabi dari Arab Saudi umumnya galak. Sedangkan fatwa yang keluar dari ulama Mesir cenderung lunak.
Dengan demikian, ada fatwa galak dan ada fatwa lunak. Fatwa yang galak cenderung mengharamkan sepak bola. Meninggalkan puasa dengan alasan bermain bola jelas dilarang keras menurut fatwa yang galak ini.
Lembaga resmi fatwa Arab Saudi, yang bernama Al-Lajnah al-Da'ima li al-Buhuth al-'Ilmiyya wa al-Ifta', memfatwakan: permainan sepak bola adalah haram. Alasannya, ada unsur judi (qimar). Menurut lembaga ini, meraih hadiah berupa uang atau apa pun dalam permainan bola hukumnya haram.
Sebab, "sabaq", yaitu hadiah dalam pertandingan, hanya diperbolehkan dalam tiga jenis olahraga: pacuan kuda dan unta serta panahan. Olahraga jenis ini dibolehkan karena sebagai persiapan (i'dad) untuk perang. Karapan sapi dari Madura jelas melanggar hukum Islam, menurut fatwa ini.
Fatwa galak dari Saudi ini mirip dengan "fatwa" Vatikan yang mengharamkan penggunaan kondom: keduanya sering diabaikan oleh umat masing-masing. Fatwa galak dari ulama-ulama Wahabi ini nyaris tak berpengaruh pada publik Saudi, apalagi tim mereka sedang berlaga di Piala Dunia 2018 dan dalam partai yang spesial pula: partai pembuka.
Sementara itu, fatwa dari Mesir agak lain. Lembaga fatwa resmi Mesir, Dar al-Ifta', seperti dikutip Uriya Shavit, berpendapat: boleh tak berpuasa selama bertanding sepak bola jika puasa justru memerosotkan performance seorang pemain. Walau sepak bola mengandung sejumlah ekses negatif, ada maslahat di sana: menjaga persatuan bangsa. Juga memfasilitasi integrasi umat Islam dalam masyarakat Eropa.
Dalam percakapan media sosial, tak jarang saya temukan komentar seperti ini: melalui kepiawaiannya bermain bola di klub Liverpool dan selama laga Liga Champions kemarin, Mo Salah telah melakukan dakwah bil hal (dengan tindakan; bukan omong doang) yang sangat efektif untuk melawan islamofobia serta menghapus citra negatif tentang Islam di Eropa.
Dan saya setuju dengan komentar ini.
Ulil Abshar Abdalla
Cendekiawan Muslim Dan Pengampu Ngaji Ihya' Online
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo